Kantormu Bukan Keluargamu
Narasi perusahaan adalah keluarga menciptakan suasana kerja yang hangat dan menyenangkan. Namun, ada kecenderungan narasi itu ilusi dan menjadikan perusahaan mengeksploitasi para pekerjanya.
Delapan jam sehari dihabiskan oleh rata-rata pekerja urban di kantor atau pabrik. Rutinitas itu berlangsung setidaknya lima kali dalam sepekan. Tak jarang ada acara di akhir pekan atau hari libur nasional. Belum lagi nongkrong bersama kolega seusai jam kerja menunggu kemacetan terurai atau untuk mendinginkan pikiran setelah berkutat dengan tuntutan kantor.
Dengan lebih dari sepertiga waktu harian diserap di sana, lingkungan kantor menjadi tempat yang sangat akrab bagi pekerja. Disatukan pekerjaan, ada rasa senasib yang mempererat relasi antarkaryawan.
Banyak perusahaan melihat itu sebagai peluang dan menarasikan rasa senasib dan akrab itu pada level lebih intim, yaitu keluarga. Acara piknik karyawan sering dibalut dengan tema ”Temu Keluarga Besar PT A” atau ”Selamat bergabung dengan keluarga besar kami”, kala menyambut karyawan baru.
Baca juga: Gengsi-gengsian SCBD Versus Cikarang
Bekerja memang tak selalu sebatas mencari uang. Bagi sebagian orang, menyandang status pegawai, karyawan, bahkan buruh pabrik menjadi kebanggaan, mengukuhkan jati diri, dan membuatnya eksis di antara sesama kolega, keluarga, ataupun di mata masyarakat.
Dengan mengadopsi konsep keluarga, perusahaan menciptakan suasana kerja yang hangat dan memikat. Bibit konflik atau pertentangan diyakini lebih mudah diatasi. Pekerjaan dan tempat kerja pun kian menjadi hal paling penting dalam kehidupan seseorang.
Joshua A Luna dalam artikelnya di Harvard Business Review, dua tahun silam, menyatakan kultur sebagai keluarga memang membuat suasana kantor lebih hangat. Di sisi lain, kultur itu membuat atasan berhak tahu atas segala hal tentang karyawannya, bahkan untuk hal-hal yang tidak seharusnya dibagi.
Ilusi tentang keluarga turut mengaburkan batasan relasi profesionalitas yang amat dibutuhkan dalam mengelola perusahaan. Relasi atasan dan bawahan mudah melebur menjadi kedekatan personal. bukan lagi kinerja. Kedekatan ini berpotensi merusak karena setiap masalah di kantor dengan mudah dianggap sebagai persoalan pribadi.
Baca juga: Simbiosis Mal, ”Wota”, ”Wibu”, dan Beragam Subkultur Kota
Di era dunia kerja hibrida, menurut Luna, ketika setiap pegawai bisa bekerja di kantor dan di mana saja, atasan di perusahaan yang menerapkan sistem kekeluargaan ternyata memiliki kadar kepercayaan rendah terhadap bawahannya.
Seorang penyelia, kepala bidang, atau direktur sering dihinggapi prasangka buruk tentang bagaimana pekerjanya menghabiskan waktu di luar kantor.
Ada yang mengharuskan karyawan membuat laporan jam demi jam saat bekerja dari rumah atau bekerja dari mana saja. Ada pula yang menerapkan berbagai persyaratan untuk menunjukkan pekerja itu patuh pada kebijakan kantor.
Hasil kerja memuaskan dari anggota tim dapat berkurang nilainya karena berbagai kekhawatiran atasan yang tak perlu.
Disfungsi manajemen
Penulis buku Ask a Manager, Alison Green, dalam wawancara dengan The New York Times mengatakan, sisi buruk perusahaan yang menerapkan konsep keluarga adalah potensi mengeksploitasi karyawan menjadi lebih besar.
Keluarga dalam arti sebenarnya adalah pertalian darah dan perkawinan yang berbasis cinta tanpa syarat. Secara hukum mungkin bisa melepas hak dan tanggung jawab, tetapi secara biologis tidak akan bisa memecat anak atau orangtua. Kehilangan anggota keluarga dapat menjadi luka dan kesedihan mendalam yang sulit hilang.
’Kami adalah keluarga’ dan meminta kenaikan gaji atau waktu fleksibel berarti Anda bukan pemain tim. (Alison Green)
Relasi antarorang di perusahaan berbeda. Memecat atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pensiun dini makin biasa dilakukan. Guncangan dan rasa kehilangan terasa sejenak. Rasa itu memudar ketika dihadapkan pada roda perusahaan yang terus berputar seiring pergulatan pekerja memperjuangkan nasib sendiri.
Baca juga: Kisah Trotoar Terentang dari Anatolia sampai Jakarta
Perusahaan yang meminjam konsep keluarga justru cenderung menuntut komitmen serta loyalitas tidak pantas kepada para karyawannya.
”Kami bersandar pada Anda untuk bekerja berjam-jam, menerima gaji lebih rendah dan tidak mengeluh tentang manajemen buruk karena, ’Kami adalah keluarga’ dan meminta kenaikan gaji atau waktu fleksibel berarti Anda bukan pemain tim,” kata Green.
Ia menggarisbawahi, tuntutan komitmen dan loyalitas berlebihan dapat berakhir pada disfungsi manajemen dari profesional menjadi eksploitatif, menguntungkan segelintir orang, karyawan mengalami burnout atau kelelahan luar biasa dan menjadi tidak produktif, kinerja perusahaan pun berangsur memburuk.
Tim impian
Jika telah telanjur memilih jalur ”keluarga”, manajemen harus pintar mengelola batas aturan, menetapkan target, serta menerapkan penilaian kerja yang realistis, logis, dan manusiawi.
Pilihan lain mengganti pengelolaan perusahaan menjadi lebih profesional.
Dalam beberapa ulasan di media massa ataupun riset ilmiah tahun 2014-2015, Netflix disanjung karena tidak mengelola perusahaan bak keluarga. ”Kami tim impian (dream team),” tertulis di situs Netflix Jobs.
Baca juga: Taman Kota, dari Genggaman Para Raja Menjadi Milik Warga
Netflix mendorong pengambilan keputusan oleh karyawan, berbagi informasi secara terbuka, luas, dan sengaja. Selain itu, berkomunikasi secara jujur dan langsung, hanya mempertahankan orang-orang yang sangat efektif serta menghindari terlalu banyak aturan.
Berbasis tim impian layaknya tim sepak bola atau basket, perusahaan hiburan global penyedia layanan streaming itu memiliki target jelas, tahapan proses, serta anggota tim dengan keahlian yang dibutuhkan untuk menang. Tuntutan kerja tinggi diimbangi pendapatan, bonus, hak cuti reguler, berlibur, cuti melahirkan, dan lainnya.
Di sisi lain, Netflix tidak segan memberhentikan karyawannya ketika tidak lagi dibutuhkan walaupun sebelumnya pekerja itu produktif dan sangat berjasa. Laporan Harvard Business Review, Netflix membicarakan terbuka keputusan perusahaan dengan yang bersangkutan dan memastikan haknya terpenuhi sangat memadai untuk melanjutkan karier cemerlang di tempat lain.
Meskipun demikian, perusahaan hiburan global itu tak luput dari masalah. Pada 2022, sebagian pelanggannya hengkang dan melakukan PHK terhadap 150 karyawan atau sekitar 2 persen dari total pekerjanya di seluruh dunia.
Baca juga: Ponselmu Harimaumu
Namun, laporan keuangan kuarter ketiga 2023, Oktober lalu, menyebutkan perusahaan itu berhasil bangkit menggaet 247,2 juta pelanggan berbayar di seluruh dunia. Angka itu naik lebih dari 8 juta pelanggan dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Tetap profesional
Dari kacamata karyawan dan calon pekerja di belantara kota yang surplus tenaga kerja, kisah Netflix menggiurkan. Walaupun pada kenyataannya sulit memilih hanya mau berkarier di perusahaan beriklim kerja positif. Bagi sebagian orang, bisa diterima bekerja saja sudah sangat bersyukur.
Akan tetapi, bukan berarti menyerah pada keadaan ketika dihadapkan pada pemberi kerja eksploitatif berdalih ”keluarga”.
Kuncinya jangan larut dalam kondisi beracun tersebut, tetap profesional, memahami hak dan kewajibannya, mampu bekerja sama dengan baik, serta meningkatkan kemampuan yang berguna bagi perusahaan ataupun diri sendiri. Kesempatan untuk berkembang bakal terbuka.
Berani mencoba? Pasti.
Baca juga: Catatan Urban