Taman Kota, dari Genggaman Para Raja Menjadi Milik Warga
Peradaban besar hampir selalu meninggalkan jejak taman. Kini, keberadaan taman seperti tak terpisahkan dari pembangunan kota.
”Ukuran dari setiap peradaban besar adalah kotanya; dan ukuran kehebatan sebuah kota dapat dilihat dari kualitas ruang publiknya—taman dan alun-alunnya”. Pendapat John Ruskin, pemikir sosial abad ke-19 asal Inggris tersebut tetap menjadi patokan sampai saat ini.
Taman terbilang tak terpisahkan dari peradaban manusia. Meskipun demikian, taman dalam catatan sejarah tak selalu bisa diakses masyarakat umum.
Konsep tempat yang indah dengan pepohonan hijau disertai warna warni tanaman berbunga cantik itu ada di setiap kepercayaan dan dekat dengan simbol surga.
Baca juga : Ponselmu Harimaumu
Di kehidupan nyata, keberadaan taman bisa dirunut sejak ribuan tahun lalu. Di antaranya, ada taman gantung dari masa Kerajaan Babilonia yang kisahnya tetap terjaga dan mengilhami taman-taman masa kini.
Di Indonesia, memori taman kuno diabadikan dalam panel relief Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Ada yang masih lestari sampai saat ini, seperti Taman Sari di Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Goa Sunyaragi di Cirebon, Jawa Barat.
Jejak sejarah itu menandakan satu hal, bahwa taman di waktu lampau adalah fasilitas mewah yang melekat pada penguasa dan sekelompok orang, para raja dan keluarganya maupun pemimpin agama.
Status taman berubah ketika era revolusi industri berlangsung dan mencapai masa emasnya pada abad ke-19.
Baca juga: Kutu Busuk, ”Bangsat” Kecil yang Sedang Betah-betahnya di Kota
Kala itu, hamparan hutan banyak berganti menjadi pabrik, permukiman, yang menjelma menjadi kota-kota baru. Taman pun mulai dihadirkan sebagai penyeimbang dan pengganti area hijau yang lenyap ditelan pesatnya pertumbuhan kawasan urban.
World Urban Parks dalam kanal resmi dan siaran podcast merunut bahwa meskipun kian mudah diakses sejak 1800 ke atas, taman tetap menjadi tempat yang didominasi kelas pekerja sejahtera dan kaum berpunya di Eropa dan Amerika Serikat.
Mereka menggunakan taman untuk berjalan-jalan bersama keluarga, mendorong kereta bayi, dan saling memamerkan baju-baju indah di sela percakapan tentang pekerjaan, situasi ekonomi, hingga politik.
Baca juga: Uang Judi Gagal Membangun Kota, ”Bang Oma” Sudah Ingatkan
Namun, dalam perkembangannya, taman kian menjadi tempat yang cair. Taman menjadi lokasi pertemuan berbagai kelas masyarakat dan memiliki fungsi rekreasional yang kian dibutuhkan warga kota.
Galen Cranz meneliti sejarah taman kota di Amerika Serikat dan mendapati fasilitas publik urban itu begitu dekat dengan pergerakan sosial masyarakat.
Taman kota telah menjadi instrumen kebijakan yang berpotensi mencerminkan dan melayani nilai-nilai sosial.
Dalam buku The Politics of Park Design: A History of Urban Parks in America, ia mencurahkan hasil risetnya terkait kebangkitan sistem taman dari tahun 1850 hingga abad baru setelahnya. Cranz membagi taman dalam empat tahap, yaitu taman hiburan, taman reformasi, fasilitas rekreasi, dan sistem ruang terbuka.
Melihat desain fisik dan tujuan sosialnya, Cranz berpendapat, taman kota telah menjadi instrumen kebijakan yang berpotensi mencerminkan dan melayani nilai-nilai sosial. Taman tidak lagi sekadar tempat untuk membawa anak bermain, melainkan menjadi ruang ekspresi diri, tempat berkumpul untuk menumpulkan perbedaan, dan identitas sosial masyarakat kota yang kaya ragam.
Baca juga: Pesan Manis dari Tabebuya Kemang
Semakin modern, taman kota juga menjadi penyedia jasa lingkungan. Ia menjadi paru-paru kota, bagian dari instrumen pengendali banjir maupun penyedia air bersih, dan terkini turut berfungsi untuk mengatasi krisis iklim.
Peran pentingnya dalam mewujudkan sebuah kota menjadi kawasan urban sehat, membuat taman resmi memiliki fungsi ekonomi yang luar biasa besar bagi kota.
Pengorbanan
Dengan begitu banyak fungsi, pembangunan taman kota selalu memerlukan pengorbanan yang tak kalah besar.
Central Park di New York, AS, misalnya, menjadi salah satu taman publik perkotaan fenomenal sepanjang masa. Pengelola kota setempat berniat membangun kawasan urban yang hijau dan bertahan hingga ratusan tahun dan menempatkan New York sebagai destinasi kelas dunia.
Dibangun mulai tahun 1858, proyek taman ini menggusur banyak permukiman masyarakat miskin, petani dan peternak kecil. Meskipun demikian, Central Park ditargetkan memiliki hutan dengan jalan berkelok-kelok dan lanskap naturalistik yang memungkinkan setiap warga New York berkesempatan merasakan suasana pedesaan luas di tengah kota yang padat gedung tinggi itu.
Di Jakarta, pembangunan taman ikonik menorehkan perjuangan yang tak kalah dengan upaya New York mewujudkan Central Park.
Sekitar 15 tahun kemudian, 843 hektar taman dan hutan kota terbangun. Fasilitas yang terus lestari hampir dua abad terakhir. Laporan Central Park Conservancy menyebutkan, pengelola telah menginvestasikan lebih dari 1 miliar dollar AS untuk merawat taman tersebut.
Di setiap musim, taman ini aman, nyaman, dan gratis yang diakses oleh jutaan warga New York serta menjadi tujuan olahraga dan wisata turis dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan, menjadi lokasi syuting film-film Hollywood terkenal dan film-film dari luar AS. Sekitar taman berkembang menjadi kawasan premium bernilai ekonomi tinggi.
Di Jakarta, pembangunan taman ikonik menorehkan perjuangan yang tak kalah dengan upaya New York mewujudkan Central Park.
Beberapa fasilitas publik sekaligus taman dan hutan kota, seperti Taman Monumen Nasional (Monas) dan Hutan Kota Gelora Bung Karno di Jakarta telah dirintis sejak lebih dari 50 tahun lalu. Kisah penggusuran dan biaya tak kecil turut pula menyertainya. Taman-taman lain yang relatif lebih kecil dan berusia muda pun tak kalah banyak tantangan pembangunannya.
Namun, semua kendala terbayar seiring waktu ketika manfaat taman kota terbukti.
Baca juga: Demam Haiking dan Keriuhan Orang Kota di Kampung Baduy
Saat kemarau panjang mendera, masyarakat tetap bersemangat beraktivitas di taman yang setia menawarkan keteduhan dan kesejukan. Apalagi, taman-taman kota makin lengkap fasilitasnya, seperti memiliki lintasan untuk lari atau jalan kaki, tempat bermain untuk anak-anak, juga keanekaragaman pohon dan tanaman yang ditawarkan. Ada unsur edukasi di sana.
Di Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional yang jatuh pada 5 November seperti pada Minggu ini, fungsi taman kota juga kian kuat. Di taman-taman kota sekarang makin mudah mendapati kayu ulin asal Kalimantan dan eboni dari Sulawesi, sampai berbagai anggrek ataupun tanaman khas dari banyak daerah di Indonesia.
Visi calon pemimpin
Melihat hal itu, semakin menunjukkan bahwa taman kota dan segala isinya tetaplah kemewahan warga. Taman menyediakan oase rekreatif hingga edukatif di tengah kepadatan bangunan dan kemacetan jalanan. Kemewahan yang dulu hanya ada di genggaman para raja dan bangsawan itu, kini telah menjadi milik publik.
Sayangnya, tanpa menafikan yang telah ada, faktanya ketersediaan taman bagian dari ruang terbuka hijau kota rata-rata saat ini masih di bawah 30 persen dari tiap luas wilayah kota di Indonesia. Bahkan, ada pula yang luasannya justru berkurang.
Baca juga: Catatan Urban
Kembali ke pernyataan John Ruskin, melalui taman, peradaban bangsa bisa dinilai baik buruknya. Jadi, adakah calon-calon pemimpin yang memiliki visi jelas pembangunan kawasan urban yang makin beradab dengan fasilitas publik mumpuni, termasuk taman kota? Publik harus mencermati betul tawaran mereka sebelum memilih nanti.
Selamat berakhir pekan, mari menikmati keindahan taman-taman di sekitar kita.