Sultan, Vadim, dan Jalan sebagai Ruang Publik yang Terabaikan
Kasus Sultan dan Vadim membuka borok pengabaian pengelolaan jalan dan ruang jalan. Ruang publik terbesar di perkotaan untuk memenuhi kepentingan warga itu justru menjadi ajang pertaruhan nyawa.
Kekacauan tata ruang di Ibu Kota terbukti memakan korban. Jeratan kabel utilitas semrawut di jalanan Jakarta membuat Sultan Rif’at Alfatih (20) cedera fatal selama 7 bulan terakhir dan Vadim (38) tewas.
Sultan terjerat kabel optik di Jalan Antasari, Jakarta Selatan, pada Januari 2023. Vadim menyusul pada Jumat (28/7/2023) di Jalan Brigjen Katamso, Palmerah, Jakarta Barat.
Pemilik kabel optik di Jalan Antasari mengaku bertanggung jawab atas kejadian yang menimpa Sultan. Akan tetapi, belum ada kata sepakat terkait bantuan yang akan diberikan kepada Sultan.
Baca juga : Menjadi Frugal Tanpa Merana
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah daerah tempat terjadinya peristiwa merespons dengan memanggil perusahaan pemilik kabel serta memastikan kabel dirapikan sesuai standar keamanan di ketinggian sekitar 5,6 meter dari atas tanah.
Di luar itu, publik tak sabar menanti penegakan hukum dalam dugaan kelalaian sehingga kabel membahayakan pengguna jalan. Sanksi pidana diharapkan dijatuhkan kepada siapa pun yang lalai menunaikan tugasnya, baik petugas pemerintah selaku pengelola kota dan pelayan publik maupun pihak swasta terkait.
Peristiwa tragis yang menimpa Sultan dan Vadim makin membuka borok pengabaian pengelolaan jalan dan ruang jalan. Akibatnya, fasilitas publik yang seharusnya memenuhi kepentingan publik sekaligus menjamin keselamatan penggunanya justru menjadi ajang pertaruhan nyawa.
Kabel-kabel utilitas di atas tanah saat ini banyak ditemukan menggantung dari satu tiang ke tiang lain. Kabel-kabel itu mengalirkan listrik, juga kepentingan koneksi telekomunikasi, termasuk internet. Karut-marut penempatan kabel utilitas tersebut di jalan dan ruang jalan, juga di trotoar.
Baca juga : Tabah Menghadapi ”Hujan” di Bulan Juli
Tiang utilitas bisa berdiri di trotoar, di tepi jalan, bahkan masuk ke badan jalan. Kabel-kabelnya menjuntai ruwet berlapis-lapis di kanan-kiri jalan. Terkadang, kabel menggantung melintasi ruas aspal. Di banyak tempat, dijumpai kabel menjuntai hingga nyaris menyentuh permukaan trotoar atau jalan.
Kekacauan serupa tak terbantahkan terjadi pula di area perkotaan lain di Indonesia.
Di Ibu Kota, ada Instruksi Gubernur DKI Jakarta Nomor 126 Tahun 2018 tentang Penataan dan Penertiban Jaringan Utilitas yang mengatur supaya seluruh kabel menggantung diturunkan. Namun, sampai tahun 2023, penataan utilitas baru difokuskan di pusat-pusat kota. Padahal, DKI memiliki sedikitnya 6.652 kilometer jalan yang seluruhnya juga menjadi jalur penempatan kabel utilitas.
Ruang publik terbesar
Dalam Global Public Space Toolkit: From Global Principles to Local Policies and Practice (2015), ruang publik perkotaan, termasuk jalan, harus dilihat sebagai area multifungsi untuk interaksi sosial, pertukaran ekonomi, dan ekspresi budaya di antara orang-orang yang sangat beragam.
Keselamatan dan keamanan menjadi dimensi penting yang harus dipertimbangkan dalam desain ruang publik apa pun, bersama dengan infrastruktur vital (air, energi, dan komunikasi). Perencanaan semacam itu akan sukses jika diiringi tata kelola yang baik, termasuk kejelasan mekanisme pemeliharaan.
Jalan dan ruang jalan menjadi tempat publik terbesar yang menyita banyak ruang di perkotaan. Jalan dan ruang jalan telah ada tepat sejak dari depan rumah dan di mana saja. Hal ini sering kali tak disadari, bahkan oleh pemerintah lokal.
Bersama ruang terbuka publik, fasilitas umum, dan pasar, jalan adalah barang publik yang disediakan pemerintah untuk dapat diakses secara gratis oleh seluruh masyarakat.
Baca juga : Kucing, di Mana-mana Ada Kucing
Penempatan jaringan utilitas disesuaikan dalam penataan elemen utama fungsi jalan dan ruang jalan.
Masih menurut acuan ruang publik global dari UN Habitat itu, yang termasuk elemen utama ruang jalan adalah jalan dan jalan raya, alun-alun, trotoar, jalur sepeda, jalur angkutan umum, dan untuk mengatur lalu lintas, seperti bundaran.
Elemen yang dikecualikan dari jalan sebagai ruang publik di antaranya ruang terbuka publik, rel kereta api, ruas beraspal di dalam tempat parkir, di bandara, serta di kawasan industri.
Penempatan jaringan utilitas disesuaikan dalam penataan elemen utama fungsi jalan dan ruang jalan.
Dalam Streets as Public Spaces and Drivers of Urban Prosperity (2013), agar kota berfungsi dengan baik dan dapat sejahtera, UN Habitat merekomendasikan 45-50 persen lahan perkotaan dialokasikan untuk jalan dan ruang terbuka publik. Persentase itu mencakup 30-35 persen untuk jalan dan trotoar serta 15-20 persen untuk ruang terbuka publik.
Baca juga : Belanja dan Belanja, tetapi Kulkas Tak Juga Penuh
Namun, banyak pemerintah daerah abai pada kebutuhan memenuhi alokasi standar untuk jalan dan ruang terbuka publik. Akibatnya, urbanisasi yang berlangsung cepat mengabaikan pemenuhan ruang publik. Kalaupun tersedia, proporsi ruang publik amat rendah.
Kawasan kota baru yang banyak menjadi proyek unggulan di negara berkembang cenderung dilakukan melenceng dari rencana. Ada pengurangan alokasi lahan untuk ruang publik serta jalan secara signifikan.
Kala gedung-gedung tinggi bermunculan, permukiman kian berkembang, dan arus lalu lintas makin padat, jaringan utilitas yang seharusnya terwadahi dalam ruang jalan justru tercecer. Utilitas bak diselip-selipkan seadanya digantung berlapis-lapis lewat tiang-tiang yang mengganggu estetika kota dan kemudian terbukti mengusik keselamatan publik.
Belum terintegrasi
Jakarta kini merasakan betul dampak dan sulitnya mengatasi ketertinggalan penataan jalan dan ruang jalan yang selama ini mengabaikan jaringan utilitas. Seperti halnya pembangunan jalur pejalan kaki dan jalur sepeda, hasil penataan jalan dan ruang jalan beserta jaringan utilitas yang digenjot dalam beberapa tahun terakhir belum menunjukkan hasil signifikan.
Ketersediaan anggaran yang harus dibagi dengan sekian banyak program pembangunan lain selalu disebut menjadi kendala. Di sisi lain, publik menyaksikan proyek besar milik pemerintah maupun swasta terus berlangsung dengan memakan triliunan rupiah. Pembangunan jaringan moda transportasi massal sampai proyek kota baru bermunculan.
Baca juga : Meraba-raba Kota Global Jakarta
Walakin, seperti ada rantai yang hilang antarprogram pembangunan itu. Pembangunan jaringan angkutan umum massal, misalnya, tidak sekaligus disertai penataan trotoar dan ruang jalan.
Saat menuju Halte Seskoal di Jalan Ciledug Raya, Jakarta Selatan, untuk mengakses bus Transjakarta Koridor 13, warga harus melewati trotoar sekaligus saluran pembuangan yang ditutup blok-blok beton tak rata. Jika tidak hati-hati, orang bisa terperosok ke dalam lubang atau tersandung dan jatuh. Pada trotoar dan ruang jalan yang sama, orang masih menghadapi tiang-tiang utilitas lengkap dengan kabel kusutnya.
Dari banyak kasus yang muncul dan sebagian viral, pemerintah daerah sebenarnya diingatkan lagi akan perannya sebagai penegak aturan serta dirigen dalam pengelolaan kota. Pemerintah daerah sewajarnya menjadi pihak yang ahli merancang dan membangun ruang publik sebagai bagian dari rencana pembangunan kota secara utuh dan terintegrasi.
Pemerintah mengatur pihak swasta yang terlibat dalam programnya agar bekerja dengan masyarakat untuk mendorong inklusi sosial. Pada gilirannya, hal tersebut akan berkontribusi pada komunitas perkotaan berkelanjutan, produktif, dan sejahtera.
Kasus Sultan dan Vadim selayaknya ditempatkan sebagai momentum untuk tidak lagi saling melempar tanggung jawab. Kota dengan segala fasilitas publik di dalamnya ada untuk menjawab kebutuhan warganya, bukan mencederai, apalagi merenggut nyawa mereka.
Baca juga : Catatan Urban