Makna Penyanderaan Pilot di Papua
Keselamatan pilot Selandia Baru jadi prioritas, tetapi tak kalah penting adalah keamanan dan keterlibatan masyarakat asli Papua untuk membangun kedamaian dan stabilitas wilayah mereka. Pertimbangkan juga dampak buruknya.
Penyanderaan Kapten Philip Merthens, pilot Susi Air, sejak 7 Februari 2023, oleh kelompok bersenjata menarik perhatian masyarakat dalam dan luar negeri.
Hal ini mengingat penyanderaan orang asing dengan durasi cukup lama menjadi yang pertama sejak penyanderaan para peneliti asing dan domestik di 1996, juga di wilayah Nduga.
Seperti dilaporkan media, pihak kelompok bersenjata yang menamakan diri Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat—Pemerintah RI menyebut kelompok kriminal bersenjata (KKB)—membakar pesawat Susi Air, lalu menangkap dan membawa pilotnya ke tempat persembunyian. Mereka akan memanfaatkan sandera ini sebagai ”daya tawar” dalam proses negosiasi kemudian hari.
Pemerintah pusat langsung membentuk tim khusus pembebasan pilot asal Selandia Baru itu. Sejauh ini, tim gabungan Polri-TNI berhasil mengevakuasi sejumlah pekerja konstruksi klinik kesehatan di Distrik Paro yang sebelumnya diintimidasi kelompok bersenjata itu. Kepolisian daerah Papua juga telah mengirim tokoh masyarakat dan adat sebagai negosiator sambil mempersiapkan ”operasi khusus” yang dipimpin TNI jika negosiasi dengan kelompok itu gagal.
Dampak langsung penyanderaan pilot ini adalah pengungsian ratusan warga Nduga dari Distrik Paro ke Distrik Kenyam selaku ibu kota kabupaten.
Penyanderaan ini hanya akan terus memperburuk konflik bersenjata di Papua. Sejumlah pengamat dan aktivis kemanusiaan menyampaikan keprihatinan dan kekhawatiran, tindakan kelompok bersenjata itu akan meningkatkan instabilitas wilayah pegunungan tengah Papua. Sekalipun demikian, kasus penyanderaan ini juga menunjukkan bahwa negara masih belum efektif dalam menjamin keamanan bagi masyarakat dan aktivitas penerbangan di Papua. Ada beberapa hal yang patut direfleksikan dari penyanderaan pilot asing tersebut.
Baca juga : Papua di Antara Beragam Kepentingan
Baca juga : Kekerasan Terus Terjadi, Perlu Kedepankan Dialog di Papua
Keterasingan dan militansi perlawanan
Pengalaman sebagai sukarelawan dalam membantu pengungsi internal Nduga pada 2019 membantu penulis memahami proses penyanderaan ini dalam konteks lebih luas. Pertama, cerita terkait Nduga sejak 1990-an sampai enam tahun terakhir masih terus dihiasi cerita kekerasan, duka, dan ”keterasingan”.
Pada 1996, operasi militer pembebasan para peneliti asing dan domestik di Distrik Mapenduma mengakibatkan kematian puluhan masyarakat sipil dan menyisakan trauma mendalam hingga hari ini. Sejak pertengahan 2018, berbagai kasus kekerasan menjadi pemberitaan utama media dalam dan luar negeri tentang Nduga. Semua itu memengaruhi kualitas hidup masyarakat dan pembangunan di Nduga.
Indeks pembangunan manusia dan angka harapan hidup masyarakat kabupaten Nduga adalah yang terendah di Indonesia. Dengan penduduk mencapai 100.000, kabupaten ini kekurangan sekolah, tenaga pengajar, fasilitas kesehatan, dan tenaga kesehatan untuk mendukung proses pembangunan di sana. Tak hanya itu, ratusan warga Nduga masih berstatus pengungsi internal di sejumlah wilayah Papua sejak 2019 dan tak lagi mendapat perhatian dari negara.
Kedua, di tengah kondisi kehidupan yang terus memburuk di Nduga, konflik bersenjata di Papua justru kian berlarut (protracted). Sejak 2019, ada lebih dari 250 kontak senjata antara KKB dan aparat keamanan. Di satu sisi, negara belum bisa memberikan jaminan keamanan menyeluruh di wilayah pegunungan Papua dan tak efektif mengatasi akar konflik Papua selama lebih dari 60 tahun. Di sisi lain, kelompok bersenjata itu justru terus meningkatkan kemampuan dan militansi perlawanan mereka.
Keberadaan persediaan senjata dan amunisi dari dalam negeri dan perdagangan ilegal antarnegara, koordinasi di antara sejumlah kelompok bersenjata di wilayah pegunungan tengah, terbentuknya struktur organisasi baru yang didominasi kelompok muda, dukungan sebagian penduduk lokal, kemampuan menggunakan medsos yang intensif, dan ketersediaan sumber daya keuangan kian memperkuat eksistensi KKB. Itu juga meningkatkan kepercayaan diri untuk melakukan serangan mematikan pada masyarakat sipil dan aparat keamanan.
Kondisi ini diperparah dengan sedikitnya inisiatif perdamaian, seperti dialog damai dan jeda kemanusiaan yang tak berjalan karena persoalan komitmen bersama dari para aktor konflik. Sejumlah hal di atas justru terus menunjukkan bahwa situasi di Papua masih akan terus menghadapi intensitas konflik yang berkepanjangan (longevity) dan resistensi yang kuat (intractability).
Indeks pembangunan manusia dan angka harapan hidup masyarakat kabupaten Nduga adalah yang terendah di Indonesia.
Pengungsi internal dan trauma
Ketiga, berbanding terbalik dengan kasus penyanderaan pilot, kondisi ratusan pengungsi internal Nduga seolah luput dari pemberitaan media dan perhatian negara. Sejak 2019, ratusan pengungsi masih tinggal di sejumlah wilayah pegunungan tengah, dan bahkan mencari perlindungan di Papua Niugini.
Akses terhadap pelayanan dasar, seperti kesehatan, pendidikan, dan air bersih serta keadilan, masih sangat terbatas. Koordinasi pemerintah pusat dan daerah untuk membantu para pengungsi internal ini akan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat Nduga dan bahkan kelompok bersenjata terhadap negara dalam upaya mencari solusi pembebasan pilot Selandia Baru tanpa kekerasan. Kepercayaan masyarakat lokal jadi kunci pembangunan dan keamanan di Nduga di tahun-tahun mendatang.
Keempat, keberadaan kelompok Egianus Kogeya adalah gambaran tak terse- lesaikannya trauma antargenerasi di Papua. Sejumlah tindakan kriminal yang terjadi sejak pertengahan 2018 layak dapat penindakan hukum yang tegas.
Namun, perlu diingat, keberadaan dan tindakan kelompok tersebut tak terjadi di ruang hampa. Egianus adalah anak Silas Kogeya, pemimpin lokal Nduga yang terlibat penculikan sejumlah peneliti asing dan domestik di Taman Nasional Lorentz pada 1996. Di tahun yang sama, aparat TNI melakukan operasi militer pembebasan para sandera di Distrik Mapenduma yang mengorbankan banyak warga asli dan menimbulkan trauma mendalam yang masih diceritakan secara lisan hingga kini.
Egianus dan banyak anak-anak muda yang lahir dan bertumbuh dalam atmosfer konflik tak mendapatkan penanganan trauma dan pendampingan psikologis. Pada 2019, sejumlah anak asal Nduga yang ditemui penulis menceritakan kesedihan, kemarahan, kekecewaan, dan trauma mendalam mereka akibat konflik bersenjata, pengabaian negara, dan hidup di tengah ketidakpastian.
Walaupun demikian, anak-anak pengungsi usia sekolah itu sangat antusias dengan kegiatan pengajaran di sekolah darurat yang dibangun tim sukarelawan bersama para guru yang juga harus mengungsi dari Nduga ke Wamena pada 2019. Bagi anak-anak ini, kehadiran guru dan kegiatan rutin pengajaran di sekolah darurat mengobati ”kerinduan” mereka akan proses yang sama yang tak mereka alami ketika masih berada di Nduga.
Berbeda dengan program deradikalisasi terorisme, anak-anak korban konflik bersenjata hampir tak pernah mendapat pendampingan mendalam terkait penanganan trauma dan ketersediaan pelayanan dasar. Pendampingan ini sangat krusial guna mengurangi resistensi perlawanan kaum muda, baik yang menggunakan jalur non-kekerasan maupun perlawanan bersenjata di Papua.
Keamanan penerbangan
Kelima, penyanderaan pilot di Nduga mengharuskan evaluasi menyeluruh terhadap aktivitas penerbangan komersial di wilayah pedalaman Papua.
Dalam lima tahun terakhir, kelompok bersenjata ini telah memberikan sejumlah peringatan terhadap penerbangan komersial yang beroperasi di sejumlah lokasi konflik bersenjata, seperti Nduga, Puncak, Intan Jaya, Yahukimo, dan Pegu- nungan Bintang. Mereka juga telah beberapa kali menembak pesawat komersial di wilayah-wilayah itu. Mereka bahkan sempat menahan beberapa pilot asing pada Maret 2021 di Kabupaten Puncak.
Sejauh ini, penerbangan perintis dengan pesawat kecil dioperasikan di wilayah pegunungan Papua yang minim daya dukung penerbangan. Hal ini juga mensyaratkan kepiawaian pilot bermanuver di medan yang dihiasi pegunungan dan perbukitan curam serta hutan lebat. Operasionalisasi penerbangan perintis menjadi kunci utama pelayanan kebutuhan dasar, termasuk menerbangkan guru, tenaga kesehatan, dan rohaniwan, juga distribusi logistik bagi OAP. Namun, keamanan penerbangan perintis dan lapangan terbang jadi persoalan serius di Papua selama bertahun-tahun.
Sejauh ini, keberadaan para personel aparat keamanan hanya difokuskan pada bandara-bandara strategis di ibu kota kabupaten, sedangkan ”penjagaan” sejumlah lapangan terbang perintis di wilayah pegunungan tengah hanya mengharapkan partisipasi masyarakat lokal. Merespons penyanderaan pilot Susi Air, sejumlah maskapai telah menghentikan sementara aktivitas penerbangan di wilayah pegunungan Papua.
Pendampingan ini sangat krusial guna mengurangi resistensi perlawanan kaum muda, baik yang menggunakan jalur non-kekerasan maupun perlawanan bersenjata di Papua.
Ini tentunya akan berdampak buruk pada masyarakat asli Papua dan kebijakan pembangunan negara di wilayah itu. Apabila kondisi ini tidak segera diperbaiki, kondisi keterisolasian akan terus menjadi ciri pembangunan di Papua.
Beberapa pertimbangan di atas bertujuan melihat kembali sejumlah kebijakan negara terkait pembangunan dan keamanan yang masih tidak efektif untuk meredam ketegangan di wilayah pegunungan Papua. Keselamatan pilot Selandia Baru jadi prioritas, tetapi tak kalah penting adalah keamanan dan keterlibatan masyarakat asli Papua untuk membangun kedamaian dan stabilitas wilayah mereka. Jika operasi pembebasan harus dilakukan, perlu dipastikan agar kebijakan itu tidak menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat. Pengabaian akan hal ini hanya akan berujung pada pola kekerasan berkelanjutan di Nduga dan wilayah-wilayah lain di Papua.
Hipolitus WanggePeneliti di Australian National University dan Anggota Forum Academia NTT