Penindakan Hukum Khusus untuk Pembebasan Pilot Susi Air
Selain upaya persuasif, pembebasan pilot Susi Air, Capt Mehrtens, harus juga dilakukan melalui penindakan hukum khusus dalam kerangka kontraterorisme. Untuk ini, butuh unit khusus atau taktis kepolisian.
Kelompok kriminal bersenjata (KKB) telah meningkatkan serangan terhadap aparat keamanan dan warga menjadi sporadis, evolutif, dan terorganisasi secara baik. Penilaian ini didapat dari pengamatan terhadap beberapa pemberitaan Kompas, antara lainnya ”Dandim Yahukimo dan Tiga Prajurit Korban Serangan KKB Dievakuasi” (3/3/2023); ”KKB Tembak Tujuh Warga dan Satu Prajurit TNI” (4/3); ”Jenazah anggota TNI dan Polri korban KKB di Puncak Jaya Dievakuasi” (27/3); dan ”Prajurit di Pos TNI Nduga Gugur Ditembak KKB” (4/4).
Lalu, apabila diobservasi lebih dalam, luas wilayah serangan KKB kini meliputi empat wilayah, yaitu Kabupaten Yahukimo dan Nduga di Papua Pegunungan, lalu Kabupaten Puncak dan Puncak Jaya di Pegunungan Tengah (Kompas, 4/4).
Bertolak dari rangkaian peristiwa serangan KKB tersebut, upaya pembebasan pilot maskapai Susi Air, Capt Philip Mehrtens, yang disandera kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) belum menemukan titik terang. Dalam arti lain, runtutan peristiwa serangan tersebut menjadi latar yang menarik akan lambatnya penanganan kasus penyanderaan Capt Philip Mehrtens.
Baca juga: Darurat Perlindungan Warga Sipil di Papua
Bersumber pada hasil pengamatan media, opsi persuasif yang menjadi pilihan pemerintah dan aparat keamanan untuk membebaskan sandera menitikberatkan pada aspek sosio kultural, yaitu melalui pendekatan marga. Dalam sklama lebih luas, metode ini juga digunakan untuk mengatasi gangguan keamanan di Papua (Kompas, 28/3). Titik pusat metode persuasif bertujuan membuka saluran komunikasi sehingga dapat mengetahui posisi, kepentingan, dan tuntutan para pihak, serta menghindari upaya koersif menjadi pilihan utama.
Akan tetapi, sulitnya membujuk kelompok TPNPB yang berintikan aneka ragam tuntutan terkait pembebasan Capt Mehrtens harus didorong adanya opsi lain di luar persuasi, yakni pembebasan sandera melalui penindakan hukum khusus dalam kerangka kontraterorisme. Hal ini dilandasi pada suatu kondisi bahwa persuasi dalam pembebasan sandera memiliki batas yang terukur, yang terdiri atas waktu dan sumber daya.
Sulitnya membujuk kelompok TPNPB yang berintikan aneka ragam tuntutan terkait pembebasan Capt Mehrtens harus didorong adanya opsi lain di luar persuasi.
Terbatasnya waktu menandakan elemen kritikal terkait pembebasan sandera, yang berarti semakin lama situasi persuasi berlangsung, semakin besar risiko bagi sandera. Sementara elemen sumber daya menunjukkan bahwa semakin lama waktu yang digunakan, sumber daya yang digunakan semakin besar dan terbatas sehingga berdampak pada tingkat kesuksesan operasi pembebasan sandera. Oleh karena itu, opsi penindakan hukum khusus harus diletakkan di atas meja pembuat kebijakan sebagai alternatif.
Unit khusus
Lazimnya, penindakan hukum khusus diperuntukkan bagi kontraterorisme sekaligus upaya pembebasan sandera. Dalam tingkatan yang lain, penindakan hukum secara khusus untuk mengatasi kejahatan finansial, siber, narkotika, dan perdagangan orang. Oleh karena itu, dalam tingkatan operasional, penindakan khusus membutuhkan unit khusus atau taktis kepolisian untuk menegakkan hukum secara cermat.
Lebih jauh, penindakan hukum khusus menandakan adanya strategi dan keputusan yang tegas untuk mengatasi situasi berisiko tinggi. Berefleksi atas kegagalan aparat keamanan Jerman di Olimpiade Muenchen pada 1972, unit khusus memerlukan ruang untuk pengambilan keputusan yang independen (Hobson & Pedahzur 2022). Ruang tersebut tidak hanya diperlukan untuk memastikan pengambilan keputusan secara independen, tetapi juga membuka kesempatan terhadap informasi intelijen baru meskipun terkadang informasi tersebut mungkin bertentangan dengan ekspektasi atau kepercayaan pengambil keputusan (Pérez, 2004), dan juga pintu kerja sama antarunit taktis.
Baca juga: Makna Penyanderaan Pilot di Papua
Dengan demikian, apabila kita letakkan ke dalam konteks penyanderaan Capt Mehrtens, opsi penindakan hukum khusus secara fundamental memiliki tiga tujuan. Pertama, membebaskan sandera melalui penindakan karena merupakan prioritas utama. Kedua, memproses secara hukum para pelaku penyanderaan berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ataupun UU No 5/2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU PTPT). Ketiga, menyampingkan opsi operasi militer yang memiliki potensi kontraproduktif terkait dengan situasi terkini di Papua. Selain menetapkan tujuan tersebut, penindakan khusus dituntut membuka ruang kolaborasi lebih dalam antarunit taktis yang terdapat di Polri dan TNI, seperti Densus 88, Gegana, Satuan 81 Kopassus, dan Denjaka TNI AL.
Setidaknya terdapat lima justifikasi mengapa opsi penindakan hukum perlu dipertimbangkan pemerintah. Pertama, menyangkut kondisi keselamatan dan kesehatan sandera. Kedua, reputasi aparat keamanan, baik Polri maupun TNI, dipertaruhkan. Ketiga, komitmen terhadap penegakan hukum dipertanyakan. Keempat, menyangkut kepercayaan internasional terhadap keseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus penyanderaan seorang warga negara asing. Kelima, mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap penyelesaian konflik berkepanjangan, jaminan tertib hukum dan ketertiban masyarakat, serta implementasi program-program kesejahteraan di Papua.
Kelima justifikasi tersebut menjadi faktor krusial untuk memastikan ikhtiar pembebasan sandera melalui kerangka penegakan hukum khusus selaras dengan konstitusi, peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM). Kemudian berdasarkan justifikasi-justifikasi tersebut, terdapat beberapa komponen esensial yang menjadi tolak ukur keberhasilan dari pembebasan sandera.
Dalam tingkatan operasional, penindakan khusus membutuhkan unit khusus atau taktis kepolisian, untuk menegakkan hukum secara cermat.
Pertama, kriteria operator dalam upaya pembebasan sandera. Oleh karena pembebasan sandera merupakan penindakan hukum secara khusus, operator utama adalah unit khusus atau unit taktis Polri yang dibantu dengan satuan antiteror TNI. Unit tersebut dituntut memiliki tingkat kebugaran yang tinggi dan keterampilan istimewa yang didapatkan melalui pelatihan khusus, antara lain adalah kemampuan beradaptasi di ekosistem hutan tropis dan pegunungan. Hal ini merupakan tuntutan fundamental sekaligus celah kelemahan yang besar apabila tidak dapat terpenuhi.
Sebagai perbandingan, Grenzschutzgruppe 9 (GSG-9) yang merupakan satuan taktis kepolisian federal Jerman yang membentuk format pelatihan taktis yang didukung analisis kasus psikologis, dan telaah hasil observasi secara konstan terhadap lokasi, fase penting kegiatan, dan profil kelompok teroris. Dengan demikian, membentuk mekanisme umpan balik terhadap prosedur dan konten pelatihan. Dengan kata lain, pelatihan taktis yang dilandasi kemampuan analisis yang tajam, dan dokumentasi yang rapi membentuk daya adaptasi yang kuat, yang pada akhirnya menciptakan oportunitas kesuksesan misi (Harnischmacher, 2011).
Kedua, unit khusus yang diterjunkan dituntut memiliki perlengkapan khusus dalam skema pembebasan sandera di ruang sempit yang ditopang oleh kerasnya medan operasi. Sebagai faktor distingtif, peralatan tersebut harus diletakkan dalam garis besar penindakan hukum yang mengedepankan persenjataan yang melumpuhkan alih-alih mematikan, serta berdasarkan pada kebutuhan konkret unit khusus yang diterjunkan.
Ketiga, kolaborasi antara TNI dan Polri. Kerja sama kedua aktor keamanan tersebut merupakan kondisi yang diamanatkan Pasal 7 Ayat (2) UU No 34/2004 tentang TNI dan Pasal 41 Ayat (1) UU No 2/2002 tentang Polri. Selain itu, kondisi tersebut adalah prasyarat untuk mencapai sinkronisasi metode bertindak, serta memenuhi elemen respons cepat dan fleksibilitas. Selain sinkronisasi metode bertindak, juga diperlukan penyelarasan perlengkapan yang digunakan. Pada akhirnya, pembentukan pusat operasi bersama dibutuhkan untuk mengatur koordinasi antaraparat di medan operasi.
Keempat, pengumpulan dan penggunaan laporan intelijen yang akurat. Aspek intelijen yang terdiri atas elemen pengamatan situasi terkini dan pemetaan wilayah penguasaan serta profil kelompok penyandera akan menentukan tingkat keberhasilan pembebasan sandera. Lebih dalam lagi, hasil pengamatan dan pemetaan tersebut berkontribusi pada siasat khusus yang disusun, yang galibnya berintikan elemen kejut dan pengalihan (Pérez, 2004).
Baca juga: Papua di Antara Beragam Kepentingan
Sementara itu, selain adanya komponen esensial yang menopang keberhasilan pembebasan sandera, secara serempak juga terdapat kondisi-kondisi yang harus dihindari dalam menyusun rencana pembebasan sandera. Pertama, informasi intelijen yang tidak akurat. Kedua, kondisi politik yang tidak mendukung kebijakan pembebasan sandera berdasarkan penindakan hukum secara khusus.
Ketiga, luka atau tewasnya sandera ataupun aparat. Keempat, rencana yang prematur. Kelima, situasi yang tidak terduga. Terakhir, penggunaan kekuatan secara berlebihan sehingga menghasilkan dampak pelanggaran hukum berat, kode etik, dan prinsip-prinsip HAM.
Sebagai penutup, kasus penyanderaan Capt Philip Mehrtens oleh TPNPB merupakan simbol yang menunjukan bahwa belum terdapat keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan akar permasalahan di dalam konflik berkepanjangan di tanah Papua. Oleh karena itu, upaya yang komprehensif dan komitmen kuat dibutuhkan untuk menemukan elemen apa saja yang menjadi akar permasalahan timbulnya konflik, dan secara akurat menyelesaikan permasalahan tersebut.
Maka, diperlukan upaya sangat serius bagi pemerintah untuk mengakselerasi program-program kesejahteraan masyarakat Papua, yang selama ini belum tersentuh program kesejahteraan pemerintah. Selain itu, percepatan implementasi PP No 107/2021 dan Inpres No 9/2020 yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat Papua perlu dilakukan secara bersungguh-sungguh.
D Nicky Fahrizal, Peneliti Hukum dan Keamanan Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta