Kondisi hak asasi manusia di Papua memasuki situasi eksepsional dan sudah sangat mengkhawatirkan. Ada gejala eskalasi konflik bersenjata yang serius. Pemerintah perlu mengagendakan penyelesaian damai atas konflik Papua.
Oleh
USMAN HAMID
·4 menit baca
Baru-baru ini, tepatnya 20 Maret 2023, Presiden Joko Widodo berkunjung ke Papua bersama rombongan menteri dan kepala lembaga setingkat menteri. Tak ada sama sekali pernyataan resmi yang menyangkut eskalasi konflik bersenjata di Papua dan penyelesaiannya.
Agendanya bukan dalam rangka menyikapi eskalasi konflik bersenjata, melainkan terfokus pada pembangunan ekonomi. Ia mengunjungi kawasan lumbung pangan di Kabupaten Keerom, meresmikan Gedung Papua Youth Creative Hub (PYCH) dan kebun sagu di Jayapura, serta kawasan Bioflok di Sentani Timur, Jayapura.
Tanpa kejujuran untuk mengakui konflik Papua sebagai konflik bersenjata, selama itu pula pemerintah menjauhkan dirinya dari kemampuan untuk menyelesaikan konflik itu berbasis pada landasan hukum dan kebijakan yang tepat.
Selang beberapa hari setelah kunjungan Presiden, dua personel TNI dan Kepolisian Negara RI (Polri) tewas ditembak ketika bertugas mengamankan shalat Tarawih di Masjid Al-Amaliah, Distrik Ilu, Kabupaten Puncak Jaya, Papua Tengah.
Kejadian itu belum ditambah dengan rentetan aksi kekerasan terkait pemberontakan bersenjata Papua. Sebut saja, misalnya, aksi penyanderaan pilot Susi Air oleh kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogoya di Nduga. Kasus ini seperti tak mendapat perhatian dalam kunjungan tersebut.
Padahal, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) tengah merumuskan strategi mengeliminasi berkembangnya internasionalisasi Papua dan sinyalemen adanya kekuatan-kekuatan dari luar yang ikut bermain seperti pada pengalaman Timor Timur. Terlepas benar-tidaknya hal tersebut, pemerintah juga ada salahnya dan Presiden seharusnya memperbaiki kesalahan-kesalahan itu.
Begitu pula dengan insiden Wamena baru-baru ini yang menelan korban jiwa sebanyak 12 warga sipil. Tak ada komitmen untuk menegakkan hukum dan menghadirkan rasa keadilan pada korban. Tak ada pula pernyataan simpati kepada mereka yang menjadi korban dari konflik Papua.
Eskalasi konflik bersenjata
Kondisi hak asasi manusia (HAM) di Papua memasuki situasi eksepsional dan sudah sangat mengkhawatirkan.
Warga sipil jelas menjadi pihak yang paling terdampak. Namun, yang tewas di kalangan pasukan bersenjata juga tidak sedikit. Berbagai observasi menunjukkan gejala eskalasi konflik bersenjata yang serius.
Amnesty International Indonesia mencatat, sejak 2018 hingga 2022 terdapat setidaknya 91 kasus pembunuhan di luar hukum yang melibatkan aparat TNI, Polri, petugas lembaga pemasyarakatan, dan kelompok pro-kemerdekaan Papua yang menewaskan setidaknya 177 warga sipil. Sementara itu, jumlah anggota TNI-Polri yang jadi korban pada periode yang sama sebanyak 44 orang, dan anggota kelompok pro-kemerdekaan sebanyak 21 orang.
Ilustrasi
Data Institute for Policy Analysis and Conflict Studies (IPAC) juga menunjukkan bahwa jumlah insiden kekerasan terkait pemberontakan dari 2010 hingga 2021 terus meningkat, hingga melebihi 80 kasus pada tahun 2021. Insiden tersebut menewaskan sedikitnya 320 jiwa, sebagian besar warga sipil (178 orang), sedangkan dari pasukan keamanan 92 orang, dan kelompok bersenjata 50 orang. Sebanyak 98 persen kematian (316 jiwa) terjadi di Provinsi Papua.
Riset dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) juga mengungkapkan dominannya kekerasan di Papua, empat kali lebih besar daripada rata-rata nasional. Ini sangat ironis mengingat Papua memiliki salah satu rasio pasukan keamanan per penduduk tertinggi dibandingkan dengan provinsi lain.
Seharusnya jumlah pasukan keamanan berbanding lurus dengan situasi keamanan di daerah tersebut, tetapi situasi justru menunjukkan sebaliknya.
Melihat meningginya eskalasi konflik bersenjata antara tentara Republik Indonesia dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), bukankah seharusnya kunjungan Presiden memberi perhatian serius? Patut disayangkan kunjungan Presiden ke Papua tidak mengagendakan penyelesaian damai atas konflik Papua.
Padahal, tidak tanggung- tanggung, Presiden membawa pejabat-pejabat teras Jakarta: Menteri Pertahanan Prabowo Subianto; Menteri Investasi/ Kepala BKPM Bahlil Lahadalia; Kepala Staf Presiden Moeldoko; Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan; Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono; Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Selain itu, Menteri BUMN Erick Tohir; Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati; Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim; Menteri Sosial Tri Rismaharini; Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Halim Iskandar; Panglima TNI Laksamana Yudo Margono; Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo; dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas.
Patut disayangkan kunjungan Presiden ke Papua tidak mengagendakan penyelesaian damai atas konflik Papua.
Presiden juga tidak mengunjungi pihak-pihak yang strategis dalam penyelesaian konflik Papua. Kalangan pemerhati Papua berharap agar setidaknya Presiden menemui pimpinan resmi kelembagaan orang asli Papua, seperti Dewan Gereja Papua (DGP), Dewan Adat Papua (DAP), dan Majelis Rakyat Papua (MRP), yang merupakan representasi kultural tiga aktor kunci di Papua: pemimpin gereja, pemimpin adat, dan pemimpin perempuan.
Presiden juga tak menemui kalangan pegiat kemanusiaan yang mendampingi korban pelanggaran HAM. Padahal, mereka menantikan tindak lanjut pernyataan Presiden pada Januari lalu yang mengakui dan menyesalkan terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu, termasuk di Papua.
Tidak cukup Presiden menyerahkan penyelesaian konflik Papua kepada Wakil Presiden yang kini menjabat sebagai pemimpin badan khusus untuk Papua. Tidak cukup pula jika Presiden memberikan arahan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD yang justru tak diikutsertakan dalam kunjungan terakhir Presiden ke Papua.
Sudah berkali-kali Presiden mengadakan kunjungan ke Papua, tetapi tidak pernah secara khusus bertujuan menyelesaikan kekerasan dan pelanggaran HAM atas warga sipil akibat konflik antara aparat keamanan dan kelompok pro-kemerdekaan Papua. Agenda ini yang seharusnya dilakukan Presiden setiap berkunjung ke Papua agar tidak sia-sia.
Presiden seharusnya juga mendengarkan suara masyarakat Papua untuk mengakhiri kekerasan di Papua melalui jalan dialog yang bermartabat.
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia dan Dewan Pakar Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi)