Uang Judi Gagal Membangun Kota, ”Bang Oma” Sudah Ingatkan
Lagu ”Judi” dari Rhoma Irama pantas diputar lagi keras-keras merespons wabah judi daring. Ketimbang manfaatnya membangun kota, judi menjadi penyakit sosial yang butuh intervensi negara dan publik.
Lebih dari tiga dekade lalu, Rhoma Irama atau Bang Oma merespons praktik perjudian yang kian digemari masyarakat. Dan, lahirlah lagu ”Judi” pada tahun 1987.
”Judi (judi)/Menjanjikan kemenangan/Judi (judi)/Menjanjikan kekayaan/
Bohong (bohong)/Kalaupun kau menang/Itu awal dari kekalahan/
Bohong (bohong)/Kalaupun kau kaya/Itu awal dari kemiskinan/...”
Demikian sebagian lirik lagunya.
Tahun 1980an, judi berupa undian berhadiah menjangkiti masyarakat. Pemerintah memberi ijin praktik judi tebak angka maupun skor hasil pertandingan olah raga. Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) dan Pekan Olah Raga dan Ketangkasan (Porkas), judi undian berhadiah yang merajai saat itu dan banyak diminati masyarakat kelas menengah ke bawah.
Di ujung 1993, atas desakan berbagai pihak selama bertahun-tahun, termasuk suara Bang Rhoma si Raja Dangdut, pemerintah Indonesia menghentikan dan melarang semua praktik perjudian. Setelah itu, judi ilegal masih terus ditemui. Namun, praktik itu tak leluasa mendapat tempat dan ketenaran seperti masa 1980an.
Lebih dari 30 tahun berlalu, judi menemukan ruangnya kembali untuk merajalela menjangkiti masyarakat Indonesia. Ruang itu tak lain dunia maya dengan maraknya judi daring, yang di antaranya berkedok permainan atau gim daring dan judi slot daring. Judi pun sekarang dalam genggaman dan bisa dimainkan kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja dalam perangkat telepon seluler. Padahal, judi daring jelas dilarang.
Dari laman Kementerian Komunikasi dan Informatika, disebutkan Pasal 27 Ayat 2 juncto Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2008 mengancam pihak yang secara sengaja mendistribusikan atau membuat dapat diaksesnya judi online dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar.
Sebelum ada UU ITE, Pasal 303 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah lebih dulu tegas melarang segala bentuk perjudian.
Baca juga: Demam Haiking dan Keriuhan Orang Kota di Kampung Baduy
Seiring hukum yang belum maksimal ditegakkan, kisah mereka yang terjerat dan kecanduan judi daring membuat gelombang keprihatinan dan kening berkerut. Pelaku judi daring bisa kehilangan seluruh harta dan terbelit utang. Hubungan dengan seluruh keluarga atau teman bisa rusak, juga kehilangan pekerjaan sampai menjadi pencuri dan perampok.
Gagal membangun kota
Judi, konvensional ataupun yang telah beradaptasi dengan kemajuan teknologi internet, selalu memicu pro dan kontra.
Ada negara yang melegalkan judi hingga menjadikannya penggerak utama pertumbuhan kota dengan membalutnya dalam bisnis hiburan. Las Vegas di Amerika Serikat salah satu contoh kota yang dibangun dan menjadi sentra judi di dunia.
Sebagian negara lain memberi izin praktik perjudian di lokasi tertentu dan biasanya ada di kawasan perkotaan atau area khusus yang dibangun pusat hiburan malam.
Ada pula pemerintah yang bersikukuh tidak mengizinkan judi di wilayahnya. Indonesia adalah salah satunya.
Baca juga: Pesan Manis dari Tabebuya Kemang
Namun, publik di Indonesia masih berbeda pendapat tentang judi. Ada yang tegas menentang karena berbagai alasan, termasuk terkait agama. Ada pula berpandangan praktik ini jika dikendalikan dapat menjadi sumber pendapatan negara dan daerah.
Mereka yang mendukung dilegalkan berpendapat judi yang dimasukkan dalam kategori bisnis hiburan dapat menarik investasi, penyerap banyak tenaga kerja, dan mendatangkan pajak berlimpah. Mereka masih yakin pembangunan kota bisa bersandar pada praktik ini, bahkan masyarakat diharapkan ikut sejahtera.
Baca juga: Transportasi Publik hingga ”Tenant” Favorit Sulap Mal Sepi Jadi Ramai
Namun, hasil riset Paulette J O’Gilvie, ”The effects of casino proximity and time on poverty levels in New York City”, di Nature.com pada Agustus 2023 menunjukkan hal berbeda.
O’Gilvie meneliti beberapa kantong kemiskinan di kota New York, AS, yang berada di radius tertentu dari kasino. Data selama lima tahun membuktikan, kehadiran kasino tidak memberi perbedaan pada tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar.
Laporan Bloomberg Citylab, ”Why Casino-Driven Development Is a Roll of the Dice”, menegaskan manfaat praktik perjudian pada kota terus memudar seiring waktu. Penyerapan tenaga kerja di kasino di kota-kota di AS terus menurun dari tahun ke tahun.
Kota dengan judi dan bisnis hiburan sebagai penggerak utama ekonomi kota ternyata memiliki eksternalitas yang sulit diatasi. Eksternalitas tersebut di antaranya penggelapan pajak besar-besaran, prostitusi, juga narkoba. Banyak terjadi kejahatan atau pelanggaran hukum di tengah masyarakat yang meresahkan, mulai dari mabuk, perkelahian, perampokan, sampai pembunuhan dan tindakan pidana lainnya.
Namun, kota-kota di AS dan di tempat lain di dunia masih tetap menuntaskan programnya membangun pusat perjudian. Kebijakan itu lantas dicap sebagai legalisasi penarikan pajak terhadap kaum miskin kota diiringi manipulasi bahwa mereka bisa mengubah nasib lewat judi.
Warga miskin
Di Indonesia, kini judi daring disebut banyak dikelola dari negara lain dengan sebagian operator adalah warga negara Indonesia. WNI tersebut ada yang dijerat dengan iming-iming pekerjaan legal dan formal di luar negeri bergaji tinggi. Apa daya setelah sampai di negara tertentu, paspor ditahan dan mereka dipaksa menjadi operator judi slot ilegal di bawah ancaman, nyaris seperti budak.
Sasaran pasar judi daring sama saja seperti judi konvensional, yaitu rakyat kebanyakan yang bermimpi kaya mendadak dari taruhan di jagat maya itu.
Data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dikutip dari Kontan.co.id dan Kata Data.co.id, total transaksi perjudian daring di Indonesia lebih dari Rp 180 triliun dalam kurun waktu 2017-2022. Jika di 2017 nilai transaksi hanya sekitar Rp 2 triliun, pada 2022 tembus di atas Rp 100 triliun.
Pelaku judi slot mencapai 2,8 juta orang. Sebanyak 2,2 juta orang di antaranya bermain judi daring di bawah Rp 100.000 yang diidentikkan dengan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Pelajar dan mahasiswa termasuk kelompok MBR yang gemar main judi daring. Selain itu, PPATK menyebut juga ada buruh, petani, ibu rumah tangga, pegawai swasta, dan lainnya.
Baca juga: Menaksir Kerugian akibat Judi ”Online”
Hal tersebut sejalan dengan data dunia yang menunjukkan tingkat prevalensi masalah perjudian di kalangan remaja atau kaum muda berkisar 0,2 persen hingga 12,3 persen. Angkanya berkisar 0,1 persen dan 5,8 persen pada populasi umum.
Judi online yang banyak menjerat kaum muda dan kelompok MBR berkorelasi dengan tingginya warga terjebak pinjaman daring. Pada akhirnya, kemiskinan tak juga dapat dilepaskan dari mereka.
Remaja yang kecanduan judi dan gim daring, misalnya, cenderung impulsif dan merespons tergantung pada ada atau tidaknya imbalan.
Masalah sosial
Berpijak dari fakta tersebut, judi yang selama ini dianggap publik sebagai masalah individu sebenarnya juga adalah masalah sosial kronis.
Jurnal ”What game we are playing: the psychosocial context of problem gambling, problem gaming and poor well-being among Italian high school students” dari Tiziana Marinaci dan timnya yang terbit di Heliyon pada Agustus 2021 menegaskan tentang kecanduan judi dan dampaknya masuk kategori masalah sosial.
Perjudian dan bermain gim adalah aktivitas rekreasional yang dapat membentuk perilaku bermasalah terus-menerus dan berulang. Hal tersebut mengarah pada gangguan yang signifikan secara klinis, misalnya memicu konflik, ketidakpercayaan, perpecahan keluarga, membahayakan persahabatan, memburuknya kinerja, serta kriminalitas.
Remaja yang kecanduan judi dan gim daring, misalnya, cenderung impulsif dan merespons tergantung pada ada atau tidaknya imbalan. Di sisi lain, bermain judi daring turut menjadi pelepasan bagi kaum muda untuk mengambil risiko dan merasa dirinya bukan lagi pengecut.
Baca juga: Butuh Satu Kota untuk Membesarkan Anak
Kaum muda yang memiliki masalah dalam keluarganya atau tidak mendapat dukungan semestinya dari orangtua maupun orang-orang terdekat lebih mudah tertarik bermain judi. Mereka cenderung memiliki sikap antisosial dan kecemasan atau depresi.
Melihat besarnya korelasi antara judi daring dan gangguan kesehatan sosial masyarakat, negara seperti Inggris melakukan intervensi khusus. Laporan BBC.com, Inggris yang melegalkan judi—yang 6 dari 10 penjudi di bawah usia 35 tahun—pun memiliki lembaga seperti The National Gambling Treatment. Mereka membantu terapi bagi kaum muda pencandu judi slot.
Baca juga: Sultan, Vadim, dan Jalan sebagai Ruang Publik yang Terabaikan
Di Indonesia, pemerintah telah berupaya menutup ribuan kanal judi daring. Namun, di media sosial dan di mesin pencari masih begitu gampang menemukan situs judi slot daring aktif. Ibarat kata ”mati satu tumbuh seribu”.
Penegakan hukum seakan kesulitan menindak pengelola, salah satunya dengan alasan sebagian dari mereka mengoperasikannya dari luar negeri. Para selebritas dan tokoh publik yang mempromosikan atau ikut main hanya dijatuhi sanksi ringan. Bahkan, ada yang lolos dari jeratan hukum dan justru akan dijadikan duta antijudi slot daring.
Apakah ini respons yang tepat dalam memerangi masalah sosial terkait judi daring yang menjerat publik? Ada yang menjawab iya, ada yang menjawab tidak, ada yang tidak peduli.
Kembali pada syair lagu Bang Rhoma, yang menyuarakan keprihatinan pada perjudian. Ingat teriakannya, ”Judi (judi)/Meracuni kehidupan/...”.
Apa perlu ia menciptakan lagu tentang judi slot agar aparat dan masyarakat tergerak lebih bijak dan memahami jelas dampak praktik itu? Menarik kalau memang iya.
Baca juga: Catatan Urban