Dialog dan negosiasi damai menjadi sarana utama upaya penyelesaian konflik di Papua. Pelibatan gereja dan cendekiawan yang lekat dengan masyarakat Papua dan dapat diterima oleh orang asli Papua menjadi sangat penting.
Oleh
ANGEL DAMAYANTI
·4 menit baca
Serangan kelompok bersenjata ke Pos TNI di Mugi Mam, Nduga, Papua, pada Sabtu (15/4/2023) menambah panjang daftar kekerasan dan jumlah korban meninggal akibat konflik berkepanjangan di Papua (Kompas, 16/4/2023).
Gugus Tugas Papua pernah melaporkan jumlah kasus kekerasan di Papua bisa mencapai 348 kali sejak 2010 hingga Maret 2022. Aliansi Demokrasi untuk Papua melaporkan, terdapat 63 kasus kekerasan pada 2021 dan 53 kasus pada 2022. Kepala Kepolisian Daerah Papua melaporkan angka yang lebih besar lagi, yaitu 106 kasus kekerasan pada 2021 dan 90 kasus pada 2022.
Meskipun berbeda, jumlah-jumlah tersebut menunjukkan kekerasan di Papua masih terus terjadi selama lebih dari 50 tahun. Korbannya bisa berasal dari aparat keamanan, warga sipil yang kebanyakan adalah orang asli Papua (OAP) dan anggota kelompok bersenjata Papua.
Sejumlah pengamat telah menjelaskan masalah utama yang menyebabkan kekerasan di Papua terus terjadi. Banyak yang menyalahkan pendekatan keamanan yang digunakan pemerintah dan menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pendekatan ekonomi juga dianggap gagal membawa kesejahteraan bagi OAP dan malah mendorong praktik korupsi kepala-kepala daerah Papua.
Pengamat lainnya menekankan pentingnya pendekatan sosial budaya dalam penyelesaian masalah kekerasan di Papua. Terkait hal ini, menarik untuk memperhatikan apa yang disampaikan Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia tentang ”Konflik Papua dan Tanggung Jawab Intelektual” (Kompas, 19/2/2023). Ia melihat peluang intelektual untuk membantu menghentikan konflik di Papua, tetapi sering kali terhalang ”banalitas intelektual” yang membuat daya tawar para intelektual lemah terhadap pemegang kekuasaan.
Isu Papua dan fungsi intelektual
Berbicara tentang intelektual, Antonio Gramsci dalam bukunya, Prison Notebooks (1971), membedakan dua jenis intelektual, tradisional dan organik. Pemisahan kedua jenis intelektual ini dikaitkan dengan hubungan mereka dengan hegemoni dan dominasi pemegang kekuasaan.
Ketika kaum intelektual tradisional dekat dengan kekuasaan dan memberi masukan sambil menikmati fasilitas yang diberikan, kaum intelektual organik justru mendekatkan diri dengan masyarakat sambil menunjukkan fungsi mereka yang membangun dari bawah ke atas. Kelompok yang kedua ini berusaha mempertahankan sikap kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah tanpa harus menjadi anti-penguasa.
Intelektual organik yang tidak terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan tetap berfungsi dengan memberikan kritik dan masukan kepada pemerintah melalui berbagai cara.
Kedua jenis intelektual tersebut telah menunjukkan kontribusi sesuai fungsi mereka dalam penanganan masalah di Papua. Secara tradisional, hal ini dilakukan, misalnya, dengan memberikan rekomendasi berbasis penelitian serta keterlibatan dalam pembahasan isu-isu strategis dan penyusunan agenda pembangunan.
Isu yang dibahas pun sangat luas, mulai dari keamanan hingga distribusi kesejahteraan; mulai dari keamanan wilayah hingga keamanan manusia yang mencakup kebutuhan ekonomi, pangan, pendidikan, kesehatan, lingkungan, personal, komunitas, dan politik.
Intelektual organik yang tidak terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan tetap berfungsi dengan memberikan kritik dan masukan kepada pemerintah melalui berbagai cara. Hal ini dilakukan, misalnya, oleh gereja dan para cendekiawan yang hidup lekat dengan masyarakat Papua. Mereka juga kerap memberikan advokasi, pendidikan serta pembinaan kerohanian kepada OAP.
Kompleksitas isu Papua
Isu Papua menjadi semakin kompleks ketika perbedaan perspektif dan perdebatan terjadi pada tiga level, yaitu di dalam pemerintah, di antara kelompok intelektual, dan pada OAP itu sendiri.
Pertama, perbedaan sebutan terhadap kelompok bersenjata Papua memunculkan perbedaan persepsi dan strategi penanganannya. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebut kelompok ini sebagai kelompok teroris bersenjata (KTB) dengan dasar Undang-Undang Terorisme Nomor 5 Tahun 2018. Penyebutan ini didukung juga oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Badan Intelijen Negara (BIN) menyebutnya dengan sebutan kelompok separatis teroris (KST), sedangkan TNI dan Polri menyebutnya dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB). Perbedaan penyebutan nama ini tentu berimplikasi terhadap siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan penanganan konflik dan dengan cara bagaimana.
Di sisi lain, kelompok bersenjata Papua secara konsisten mengaitkan dirinya dengan gerakan separatisme melalui sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Tentu saja Pemerintah Indonesia tidak harus mengikuti sebutan tersebut. Namun, penyamaan persepsi tentang siapa yang dihadapi penting untuk menyatukan komando dan memilih pendekatan dalam mengatasi kelompok bersenjata di Papua.
Kedua, adanya perbedaan perspektif pada kelompok intelektual dalam penyelesaian masalah di Papua. Perbedaan tersebut terlihat, misalnya, dari usulan pendekatan untuk menyelesaikan konflik termasuk perbedaan pandangan tentang pendekatan keamanan, ekonomi, dan pemekaran wilayah.
Perbedaan sebutan terhadap kelompok bersenjata Papua memunculkan perbedaan persepsi dan strategi penanganannya.
Ketiga, perdebatan juga terjadi di dalam masyarakat Papua itu sendiri. Dialog yang berulang kali diusulkan sebagai upaya penyelesaian masalah di Papua kerap berujung rusuh atau bahkan ditolak. Penolakan bukan terhadap usulan dialog dan substansinya, tetapi pada OAP yang dipilih untuk merepresentasikan seluruh masyarakat Papua dan yang dapat menyampaikan aspirasi mereka.
Penolakan ini terjadi karena rendahnya rasa saling percaya di antara OAP akibat tradisi perang antarsuku. Perpecahan di dalam masyarakat Papua tentu saja merugikan OAP itu sendiri karena sesungguhnya proses dialog dapat membantu menyamakan persepsi baik di internal warga Papua maupun dengan pemerintah.
Membangun saling percaya
Perdebatan tentang isu Papua dan penyelesaiannya bukan barang baru karena telah dimulai sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua pada 1969. Mengenai hal ini, Kompas.com (31/7/2021) telah mengulasnya dalam tulisan yang berjudul ”Pepera 1969 dan Kontrovesinya”.
Namun, kekerasan tidak akan pernah bisa menyelesaikan konflik. Sebaliknya, ”jaw-jaw is better than war-war”, demikian disampaikan oleh Winston Churchill, Perdana Menteri Inggris yang terbukti berhasil menyelesaikan perselisihan internasional pasca-Perang Dunia II melalui negosiasi.
Di tengah beragam aktor dan kepentingan yang ada di Papua, dialog dan negosiasi damai menjadi sarana utama untuk membangun mutual trust dan persepsi yang sama tentang masalah yang dihadapi. Keduanya menjadi langkah awal untuk membahas upaya bersama agar seluruh OAP dapat menikmati perlindungan, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan dan keadilan sosial.
Dalam hal ini, ada dua dialog yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Yang pertama adalah negosiasi damai dengan OPM, termasuk kemungkinan melibatkan pihak ketiga sebagai mediator yang diterima oleh kedua belah pihak, seperti yang dilakukan dalam perundingan damai dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ini diperlukan agar kekerasan di Papua segera berakhir.
Kedua, dialog dengan warga Papua dan memfasilitasi sebanyak mungkin aspirasi dari representasi OAP. Libatkan gereja dan cendekiawan yang lekat dengan masyarakat Papua dan dapat diterima oleh OAP. Ini penting untuk wining the OAPs’ minds and hearts. Dengan demikian, OAP tidak lagi merasa dibeda-bedakan oleh Pemerintah Indonesia karena OAP adalah kita.