Pekerja urban perlu bisa mendeteksi diri dan menerima kondisi jika dirinya ”burnout” atau stres kronis dalam menjalani pekerjaan dan kehidupannya. Cari bantuan segera agar dampak buruk serius dapat dihindari.
Oleh
NELI TRIANA
·4 menit baca
Akira Tendo, pemuda berusia pertengahan 20-an tahun itu, bersemangat memulai kerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan. Ia diterima sebagai karyawan di bidang pekerjaan yang ia idamkan. Lokasinya di Tokyo pula, kota metropolitan utama di Jepang.
Alih-alih bahagia, Akira mendapati tugas-tugas yang nyaris tiada berakhir. Lembur, bahkan harus bermalam di kantor, terpaksa dilakoni. Ia merasa menjadi zombi, fokus bekerja dan tiada waktu untuk pengembangan diri, kesenangan pribadi, apalagi pacaran.
Kegelapan hidup Akira berubah ketika dunia diserbu wabah mayat hidup. Tokyo tak luput menjadi porak poranda saat penduduknya ramai-ramai menjadi zombi.
Tak dinyana, Akira yang menjadi segelintir penyintas justru meraih kebebasannya. Ia tak lagi jadi zombi kantoran. Ia bisa bersih-bersih apartemennya, berkemah di atap gedung, naik sepeda motor berkeliling kota di siang hari, tak lupa belanja dan menyantap makanan enak sesukanya.
Ancaman zombi membuatnya menemukan tujuan untuk tetap selamat dan menikmati hidup. Ia pun membuat daftar 100 hal yang ingin dilakukan.
Kisah rekaan tentang sosok Akira Tendo dalam Zom 100: Bucket List of the Dead ini pertama kali muncul dalam bentuk manga yang kemudian diangkat menjadi film seri anime, lalu jadi film aksi bertabur komedi yang tayang di beberapa layanan streaming hiburan digital berbayar.
Aksi Akira menghibur, tetapi juga membuat berpikir ulang tentang dunia kerja dan banyaknya keluhan burnout di dunia nyata. Burnout atau stres kronis yang diderita pekerja banyak dirasakan kaum urban. Pekerja di perkotaan biasa menghabiskan waktu demi mencapai penghasilan dan karier yang diimpikan.
Lingkungan kerja yang eksploitatif, pekerjaan menumpuk melebihi yang seharusnya, disebut menjadi pemicu burnout. Namun, ketidakcocokan dengan pekerjaan yang dilakoni sampai ada masalah pribadi yang tak kunjung selesai bisa juga berpengaruh. Di luar itu, gaya hidup dan biaya hidup di kota metropolitan terbilang tinggi, kadang tidak sepadan dengan gaji yang didapat.
Semua itu pada akhirnya menyebabkan lelah secara fisik, mental, dan emosional. Tanpa penyelesaian tuntas, hal tersebut menjadi beban tak tertahankan yang berujung menjadi stres kronis.
Orang yang terbiasa menggunakan sebagian besar waktunya untuk bekerja sering kali merasa lelah luar biasa, ingin tidur lama, dan tidak melakukan apa-apa. Akan tetapi, saat libur pun bukan berarti ia bisa beristirahat.
Tak mau malas
”The Way of Burnout”, artikel di The Economist yang diakses di Economist.com memaparkan, orang yang terbiasa menggunakan sebagian besar waktunya untuk bekerja sering kali merasa lelah luar biasa, ingin tidur lama, dan tidak melakukan apa-apa. Akan tetapi, saat libur pun bukan berarti ia bisa beristirahat.
Kala libur atau cuti, rencana tidur lebih lama, ongkang-ongkang kaki di rumah dengan pakaian nyaman, dan menyimpan telepon genggam ataupun laptop tetap tak terwujud. Walakin, ia tetap berusaha produktif dengan berbagai kegiatan. Ia ikut pelatihan, menata rumah, dan lainnya yang menambah lelah jiwa raga.
Orang yang stres kronis karena pekerjaan, menurut artikel itu, kemungkinan sejak kecil atau sejak mulai bekerja tertanam dalam pikirannya bahwa ia harus bekerja keras serta lebih ekstra.
Tertanam pola pikir bahwa ia harus selalu produktif biar tidak dianggap malas. Sedikit malas saja, ia bakal terancam tertinggal. Hal ini didukung budaya kerja dan di lingkungan sosial masyarakat yang langsung atau tidak menuntut pekerja mendahulukan kewajiban daripada haknya.
Pekerja yang telah dicengkeram pola pikir serta budaya kerja seperti itu bakal sulit bersantai, bahkan saat cuti atau libur. Hak untuk mengambil jeda demi mengisi ulang kekuatan mental ataupun jasmaninya terenggut.
Akibatnya, pekerja itu selalu merasa kelelahan, tereksploitasi, dan bingung harus bagaimana. Beban yang terus mengimpit semakin lama kian berat dan jika tidak diangkat dengan mencari solusi akan berakibat buruk pada dirinya sendiri.
Dari tulisan tersebut, dipahami penyebab burnout ada dua, yaitu dari beban kerja beserta lingkungan kerjanya dan/atau dari diri sendiri. Pekerja yang terdeteksi burnout perlu mengenali penyebab utama kondisi yang ia alami.
Mendeteksinya bisa secara mandiri, bisa dibantu sejawat ataupun ahli profesional. Di perusahaan yang baik, biasanya ada bagian sumber daya manusia yang memiliki program terkait hal tersebut. Jika secara mandiri, bisa pula memanfaatkan layanan program asuransi, seperti BPJS Kesehatan, untuk mengakses psikolog atau psikiater di fasilitas kesehatan yang ditentukan.
Masih dari The Economist, ada juga artikel yang mengulas bahaya burnout yang tidak diatasi. Ada tren orang-orang yang menarik diri dari pekerjaannya secara tiba-tiba, tidak muncul di kantor, mengunci diri di kamar. Atau dari semula amat produktif menjadi berbalik 180 derajat.
Andai saja semua bisa selesai dengan menarik diri. Faktanya, menarik diri bisa berujung fatal, termasuk tak lagi mampu bekerja dan menjadi beban baik bagi dirinya maupun orang di sekitarnya.
Padahal, bagi banyak orang, bekerja tak semata soal suka atau tidak suka. Sebagai tulang punggung keluarga, ada yang tidak selalu bisa berganti pekerjaan tiap kali rasa tidak betah, bahkan burnout, muncul.
Untuk itu, saat stres kronis menerpa, menerima fakta hal tersebut terjadi pada kita adalah langkah awal yang dibutuhkan. Selanjutnya, mencari bantuan yang tepat untuk menyelesaikan setiap problem.
Jika terbukti lingkungan kerja eksploitatif dan sulit diperbaiki, tak salah jika ditinggalkan saja. Namun, jika masih ada peluang memperbaiki diri dan pekerjaan, mengapa tidak dicoba dulu. Menjaga keseimbangan antara tuntutan kewajiban dan meraih hidup yang lebih hidup, tetap bersenang-senang, ada waktu untuk diri sendiri juga keluarga.
Jangan sampai menunggu menjadi Akira yang ”hidup” setelah yang lain jadi zombi.