Kelas Menengah Aspirasional adalah Kita, Berhati-hatilah...
Kaum aspirasional menguasai informasi dan peduli lingkungan. Dari kelas elite ini pemimpin-pemimpin terbaik lahir. Namun, hati-hati dengan ”serigala” berbaju kelas aspirasional.
Jauh sebelum keberadaan kelas aspirasional dikenal, pada akhir abad ke-19, sosiolog dan ekonom asal Amerika Serikat, Thorstein Veblen, mengejutkan publik dengan teori Kelas Kenyamanan (Leisure Class).
Veblen memperkaya pembagian kelas masyarakat dengan melihat bagaimana mereka menghabiskan waktu luangnya. Ia menemukan perilaku penguasa istana, pengusaha pemilik industri, yang mengisi waktunya dengan bersenang-senang berlebihan juga memiliki benda-benda mahal dan mengikuti acara-acara yang menyedot dana besar.
Perilaku mereka kurang berkontribusi positif pada masyarakat. Sebaliknya, kelas menengah dan kelas pekerja diperkuda guna mendukung kebutuhan seluruh masyarakat, termasuk kelas atas.
Baca juga : Kantormu Bukan Keluargamu
Namun, penguasaan barang dan jasa yang mewah itu menyebabkan kalangan atas menjadi kaum elite berstatus sosial tinggi. Tanpa sadar, dalam benak rakyat kebanyakan ada keinginan untuk menjadi seperti mereka agar naik status dan sejahtera.
Seratus tahun kemudian, Elizabeth Currid-Halkett membukukan hasil risetnya yang menguak keberadaan kelas aspirasional dalam The Sum of Small Things: A Theory of the Aspirational Class (2017) yang memiliki standar kenyamanan berbeda dari versi Veblen.
”Ketika mempelajari praktik konsumen para elite saat ini, saya menyadari tidak semuanya kaya dan tidak secara aktif berusaha menunjukkan kekayaan tersebut. Faktanya, beberapa dari mereka tidak kaya sama sekali,” katanya dalam wawancara bersama Brink.
Kelas aspirasional memilih menguasai informasi. Mereka merasa nyaman ketika mengonsumsi barang dan jasa karena ada alasan kuat, seperti mengurangi kerusakan lingkungan, baik untuk kesehatan, membantu usaha kecil, maupun tak mau terlibat dengan kelompok atau pihak tertentu yang dinilai berkontribusi buruk pada masyarakat.
Baca juga: Gengsi-gengsian SCBD Versus Cikarang
Yang menarik, mereka berasal dari latar belakang ekonomi yang berbeda, tetapi disatukan oleh norma budaya yang sama. Sebagian besar di antara mereka diyakini adalah warga kota.
Salah satu ”gaya hidup” kelas aspirasional ini, saat menghadapi libur akhir tahun seperti sekarang ini, misalnya, orangtua dari kelas aspirasional bakal memilih wisata yang tak sekadar menawarkan acara senang-senang. Ada muatan edukasi dan kesehatan dalam liburan yang dijalani.
Yang memiliki dana pas-pasan pun akan dengan segala cara berusaha ia dan anak-anaknya menghabiskan libur dengan agenda berkualitas penuh makna minim biaya. Yang punya rekening dengan angka nol tak terbilang bersemangat merencanakan serentetan program jalan-jalan, memanjakan lidah, sampai aktivitas yang memperluas wawasan dan baik untuk kesehatan jiwa maupun raga.
Lewat unggahan di media sosial, kelas aspirasional terdeteksi hiking di pinggiran kota hingga naik gunung di pulau lain, bahkan luar negeri. Jalan-jalan ke museum dengan naik angkutan umum modern. Mengunjungi tempat-tempat alami yang cantik natural. Belanja buku di bursa buku murah akhir tahun atau di gerai buku waralaba luar negeri.
Baca juga: Simbiosis Mal, ”Wota”, ”Wibu”, dan Beragam Subkultur Kota
Kelas aspirasional jelas kontra dengan orang-orang yang hobi pamer liburan disertai foto tas tangan bermerek atau bermewah-mewah dengan latar belakang Menara Eiffel di Paris atau Big Ben di London. Beda.
Ketika mempelajari praktik konsumen para elit saat ini, saya menyadari tidak semuanya kaya dan tidak secara aktif berusaha menunjukkan kekayaan tersebut.
Currid-Halkett, Guru Besar Kebijakan Publik di Price School of Public Policy University of Southern California, mengatakan, kelompok aspirasional ini sadar secara sosial dan lingkungan untuk memilih menjadi manusia yang lebih baik dan berdampak.
Meskipun demikian, Currid-Halkett yang juga peraih doktor bidang perencanaan perkotaan itu menyatakan jumlah mereka sampai sekarang sulit dipastikan. Tidak seperti kelompok orang terkaya yang diketahui publik secara luas. Tidak pula seperti masyarakat miskin yang namanya ada di pelbagai program bantuan sosial.
Namun, kelas aspirasional diyakini ada banyak dan tersebar di semua kalangan.
Bagaimana mendeteksinya? Dari gerakan yang diinisiasi kelas aspirasional dan dampaknya.
Baca juga: Kisah Trotoar Terentang dari Anatolia sampai Jakarta
Di keseharian, gerakan untuk tidak lagi menggunakan sedotan plastik berhasil mendesak dunia industri melahirkan sedotan kertas ataupun dari bahan bambu. Ini serupa dengan kampanye tas belanja, botol minum, dan wadah makanan yang tidak sekali pakai. Atau, mulai menjauhi kendaraan bermotor berbahan bakar fosil untuk beralih ke kendaraan listrik.
Juga booming produk make-up, perawatan tubuh, dan pakaian telah bergeser menggunakan bahan non-hewan ataupun yang merusak hutan. Pusat-pusat kebugaran tak lagi terkonsentrasi di pusat belanja atau kawasan khusus, tetapi makin mudah ditemui di deretan ruko yang dekat dengan perkampungan. Makanan organik tak kalah sukses menggamit penggemar yang lebih luas.
Munculnya kaum digital-nomad yang tersemat pada anak-anak muda bekerja di dunia digital, pekerja lepas, dan suka berpetualang menjelajah dunia disebut-sebut bagian dari makin merebaknya kelas aspirasional.
Kelompok ini biasanya juga mengidolakan pemimpin sederhana, tetapi pintar, ahli di bidang tertentu, menyuarakan keprihatinan publik, serta menjanjikan hal-hal ideal yang diperlukan publik.
Baca juga: Taman Kota, dari Genggaman Para Raja Menjadi Milik Warga
Di negara-negara maju, pemimpin kawasan urban mengusung penataan kawasan berbasis angkutan umum diiringi adaptasi penanggulangan bencana dengan memperbanyak ruang terbuka hijau dan biru disertai pembangunan ekonomi sirkular.
Di Amerika Serikat, mantan Presiden AS Barack Obama dianggap sebagai bagian kelas aspirasional. Ia terjun ke dunia politik tak hanya berbekal ilmu dari bangku kuliah, tetapi juga belajar pelayanan publik dari beberapa komunitas urban.
Obama di antaranya mengusung program jaminan kesehatan bagi warga di sana. Walau selalu ada pro dan kontra, jaminan kesehatan yang berguna bagi banyak orang tersebut tetap memikat dan didukung sebagian besar publik.
Apa yang dilakukan Obama kemudian banyak ditiru oleh calon pemimpin dan pemimpin lain di seluruh dunia.
Baca juga: Ponselmu Harimaumu
Ada yang eksis dengan program jaminan kesehatan, ada kota taman dengan sungai bersih, ada pula yang membangun banyak ruang interaksi publik mengikis kekakuan relasi sosial di perkotaan, tak ketinggalan yang membangun sistem transportasi publik agar kotanya tak terus berkutat pada kemacetan dan dekapan polusi.
Tidak mengherankan kala ada wali kota yang berhasil dengan programnya dan melaju hingga merebut kursi kepresidenan.
Dampak besar keberadaan kelas aspirasional membuat kaum yang tak ingin mencolok ini pun akhirnya terlihat jelas.
Banyak pula yang kemudian sekadar memotret permukaan tanpa mau repot menggali informasi dan mempraktikkan akar budaya kelas aspirasional. Banyak yang tertarik untuk menjadi bagian dari kelompok ini, meraih status sosial berbeda yang dinilai lebih elite, bahkan meraup dukungan suara mereka untuk kepentingannya.
Baca juga: Catatan Urban
Akibatnya, ada produk berlabel ramah lingkungan mendunia, tetapi lalu terbukti menggunakan pekerja anak dan membayar pekerjanya dengan upah rendah. Ada juga calon-calon pemimpin memoles diri bak kaum aspiratif dan ramah. Padahal, aslinya otoriter dan berpotensi menjadi diktator.
Aduh, hati-hati, ya.