Megakota, Raksasa yang Serba Setengah-setengah
Megakota jadi wajah Asia dan Afrika abad ini. Kota raksasa itu punya dua muka, kemajuan luar biasa dan pertumbuhan liar.
Istilah planet yang mengurban dibuktikan dengan perhitungan terakhir, ketika saat ini ada 34 megakota atau kota-kota berpopulasi lebih dari 10 juta jiwa. Megakota telah, dan diprediksi tetap menjadi habitat dominan manusia sepanjang abad ke-21.
Megakota mulai terdeteksi pada 1950-an. Kala itu hanya terdaftar dua megakota: Tokyo di Jepang dan New York di Amerika Serikat. Memasuki tahun 1990-an, terdapat 10 megakota dengan penambahan dari Amerika Selatan serta Asia Selatan dan Asia Timur.
Mendekati medio dekade ketiga abad ini, separuh megakota terdapat di Asia, salah satunya Jakarta di Indonesia. Pada 2035, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan akan ada 48 kota besar. Tahun 2050, dua dari setiap tiga orang akan tinggal di kota.
Hingga akhir abad ke-21, Afrika diprediksi menjadi pusat pertumbuhan kota besar menggeser Asia. Lagos di Nigeria diperkirakan menjadi kota dengan populasi terpadat pada 2100.
Baca juga : Inovasi-inovasi Kota yang Dinanti pada 2024
Banyaknya orang yang tinggal di perkotaan ini seiring pertumbuhan populasi, yang membuat wilayah perdesaan kian dicaplok kawasan urban, dan banyak orang terus berpindah untuk mencari pekerjaan, pendidikan, juga peluang baru. Ketiga faktor itu membuat urbanisasi tak terbendung walaupun di banyak negara pertumbuhan penduduk disebut menurun dari waktu ke waktu.
Cepatnya pertumbuhan megakota mengakselerasi berbagai kemajuan teknologi dan ekonomi. Megakota juga menjadi simbol pencapaian suatu negara, khususnya di Asia dan Afrika. Sebagai contoh, Jakarta sebagai megakota satu-satunya di Indonesia sampai saat ini juga menjadi kawasan paling maju.
Kalaupun tahun ini status sebagai ibu kota negara benar-benar ditanggalkan, Jakarta tetap menjadi pusat bisnis nasional dengan penduduk hampir 11 juta jiwa.
Di luar fungsi ekonomi dan sebagai tempat hidup yang mendominasi negara, Asia dan Afrika yang menjadi pusat megakota dunia justru lebih dikenal dengan kota-kota padat sarat masalah. Kawasan kumuh dan buruknya fasilitas layanan publik mengimbangi pertumbuhan gedung tinggi serta akses jalan raya mulus.
Baca juga : Nasib ”Abu-abu” Kota Pengembangan KEK dan Kawasan Industri Baru
Hal itu ditemui di antaranya di Jakarta, Dhaka di Bangladesh, sampai Mumbai di India, juga Lagos. Ada pula megakota yang bisa membuat kawasan kumuh tak lagi tampak secara fisik. Warga dipindahkan ke hunian bertingkat yang menyembunyikan ketimpangan di balik kokohnya tembok gedung menjulang.
Fotografer Chen Ronghui yang hidup di Shanghai, lewat karya-karya visualnya, memaparkan kehidupan di salah satu megakota di China tersebut, yang menurutnya luar biasa indah tetapi pada saat bersamaan ada kepalsuan di sana. Sebagian karyanya kini dipamerkan dalam ”Megacities” proyek NGV Triennial 2023 di National Gallery of Victoria, Australia, pada 23 Desember 2023-7 April 2024.
”Kota ini setengah berkembang dan setengah maju. Setengah sosialisme, setengah kapitalisme. Semuanya terus berubah. Fasadnya tetap menjadi milik wisatawan, tetapi di balik fasadnya tidak ada apa-apa. Itu adalah kecantikan palsu,” ujarnya kepada The Guardian.
Kekuatan informalitas
Menelisik kondisi riil megakota, guru besar di bidang perencanaan kota asal India, Ananya Roy, menilai, pandangan dunia sangat disetir oleh kacamata negara barat atau negara global utara. Negara barat yang dulu memosisikan dirinya kaya, teratur, dan lebih baik dalam berbagai bidang melihat global selatan sebagai kawasan penuh masalah.
Kota-kota yang tumbuh pesat di Asia dan Afrika kerap dilihat dari sisi ketimpangan, luasnya kawasan kumuh, di bawah pemimpin yang buruk. Padahal, dalam perkembangannya kini, kota-kota di Eropa dan Amerika Serikat pun diliputi banyak masalah.
Baca juga: Menitipkan Kota-kota pada (Calon) Presiden dan Wakil Presiden
Krisis ekonomi yang terus membayangi menjadi salah satu sebab goyahnya kestabilan negara-negara maju. Selain itu, dalam 10 tahun terakhir juga terjadi perang yang melibatkan banyak negara, memicu gelombang migrasi besar-besaran yang telah mengubah banyak kota di dunia.
Kota-kota di sebagian Eropa yang dulu jauh dari isu kemiskinan, keamanan, dan kriminalitas kini terusik. Dampak krisis ekonomi di dalam negeri maupun global, ditambah pertambahan penduduk tiba-tiba memicu resistensi dan masalah sosial yang merembet pada suburnya isu politik antimigrasi hingga antiperbedaan.
Di negara global selatan, diakui bahwa kota berkembang pesat tanpa acuan aturan yang jelas, informalitas juga berkembang. Masyarakat pendukungnya yang masuk kelompok sosial informal ini ”anak kandung” urbanisasi yang dibiarkan berkembang sendiri.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, di Asia dan Afrika lebih sering mengamini pandangan Barat dan melihat kelas sosial informal itu adalah sumber masalah. Beralasan kekuarangan dana hingga sumber daya manusia, sumber masalah itu kerap diabaikan.
Padahal, dalam riset-riset seperti yang dikerjakan Roy terkait informalitas di perkotaan, kelas sosial informal adalah kelompok masyarakat urban yang mandiri dalam pemenuhan hunian ataupun kebutuhan dasar lain. Mereka sangat sedikit, bahkan sama sekali tidak mendapat sokongan program—apalagi pendanaan—dari pemerintah.
Baca juga: Biaya Hidup Tinggi Menggerus Kebahagiaan Keluarga di Perkotaan
Kondisi itu disayangkan. Sebab, pemerintah sebenarnya bisa melihat potensi besar dari kelas masyarakat informal untuk mengatasi masalah urban. Soal hunian, misalnya, tanpa perlu memikirkan membeli lahan baru dan membangun perumahan yang mengeruk dana besar, pemerintah tinggal bekerja sama dengan mereka untuk penataan kawasan eksisting tanpa menggusur.
Kita perlu menjaga pemahaman bahwa isu tersebut sebagai hal luar biasa. Dengan demikian, kita serius mencari solusi untuk mengatasinya. Akan muncul kreativitas dan inovasi.
Isu luar biasa
Andhita F Utami menyatakan, isu perkotaan memang belum dipahami semua pihak sebagai isu luar biasa dan kurang melihat dari kacamata warga yang menjalani kehidupan di sana. Warga kota itu sendiri atau para pemegang jabatan di pemerintahan tak menyadari urgensi persoalan yang mereka hadapi di kehidupan sehari-hari.
Akibatnya, menurut perempuan yang lebih dikenal dengan nama Afutami dari Think Policy itu, penanganan tiap isu juga jauh dari luar biasa alias kurang serius dan sering kali tidak tepat sasaran.
Penanganan polusi udara yang tahun 2023 lalu tiba-tiba menyabet perhatian publik di Indonesia adalah salah satu contohnya. Masalah itu seakan tak lagi penting kala hujan telah turun membawa partikel pencemar meresap ke dalam tanah. Isu polusi pun secepat kilat tergantikan dengan banjir yang menyergap permukiman warga di banyak lokasi.
”Kita perlu menjaga pemahaman bahwa isu tersebut sebagai hal luar biasa. Dengan demikian, kita serius mencari solusi untuk mengatasinya. Akan muncul kreativitas dan inovasi,” katanya saat berbicara dalam diskusi tentang penanganan polusi udara yang diselenggarakan harian Kompas, Kamis (11/1/2024).
Afutami pun mengajak siapa pun memahami kondisi masyarakat dan kota itu sendiri untuk dapat menentukan kebijakan rekayasa sosial yang tepat.
”Saat pandemi Covid-19, masyarakat patuh kala ada aturan memakai masker di mal. Ternyata bagi kita main ke mal itu kebutuhan. Jadi, mungkin jika ada aturan hanya kendaraan bermotor yang lolos uji emisi bisa masuk mal, warga patuh ikut uji emisi,” katanya.
Aglomerasi urban
Pada masa yang akan datang, tren perkembangan wilayah urban kemungkinan akan bergeser dengan penyatuan megakota dengan area aglomerasinya. Tren itu dapat dipastikan diikuti masalah perkotaan yang berlipat ganda.
Pemerintah China pada Mei 2023 meluncurkan proyek menggabungkan perkotaan Beijing, Tianjin, dan Hebei sebagai kawasan industri terbesar di sana. Dari China Briefing, Reuters, dan World Data, diketahui bahwa penggabungan tersebut berbuah penciptaan kota baru bernama Jing-Jin-Ji dengan 130 juta penduduk.
Baca juga: Kantormu Bukan Keluargamu
Proyek tersebut dapat memunculkan tren pembangunan perkotaan baru di dunia seperti halnya saat China membangun Beijing maupun Shanghai yang memengaruhi negara lain khususnya di Asia dan Afrika.
Sebelumnya, program pembangunan metropolitan berbasis wilayah aglomerasi sudah mulai digulirkan di Indonesia. Selain Jabodetabek, pembangunan kawasan juga menyasar Bandung Raya, Joglosemar, Mamminasata (Makassar-Maros-Sungguminasa-Takalar) di Sulawesi Selatan, juga Gerbangkertosusila (Gresik-Bangkalan-Mojokerto-Surabaya-Sidoarjo-Lamongan) di Jawa Timur, dan banyak lagi.
Melihat fenomena tersebut, perkotaan telah dipastikan terus tumbuh membesar. Yang patut diingat, selain mesin ekonomi yang belum ada alternatif penggantinya, kota tetaplah habitat manusia yang dinamis. Habitat itu butuh dijaga agar senantiasa manusiawi mengedepankan kebaikan bagi semua penghuninya.
Saran Roy dan Afutami untuk menjadikan isu perkotaan sebagai sesuatu yang luar biasa, serius ditangani hingga tuntas, serta menjadikan potensi masyarakat sebagai solusi jitu, seharusnya diadopsi tanpa ditawar lagi. Itu agar megakota, aglomerasi urban, atau apa pun itu tidak terjebak meraksasa setengah-setengah, separuhnya diselimuti kesejahteraan dan separuh lagi terpuruk.
Baca juga: Catatan Urban