Kisah Trotoar Terentang dari Anatolia sampai Jakarta
Jejak awal infrastruktur jalur pejalan kaki ditemukan di Anatolia, Turki, empat milenium lalu. Trotoar sebagai penunjang utama pejalan kaki mengubah wajah kota dan mengungkit ekonomi urban, dulu hingga kini.
Manusia bergerak setiap hari, nyaris tiada henti. Berjalan kaki adalah cara sebagian besar orang di dunia untuk bertransportasi. Berjalan kaki dilakukan orang di daerah terpencil sampai di perkotaan padat. Kegiatan ini memunculkan kebutuhan akan jalur khusus pejalan kaki atau trotoar. Jejak awal infrastruktur jalur pejalan kaki ditemukan di Anatolia, Turki, empat milenium lalu.
Green Book dari American Association Org State Highway and Transportasion Official (AASHTO) yang menjadi acuan tentang penataan jalan dan transportasi di Amerika Serikat menyatakan, pedestrian atau pejalan kaki merupakan bagian dari lingkungan jalan dan harus diperhatikan, baik di daerah perdesaan maupun perkotaan.
Pejalan kaki di perkotaan yang berjumlah jauh lebih besar memengaruhi desain jalan dan tata kota secara menyeluruh. Mereka merupakan sumber kehidupan, khususnya di pusat perbelanjaan dan daerah ritel.
Baca juga: Taman Kota, dari Genggaman Para Raja Menjadi Milik Warga
Pengaruh pejalan kaki bagi penataan kota telah dibuktikan sejak ribuan tahun silam. Dari beberapa sumber ensiklopedia, pada abad ke-4 sebelum Masehi, Romawi disebut telah membangun jalur pejalan kaki di sisi jalan utama yang disebut sēmitae. Di periode waktu yang sama, peninggalan trotoar ditemukan pula di Corinth, sebuah kota di Yunani kuno.
Buku Sidewalks: Conflict and Negotiation over Public Space (2009) merunut jejak trotoar dan menemukan jalur khusus itu telah ada di tengah kota Anatolia, Turki, 2.000 tahun sebelum Masehi. Anastasia Loukaitou-Sideris dan Renia Ehrenfeucht, duo penulis buku itu, menyatakan, trotoar dibangun satu atau dua milenium setelah penemuan roda.
Tidak secara signifikan berbeda dari jalan reguler, material pembentuk trotoar pada ribuan tahun lalu disebut berupa tanah yang dikeraskan, susunan batu, ada juga yang dari kayu.
Pada masa selanjutnya, fungsi trotoar memudar. Kota-kota utama dunia, seperti London di Inggris dan Paris di Perancis, meninggalkan trotoar dalam pembangunan kawasan urbannya.
Baca juga: Ponselmu Harimaumu
Perubahan terjadi setelah kebakaran besar melanda London pada 1666. Kebakaran itu menghanguskan puluhan ribu rumah, gedung pemerintahan, bangunan milik kerajaan, dan tempat ibadah. Musibah selama tiga hari itu diyakini salah satunya karena kota yang tumbuh semrawut. Seusai amuk api itu, kota London diperbaiki, termasuk mengembalikan lagi trotoar mengiringi pembangunan jalan.
Namun, trotoar tetap menjadi barang mewah di dunia selama beratus tahun kemudian. Ruang jalan dijejali kendaraan, pejalan kaki, pedagang kaki lima, pelaku atraksi seni jalanan, dan banyak lagi berbaur di ruas yang tidak berbentuk. Baru sejak abad ke-19, koridor-koridor lalu lintas dibagi, distratifikasi, dicat dengan garis-garis dan diatur demi pergerakan yang lebih efisien.
London dan Paris kala itu memelopori membangun ratusan kilometer jalur pejalan kaki yang mengubah wajah kedua kota global itu.
Anastasia Loukaitou-Sideris dan Renia Ehrenfeucht memaparkan, kota demi kota mulai mengikuti dengan mengeluarkan peraturan yang melarang atau mengatur sejumlah kegiatan di trotoar, mulai dari pedagang kaki lima hingga pidato politik dan komersial. Warga kota tak lagi bisa seenaknya memajang barang di trotoar atau berkeliaran untuk mengemis hingga mempraktikkan bisnis prostitusi.
Baca juga: Kutu Busuk, ”Bangsat” Kecil yang Sedang Betah-betahnya di Kota
Kota-kota yang tergolong maju dan modern di awal abad ke-20 pun berlomba membuat trotoar yang aman dan nyaman. Detroit, salah satu kota di Amerika Serikat, melukis langkah kaki kuning besar di trotoarnya pada 1920-an agar tidak ada orang yang gagal memahami fungsi ruang publik tersebut.
Baru sejak abad ke-19 koridor-koridor lalu lintas dibagi, distratifikasi, dicat dengan garis-garis, dan diatur demi pergerakan yang lebih efisien.
Trotoar berkembang sebagai ruang publik yang paling dekat dicapai siapa pun karena tersedia sejak dari depan rumah hingga ke berbagai lokasi tujuan lain. Dampaknya, penyimpangan kembali terjadi karena publik sering menganggap trotoar sebagai fasilitas yang selalu ada, bisa dipakai kapan pun, dan justru makin kurang dihargai.
Di bidang ruang yang sama, jalan raya dianggap berstatus lebih tinggi dari trotoar. Apalagi di jalan raya, ketika salah memfungsikannya bisa berakibat fatal, seperti kecelakaan.
Di trotoar, dengan lalu lintas pejalan kaki yang tak mengancam jiwa, orang dengan mudah mengakuisisinya menjadi tempat untuk berunjuk rasa, mengemukakan gagasan politik, bagian dari jalur penghijauan kota, membuka lapak dagangan atau memperluas tempat usahanya, ruang berjalan-jalan bagi orang kaya dan berpakaian bagus, serta tempat penampungan bagi para tunawisma.
Baca juga: Uang Judi Gagal Membangun Kota, ”Bang Oma” Sudah Ingatkan
Tanpa disengaja, selama dekade demi dekade, masyarakat perkotaan yang lebih modern bersosialisasi, berparade, bermain, menjual dagangannya, dan menyelenggarakan berbagai sisi kehidupan urban di jalur pedestrian. Penduduk serta perencana kota berulang kali mencoba kembali mengatur dengan memperbolehkan beberapa hal dan mengecualikan yang lain dalam penggunaan trotoar.
Namun, trotoar telah berkembang penggunaannya dan sulit dibendung untuk sekedar menjadi ruang pejalan kaki. Kebijakan umum yang kemudian berlaku atas trotoar adalah ruang publik dengan berbagai fungsi, tetapi kepentingan pedestrian wajib diutamakan.
Fungsi awal sebagai penunjang utama sistem transportasi mulai dari depan rumah sampai ke berbagai tujuan wajib dipenuhi. Untuk itu, kesinambungan pembangunan jaringan trotoar perlu terus-menerus diperluas jangkauannya.
Selanjutnya, misalnya, mengatur para pedagang sampai pelaku atraksi seni jalanan agar tidak mengambil alih jalur khusus tersebut, tetapi justru menjadi fasilitas pelengkap yang membuat pejalan kaki betah melangkah mengeksplorasi trotoar kota. Jumlah, jarak, peruntukan tempat untuk non-pejalan kaki, sampai lama waktu operasi hingga kebersihannya wajib diatur ketat.
Baca juga: Pesan Manis dari Tabebuya Kemang
Semakin banyak pejalan kaki berlama-lama menggunakan trotoar, kawasan di sekitar jalur khusus tersebut bakal semakin hidup dan membangkitkan ekonomi setempat. Kuncinya, gedung-gedung wajib membuka diri terhubung dengan trotoar dan menjadikan jalur khusus itu untuk mengalirkan lalu lintas orang antargedung.
Stigma kota tropis
Singapura menjadi salah satu kota di abad ke-21 ini yang berhasil menata dan membangun trotoar sebagai ruang publik, bagian dari sistem transportasi urban, dan pengungkit ekonomi. Hampir semua lokasi tujuan bisnis, wisata, hunian, juga taman-taman kota di negara kota ini terhubung dengan trotoar serta layanan moda transportasi umum kereta komuter dan bus.
Singapura menghalau stigma tidak mungkin berjalan kaki dalam waktu lama dan jauh di negara tropis yang panas nyaris sepanjang tahun. Mereka mampu. Negara tetangga dekat Indonesia ini melengkapi trotoarnya dengan naungan pohon tinggi, bahkan di sebagian tempat dilengkapi penyejuk ruangan.
Serupa dengan beberapa kota maju lain di dunia, jalur pejalan kaki di Singapura tak berhenti sebatas trotoar di tepian jalan. Ada jembatan penyeberangan orang, jalur pedestrian antargedung dan antarfasilitas umum, hingga terowongan bawah tanah untuk pejalan kaki.
Orang lanjut usia, berkursi roda, anak-anak, ataupun orang berkebutuhan khusus lain tidak kesulitan mengakses jalur pejalan kaki yang dibangun dengan berbagai penyesuaian dan fasilitas yang dibutuhkan.
Baru-baru ini, media lokal Singapura mengulas tentang jalur pedestrian di Raffles Boulevard, Singapura, yang menghubungkan Millenia Walk hingga Funan di North Bridge Road. Jalur terdekat di antara keduanya dapat ditempuh dengan berjalan kaki sekitar 25 menit. Jalur terjauh menghubungkan tujuh mal, termasuk dengan melewati terowongan bawah tanah yang ditempuh selama 42 menit dengan total 5.000 langkah.
Tidak perlu khawatir dipelototi penjaga keamanan gedung saat melewati berbagai kompleks bangunan di sana. Saat lelah berjalan, bisa beristirahat di mana saja dengan gratis. Ingin berbelanja, tinggal mampir ke mal atau gerai-gerai yang ada di kanan-kiri trotoar.
Berbeda dengan Singapura yang telah membangun berbagai fasilitas publik sejak beberapa dekade lalu, Jakarta baru memulai menata trotoar kurang dari 10 tahun terakhir dan jaringan angkutan umum modern kurang dari 20 tahun lalu. Kota lain di Indonesia juga mulai berderap menata wilayahnya. Hasilnya menggembirakan walau belum memenuhi ekspektasi, apalagi setara dengan Singapura.
Baca juga: Catatan Urban
Walakin, tren pembangunan perkotaan yang kini gencar berlangsung menandai ”virus” kebaikan dari trotoar Anatolia akhirnya menjangkiti kota-kota di Indonesia. Khusus untuk hal yang satu ini, biarkanlah ”virus” menyebar menjadi wabah agar kota-kota kita tidak terus tertinggal.