Biaya Hidup Tinggi Menggerus Kebahagiaan Keluarga di Perkotaan
Biaya hidup tinggi menggerus kesejahteraan keluarga di perkotaan yang bisa mengurangi tingkat kebahagiaan. Ditambah masalah internal keluarga, ketidakbahagiaan bisa berujung tragis.
Kebahagiaan adalah cita-cita mendasar semua manusia. Bahkan mungkin semua makhluk. Cita-cita abstrak itu diterjemahkan berbeda oleh tiap individu. Walakin, banyak pihak sepakat kesejahteraan menjadi salah satu syarat untuk meraih kebahagiaan.
Kota sebagai mesin inovasi dan pusat kemakmuran sejak lama diidentikkan dengan peluang meraih kesejahteraan. Peluang ini bisa membuat orang atau keluarga beberapa langkah lebih dekat dalam mencapai kebahagiaan yang digambarkan secara umum.
Kota menjanjikan beragam pekerjaan dengan standar gaji tinggi dibandingkan di perdesaan. Di kota pula tersedia fasilitas pendidikan dan kegiatan ekstrakurikuler yang kaya ragam bagi anak-anak. Keluarga-keluarga urban mendapat manfaat dari beragam institusi multibudaya yang menghidupkan kota.
Baca juga: Kelas Menengah Aspirasional adalah Kita, Berhati-hatilah...
Sayangnya, di pusat kemakmuran itu, faktanya kesejahteraan tak bisa diraih semua warga. Hal ini berkorelasi dengan tidak meratanya akses ke pekerjaan berupah layak. Kondisi tersebut berdampak pada rendahnya kemampuan memenuhi biaya hidup sehari-hari.
Beban hidup makin berat ketika ditambah isu internal, seperti masalah dalam keluarga. Problem eksternal, seperti fasilitas layanan publik perkotaan yang belum merata, turut memperkeruh masalah.
Fasilitas ini bermacam-macam, mulai dari akses transportasi umum murah dan luas hingga perlindungan dan bantuan penanganan kekerasan dalam rumah tangga yang mudah dijangkau setiap orang.
Akhir tragis
The University of Chicago dalam majalah daring bertema Social Inequalities and Urban Family Life (2017) mengulas tentang anak dan keluarga yang hidup jauh di bawah standar sejahtera di perkotaan.
Mereka terbelenggu kemiskinan, kelaparan, malanutrisi, serta tinggal di rumah kumuh tidak sehat. Mirisnya lagi, mereka rentan menjadi korban atau pelaku kejahatan, serta kekurangan sumber daya untuk mengakses pendidikan.
Atas beragam persoalan itu, sebagian keluarga dapat bertahan dan menemukan cara untuk berkembang secara positif. Akan tetapi, sering kali mereka terbentur masalah bertubi-tubi dan berakhir tragis, termasuk hilang nyawa.
Baca juga: Kantormu Bukan Keluargamu
Dalam dua pekan terakhir, seperti dilaporkan di harian Kompas ataupun Kompas.id, sedikitnya terjadi tiga kasus pembunuhan dan bunuh diri yang menimpa keluarga urban di Indonesia. Meskipun tidak menjadi penyebab tunggal, kasus-kasus itu terkait dengan isu kesejahteraan.
Kasus pertama, ayah membunuh keempat anaknya setelah menganiaya istrinya di Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Suami istri itu tak lagi bekerja, mereka hidup di rumah kontrakan dengan empat anak kecil. Uang tak ada, konflik antarpasangan makin membara, dan berujung keputusan di luar nalar. Sadis.
Baca juga: Gengsi-gengsian SCBD Versus Cikarang
Kemudian, kasus seorang guru di Malang, Jawa Timur, yang membunuh anak dan istrinya lalu bunuh diri di rumah kontrakannya. Alasannya karena terjerat utang.
Kabar buruk lainnya datang dari Penjaringan di Jakarta Utara. Seorang ayah menganiaya anak lelakinya yang baru berusia 11 tahun hingga tewas.
Keluarga itu hidup di kawasan padat dengan lebar gang sekitar satu meter. Keributan berbuntut maut itu pemicunya sepele, si anak ditegur tetangga setelah menyerempet anak lain. Sang ayah yang seorang buruh di pelabuhan ikut menegur anaknya dengan kemarahan luar biasa.
Ledakan emosi ayah di Penjaringan dan di Jagakarsa tak sekali saja terjadi. Tekanan emosional dinilai telah menumpuk lama.
Status para keluarga bermasalah yang masih mengontrak rumah identik dengan warga pendatang. Fenomena tersebut bisa dikatakan cukup lazim di perkotaan. Beban sebagai pendatang yang berjarak dari sanak saudara memperberat persoalan individu ataupun keluarga.
Miwa Yasui dalam salah satu artikel di majalah daring terbitan The University of Chicago mengulas tentang para pendatang. Imigran asal Asia di Chicago, misalnya, terbelit dalam dilema kultural karena ada benturan antara budaya asal dan budaya setempat.
Baca juga: Simbiosis Mal, ”Wota”, ”Wibu”, dan Beragam Subkultur Kota
Pendatang rentan mendapat stigma dari warga setempat atau dari yang lebih dulu menetap di suatu daerah. Stigma ini turut berpengaruh pada kesehatan mental dan memicu konflik dalam keluarga ataupun sosial.
Biaya hidup
Tinggal di kota memang tidak mudah, apalagi murah. Beragamnya peluang pekerjaan diimbangi dengan biaya hidup yang tinggi.
Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 dari Badan Pusat Statistik yang dirilis pada 12 Desember 2023 menunjukkan biaya hidup rumah tangga di Jakarta Rp 14,9 juta per bulan. Di Surabaya, Jawa Timur, butuh biaya hidup Rp 13,4 juta per bulan.
SBH 2022 ini merujuk pada biaya rumah tangga beranggotakan 2-10 orang dengan minimal satu orang yang bekerja.
Di Jakarta, UMP 2024 telah diteken, yaitu Rp 5,067 juta per bulan. Dengan upah sebesar itu, jika hanya suami atau istri saja yang bekerja untuk menghidupi keluarga dengan dua anak tentu masih akan serba kekurangan.
Baca juga: Kisah Trotoar Terentang dari Anatolia sampai Jakarta
Jika tulang punggung tunggal dalam suatu keluarga dengan empat anggota berpenghasilan Rp 15 juta per bulan, kehidupan mereka pun masih terbilang pas-pasan. Apalagi bila tidak diimbangi kemampuan mengelola keuangan yang baik atau bergaya hidup ”lebih besar pasak daripada tiang”.
Antaranggota keluarga yang terbiasa saling mengobrol bebas, bercanda, dan makan bersama memiliki kehidupan lebih sejahtera walau sederhana.
Ikatan keluarga
Akan tetapi, bukan berarti kesejahteraan semata ditentukan oleh besarnya pendapatan. Laporan riset berjudul ”Family happiness among people in a Southeast Asian city: Grounded theory study” (2020) yang diterbitkan Wiley, Nursing and Health Science mengungkap tentang ikatan emosi yang turut menentukan kebahagiaan keluarga urban.
Riset tersebut meneliti beberapa keluarga, baik warga setempat dan pendatang di Kota Bangkok, Thailand. Keluarga yang diteliti berasal dari kelas menengah ke bawah.
Hasil penelitian mengungkapkan keluarga berpendapatan rendah ternyata dapat sejahtera ketika mereka mempraktikkan hubungan emosional positif.
Baca juga: Taman Kota, dari Genggaman Para Raja Menjadi Milik Warga
Antaranggota keluarga yang terbiasa saling mengobrol bebas, bercanda, makan bersama, memiliki kehidupan lebih sejahtera walau sederhana. Mereka juga konsisten menyisihkan sedikit uang untuk ditabung, berbelanja secara rasional, serta merencanakan kelangsungan sekolah anak.
Keluarga itu menetapkan target yang menjadi tujuan bersama dan lantas menggapainya dengan langkah-langkah kecil. Praktik itu membuat relasi emosional sebuah keluarga lebih kuat dan kualitas hubungan pun stabil.
Keluarga lain yang juga diteliti menunjukkan masalah internal akut ketika antaranggota tidak saling bicara terbuka. Kesedihan menghinggapi anggota keluarga karena kondisi tersebut dan terus berlarut.
Anggota keluarga yang telah dewasa, khususnya ayah atau ibu, berperan besar mengintervensi kekakuan hubungan. Jika tidak segera dilakukan, masalah internal makin parah dan bisa berakibat fatal, seperti perpecahan, kekerasan, dan gangguan mental.
Baca juga: Ponselmu Harimaumu
Biaya hidup tinggi memang bisa menggerus kesejahteraan keluarga di perkotaan. Namun, kehangatan relasi antaranggota keluarga mampu menahan gerusan itu, bahkan menjadi modal kuat untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik. Ketika ikatan keluarga merenggang, perlu segera mencari solusinya bersama-sama.
Hasil riset ilmiah membuktikan membiarkan diri sendiri dan keluarga terus dirundung masalah bak mengulang kisah katak di dalam panci berisi air di atas kompor. Katak terus menyesuaikan tubuhnya dengan suhu air. Kala panci dipanaskan, katak terus merasa nyaman sampai akhirnya mati seketika saat air mendidih pada suhu tertinggi.
Oh, sungguh tak perlu. Sebuah situasi tragis yang sesungguhnya bisa dihindari.
Baca juga: Catatan Urban