Butuh Satu Kota untuk Membesarkan Anak
Longgarnya ikatan sosial di perkotaan jadi tantangan tersendiri dalam membesarkan anak. Padahal, tak hanya butuh satu desa, tetapi satu kota untuk memastikan orangtua dan anak aman, stabil, dan selamat.
Percobaan bunuh diri seorang ibu sembari menggendong bayinya akhir pekan lalu di Stasiun Pasar Minggu, Jakarta Selatan, menggetarkan hati. Bagi para perempuan urban, peristiwa yang diduga dipicu depresi pascamelahirkan itu mengingatkan pada situasi yang bakal, sedang, maupun dulu mereka lalui.
Hamil, melahirkan, kemudian membesarkan anak menjadi tantangan siapa pun. Apalagi di kota besar, dengan status pasangan sama-sama pendatang, pekerja, dengan sedikit atau tanpa memiliki keluarga lain di perantauan.
Banyak cerita kerumitan mengasuh anak di kota. Pengasuh yang sungguh-sungguh dapat dipercaya menjaga bayi atau anak balita saat ditinggal kedua orangtuanya bekerja atau bepergian adalah “barang” langka.
Baca juga: Ironi di Negeri Sepeda Motor
Selalu ada fase deg-degan tak tenang, karena pengasuh bisa sewaktu-waktu berhenti karena alasan tertentu. Bisa juga pengasuh menelantarkan, bahkan menganiaya anak kala jauh dari orangtuanya.
Jamak terjadi sang ibu akhirnya memilih berhenti bekerja demi merawat anak. Konsekuensinya, berujung pada goyahnya ekonomi keluarga karena pendapatan berkurang.
Fasilitas penitipan dan pendidikan anak usia dini bisa menjadi solusi terbaik. Persoalannya, fasilitas ini belum banyak tersedia, ongkos pun terbilang mahal, serta ada keterbatasan waktu layanan.
Merawat anak memang bukan pekerjaan sederhana. Shelja Sen, salah satu pendiri Children First yang juga penulis buku, dalam salah satu opininya menyatakan, pepatah dari Afrika yang menyebut perlu satu desa untuk membesarkan anak adalah benar adanya.
Baca juga: Polusi hingga Krisis Sampah, 78 Tahun Pembangunan yang Tak Seimbang
Di perkotaan, meskipun tak semua kawasan hunian aman bagi anak-anak, dari beberapa riset diketahui masih ada perkampungan dengan hubungan sosial erat layaknya hubungan sosial di perdesaan.
Lihat juga: Video ”Anomi Ancam Ibu Muda Metropolitan, Anak Rentan Jadi Korban”
Gunawan Tjahjono, Guru Besar dari Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia, saat berbagi kepada mahasiswanya di dalam kelas beberapa tahun lalu beberapa kali mengungkapkan keeratan hubungan sosial di perkampungan Jakarta. Ia sendiri pernah tinggal bersama keluarganya di salah satu kampung di Ibu Kota.
Profesor ahli tata kota itu menyatakan, sistem sosial di kampung kota menjadikan warga mandiri menjaga kawasan tempat tinggalnya dari kebakaran, tawuran, sampai maling. Di sisi lain, warga saling membantu mengawasi anak dan menopang warga yang kekurangan.
Adanya sistem dukungan komunal seperti itu sedikit banyak mampu mengurangi tekanan hidup yang dirasakan setiap orang atau keluarga.
Akan tetapi, pembangunan dan perkembangan perkotaan kini sering kali menghalangi tumbuhnya sistem dukungan komunal. Yang terjadi, kota dengan kehidupan serba individual makin mengemuka.
Baca juga: Inspirasi Anti-”burnout” dari Akira Tendo
Bukan hal mengejutkan apabila gedung pencakar langit sampai jalan tol baru hadir berdampingan dengan permukiman padat. Dampak ikutannya, berdatangan pekerja baru, penjual makanan, penyedia rumah atau kamar kos, pengojek daring, dan banyak lagi. Tidak terjadi lagi proses menjalin hubungan antarindividu. Penghuni kos bertetangga kamar pun bisa tak saling tahu.
Masyarakat dengan kondisi lebih makmur mampu mengakses apartemen dan perumahan yang lebih baik, tetapi kualitas hubungan sosialnya sama buruknya. Komunikasi antarpenghuni saja harus lewat petugas satpam.
Tidak heran apabila ada kejadian penghuni rumah meninggal di dalam rumahnya dan baru diketahui berminggu-minggu kemudian. Ada pula rumah atau unit apartemen menjadi sarang narkoba, prostitusi, atau terjadi kekerasan dalam rumah tangga tanpa tetangga tahu.
Dalam kondisi masyarakat seperti ini, membesarkan anak bisa menjadi persoalan rumit. Apalagi, secara umum masyarakat kita masih menganut budaya menjadi ibu merupakan kodrat perempuan. Masih banyak pula yang tak hirau pada fakta bahwa hamil, melahirkan, dan membesarkan anak berpengaruh terhadap perubahan fisik serta psikis perempuan yang bisa bertahan sepanjang hayat.
Melewati dan beradaptasi dengan berbagai perubahan itu, perempuan akan lebih siap jika melaluinya bersama pasangannya serta didukung pula orang-orang terdekat. Apalagi dalam budaya modern dan secara ilmiah dibuktikan, berbagi peran antarpasangan secara setara dapat menjamin kestabilan dan kebahagiaan individu maupun keluarga. Namun, hal itu belum sepenuhnya dipahami, baik di tingkat individu maupun masyarakat secara umum.
Baca juga: Sultan, Vadim, dan Jalan sebagai Ruang Publik yang Terabaikan
Akibatnya, bisa terjadi seorang ibu yang baru melahirkan didera depresi parah yang makin menjadi karena ketidaktahuan atas dampak berbagai perubahan pada dirinya serta minimnya dukungan sekitarnya. Keinginan bunuh diri dan menyakiti atau membunuh anaknya bisa muncul, bahkan akhirnya dilakukan.
Mereka bilang butuh satu desa untuk membesarkan anak, kami bilang butuh satu kota. (Anna Scavuzzo)
Intervensi kota
Di perkotaan yang individualistik dan terjadi kasus ibu depresi berulang inilah dibutuhkan peran pemerintah mendobrak pemahaman yang salah, diiringi penyediaan fasilitas publik penyokong keluarga. Sayangnya, bagi pemerintah kota di negara berpendapatan rendah-menengah, pembangunannya belum menjangkau kebutuhan itu.
Namun, dengan keterbatasannya, kota tetap bisa melakukan intervensi. Kota bisa menempatkan isu ini sebagai salah satu fokus kebijakannya.
Sebagai contoh di negara Uni Eropa, salah satu fokus pembangunan saat ini adalah pengentasan anak miskin dengan membantu keluarga rentan. Eropa setelah pandemi Covid-19 dihantam krisis ekonomi dan ada kenaikan tingkat kemiskinan anak di 11 negara. Fenomena global menunjukkan anak terjerat kemiskinan di perkotaan bisa dua-tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan nonurban.
Baca juga: Menjadi Frugal Tanpa Merana
Kota seperti Milan di Italia melalui Wali Kota Anna Scavuzzo, mengintervensi isu itu dengan program mengentaskan anak dari kemiskinan yang otomatis berdampak positif bagi keluarga dan lingkungan fisik ataupun sosialnya.
Program yang digulirkan, antara lain, penguatan sisi ekonomi dengan menyediakan lapangan pekerjaan, hunian layak murah, dan berbagai bantuan lain, serta memastikan fasilitas pendidikan, konseling keluarga, sampai penitipan anak yang terjangkau.
Berbagai program itu sekaligus untuk menjamin hak perempuan terpenuhi, termasuk untuk tetap aman dan berkesempatan berekspresi dengan bekerja maupun berkarya walaupun memiliki anak. Hal ini diperlukan terkait komitmen kota dan negara dalam pemenuhan hak perempuan serta kawasan inklusif seiring upaya mewujudkan kesetaraan jender.
Di luar itu, faktanya sudah semakin banyak ibu yang juga kepala keluarga. Kemampuan perempuan bekerja di berbagai bidang pun turut memastikan roda ekonomi kota terus berputar. Untuk itu, memastikan anak aman berarti kota juga aman. ”Mereka bilang butuh satu desa untuk membesarkan anak, kami bilang butuh satu kota,” kata Scavuzzo.
Baca juga: Rapuhnya Kota-kota Kita
Berkaca dari inisiatif Milan, di Indonesia, seperti Jakarta dan kota besar lain, sebenarnya dapat melakukan kebijakan serupa. Saat ini, sudah ada puskesmas dan posyandu dengan para petugasnya. Juga mulai ada rumah aman di tingkat RT/RW, khususnya membantu menangani kekerasan dalam rumah tangga.
Layanan publik tersebut butuh didorong agar lebih aktif menjadi perpanjangan tangan pemerintah demi menjaga ketahanan keluarga serta anak-anak penerus bangsa.
Kala kota tumbuh meraksasa, desa pun banyak yang menjadi kota. Seiring perubahan itu, membesarkan anak makin membutuhkan kerja sama yang tak lagi hanya satu desa, tetapi kesigapan semua perangkat di tingkat kota.
Baca juga: Catatan Urban