Darurat Perlindungan Warga Sipil di Papua
Meningkatnya warga sipil yang jadi korban menunjukkan perlindungan terhadap warga sipil belum dijalankan efektif dalam strategi keamanan di Papua. Perlindungan warga sipil perlu diupayakan dari hulu sampai hilir.
Penyanderaan pilot Susi Air asal Selandia Baru, Philips Marthen, oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka atau TPNPB-OPM menambah panjang daftar kegagalan negara dalam melindungi warga sipil di Papua.
Belum selesai kasus tersebut ditangani, ada gejolak di Wamena pada 23 Februari yang menewaskan sembilan warga sipil. Kerusuhan tersebut dipicu hoaks terjadinya penculikan terhadap seorang warga asli Papua oleh pendatang.
Secara statistik, data CSIS di Papua menjelaskan, pada 2021 terjadi 68 insiden kekerasan dengan 114 korban. Sementara pada 2022 terjadi 51 insiden dengan 70 korban. Meskipun jumlah korban menurun, persentase serangan yang menarget warga sipil meningkat dari 35 persen pada 2021 menjadi 43 persen tahun 2022.
Angka itu menunjukkan, warga sipil tidak lagi jadi collateral damage dalam situasi konflik, tetapi ”dijadikan target” oleh pihak yang berkonflik. Meningkatnya warga sipil yang jadi korban menunjukkan perlindungan terhadap warga sipil belum dijalankan efektif dalam strategi keamanan di Papua.
Tulisan ini memberi analisis singkat dari kasus penyanderaan pilot Susi Air dan kerusuhan di Wamena dan bagaimana upaya perlindungan warga sipil seharusnya dijalankan.
Baca juga : Konflik Papua dan Tanggung Jawab Intelektual
Baca juga : 9 Warga Tewas akibat Kericuhan di Wamena Papua
Kasus penyanderaan
Dalam melihat kasus penyanderaan pilot Susi Air, bisa dipertanyakan apakah aparat keamanan telah ”lalai” dalam menganalisis kekuatan TPNPB-OPM selama ini. Ada nuansa ”meremehkan” kekuatan TPNPB-OPM. Padahal, tindakan mereka semakin brutal dan sadis. Ada perkembangan yang dinamis terhadap strategi perang OPM, kualitas dan kuantitas persenjataannya, serta distribusi dari gerakan mereka sehingga aparat keamanan perlu menyikapi dengan lebih serius.
Upaya membebaskan Philips Marthen akan menghadapi tantangan yang berat. Meski ada permintaan dari OPM untuk berdialog dengan pemerintah, karena dilabeli sebagai teroris, permintaan tersebut kecil kemungkinan akan dipenuhi.
Dialog hanya akan membuka ruang bagi OPM untuk meminta pemerintah mengakui kemerdekaan Papua. Melibatkan pihak internasional sebagai mediator juga kecil kemungkinan terwujud karena bisa jadi ”bola liar” internasionalisasi Papua yang semakin kompleks.
Pemerintah saat ini sedang berupaya untuk melakukan negosiasi dengan kepala suku dan masyarakat setempat. Negosiasi ini diasumsikan sebagai bagian dari upaya untuk meminta informasi di mana lokasi penyanderaan Philips Marthen. Selain itu, melalui negosiasi ini, kepala suku juga diharapkan berperan sebagai mediator untuk membebaskan pilot Susi Air itu.
Negosiasi di atas belum tentu akan menghasilkan dampak yang positif karena engagement antara aparat keamanan dan orang asli Papua (OAP) belum terbangun dengan baik.
Ilustrasi
Dari hasil studi CSIS (2022), masyarakat traumatis dengan kehadiran aparat keamanan. Selain karena kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi tanpa henti dan tanpa rasa keadilan, OAP juga dengan mudah distigmatisasi sebagai bagian dari OPM sehingga mereka terus-menerus menjadi korban kekerasan.
Posisi OAP di tengah konflik yang melibatkan aparat keamanan dengan OPM juga sulit. Kedekatan OAP dengan salah satu pihak yang berkonflik dengan mudah akan dicap sebagai pengkhianat oleh tiap-tiap pihak. Nyawa menjadi taruhannya kalau sudah dianggap sebagai pengkhianat. Dengan demikian, strategi bertahan OAP adalah dengan ”diam” dan menjaga jarak dengan pihak yang berkonflik. OAP hidup di situasi konflik tanpa ada pihak yang dapat melindunginya.
Baik bagi OPM maupun Pemerintah Indonesia, upaya menjaga Philips Marthen tetap hidup merupakan hal yang penting. Kalau Philips menjadi korban, citra OPM akan buruk di mata internasional. OPM mengandalkan dukungan dan simpati internasional untuk meraih tujuannya.
Di beberapa negara, dukungan terhadap OPM sudah terjadi. Sementara bagi Pemerintah Indonesia, ketidakberhasilan membebaskan pilot itu akan memperburuk citra negara ini dalam menyelesaikan kompleksitas masalah di Papua.
Kalau upaya membebaskan Philips dilakukan dengan operasi militer, risikonya besar bagi keselamatan nyawa pilot ini. Operasi militer berpotensi menghasilkan situasi yang chaotic sehingga bisa jadi akan sulit untuk diketahui siapa yang melukai atau membunuh siapa. Kita perlu belajar dari kasus penyanderaan di Mapenduma tahun 1996 yang mengakibatkan korban warga sipil.
Perlu digarisbawahi juga bahwa nyawa Philips Marthen jangan dianggap sebagai bagian dari collateral damage sehingga segala opsi bagi upaya pembebasannya harus dilakukan dengan cermat. Secara garis besar, hidup matinya Philips Marthen akan menghasilkan untung atau rugi baik bagi OPM maupun pemerintah karena kasus ini bukan semata-mata kasus penyanderaan, tetapi juga upaya pembangunan atau perburukan ”citra” dari setiap pihak yang berkonflik, khususnya di dunia internasional.
Ada perkembangan yang dinamis terhadap strategi perang OPM, kualitas dan kuantitas persenjataannya, serta distribusi dari gerakan mereka sehingga aparat keamanan perlu menyikapi dengan lebih serius.
Terlepas dari kompleksitas upaya pembebasan Philips Marthen, pemerintah perlu langkah cepat untuk bisa mengatasi masalah ini. Nyawa pilot tersebut tidak saja terancam dari konflik persenjataan, tetapi juga masalah kesehatan karena harus bertahan dalam situasi yang sulit di hutan.
Sementara untuk kasus kerusuhan di Wamena, di satu sisi memberi pelajaran akan adanya dampak psikologis terhadap OAP yang harus hidup dalam situasi sarat dengan kekerasan secara terus-menerus dan mengalami marjinalisasi, termasuk dalam aspek pendidikan dan pengetahuan. Di sisi lain, perlu diperhatikan adanya masalah laten dari hubungan OAP dengan aparat keamanan dan warga pendatang yang sarat ketimpangan, khususnya secara ekonomi dan politik.
Rumor di Wamena begitu mudah menyulut kerusuhan dalam skala besar karena dengan pengetahuan dan pendidikan yang masih terbatas, OAP masih sulit memfilter informasi yang deras mengalir melalui sarana teknologi. Selain itu, ada kekhawatiran terjadinya ”kepunahan” OAP karena derasnya arus migrasi. Penculikan dilihat sebagai upaya untuk memutus generasi OAP.
Karena selama ini kecemburuan antara OAP dan pendatang tidak pernah diatasi, mudah dijelaskan mengapa kios milik pendatang akhirnya menjadi sasaran. Dalam tragedi ini aparat keamanan kembali gagal melindungi warga sipil.
Ilustrasi
Perlindungan warga sipil
Dari kasus penyanderaan Philips Marthen dan dengan semakin meningkatnya warga sipil yang menjadi korban kekerasan di Papua, termasuk di Wamena, perlu ada upaya yang lebih sistematis untuk melindungi warga sipil. Perlindungan warga sipil merupakan sebuah upaya yang perlu digarap dari hulu sampai hilir.
Centre for Civilians in Conflict, misalnya, telah mengeluarkan sebuah kerangka kerja untuk melindungi warga sipil dalam konflik. Bagian hulu dari kerangka kerja ini mengacu pada aspek kebijakan negara. Apakah kebijakan tersebut cukup jelas; bagaimana peran dan tanggung jawab masing-masing pihak; apakah aspek implementasinya didukung aturan yang jelas dan dana yang cukup?
Tidak kalah penting adalah pengawasan terhadap kebijakan dari institusi keamanan, termasuk dengan melibatkan DPR dan masyarakat sipil yang didukung kerangka hukum dan legislasi. Transparansi terhadap informasi untuk mengevaluasi praktik negara untuk melindungi warga sipil juga penting.
Selain itu, strategi dan operasi keamanan juga perlu mempertimbangkan aspek penggunaan senjata agar meminimalkan korban warga sipil. Masyarakat juga perlu dilibatkan dalam upaya merancang strategi perlindungan warga sipil.
Secara umum, bentuk engagement ini penting agar strategi penumpasan pemberontakan dapat berjalan dengan efektif dan citra aparat keamanan juga positif di mata warga sipil. Aspek penting lain adalah upaya untuk melaporkan, menyelidiki, melacak, dan mendokumentasikan setiap laporan kekerasan terhadap warga sipil, termasuk memberikan bantuan terhadap korbannya.
Secara garis besar, segala upaya untuk membebaskan Philips Marthen dan upaya melindungi warga sipil lain dari kekerasan perlu mengakomodasi prinsip-prinsip di atas. Jika strategi perlindungan warga sipil sudah dijalankan dengan benar, diharapkan tidak akan terjadi lagi korban warga sipil dalam situasi konflik.
Vidhyandika D Perkasa, Peneliti Senior Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta