Bagi Ombudsman ”Kompas”, kehadiran liputan Suara Tak Terdengar menjadi signifikan di tengah cengkeraman kepentingan ekonomi industri media.
Oleh
Bestian Nainggolan, Anggota Ombudsman ”Kompas”
·3 menit baca
REBIYYAH SALASAH
Mistori (43), kuli angkut di Pasar Induk Kramatjati, memikul wortel dari lapak sayuran menuju pikap pembeli di tempat parkir, Rabu (8/3/2023). Kesejahteraan kuli angkut menjadi salah satu tema liputan 4K Suara Tak Terdengar.
Di tengah cengkeraman kepentingan ekonomi industri media, bagaimana mungkin fungsi sosial media massa yang terwujud dalam berbagai kreasi jurnalistik idealnya itu dapat terus dipertahankan? Gugatan kritis reflektif inilah yang menjadi titik acuan bahasan Forum Ombudsman Kompas, Jumat (24/3/2023) lalu, yang secara khusus mengevaluasi liputan tematis Suara Tak Terdengar.
Liputan tematis Suara Tak Terdengar merupakan kreasi jurnalistik khas Kompas, yang berupaya memanggungkan pergulatan kaum marjinal, yang selama ini terempas dari pusaran berbagai struktur sosial, ekonomi, ataupun politik.
Semangat mengetengahkan kaum tertindas sejatinya sudah menjadi bagian tak terpisahkan semenjak harian Kompas lahir. Kemanusiaan menjadi perspektif dalam tiap produk jurnalistiknya. Namun, kini menjadi lebih istimewa lantaran semangat itu telah menjadi rubrikasi tematis yang terbangun dalam biduk konvergensi 4K (Kompas, Kompas TV, Kompas.com, dan juga Kontan).
Sejak Mei 2020, Suara Tak Terdengar rutin menyapa sekaligus mengingatkan kaum mapan, pun elite pengambil kebijakan, bahwa masih banyak persoalan kaum papa yang perlu dipulihkan. Khusus kaum yang terpinggirkan secara ekonomi di era pandemi, misalnya, banyak dipanggungkan. Membacanya menguras sisi emosi dan sekaligus mengundang empati.
Damiri (42), kurir ekspedisi, menyerahkan barang kepada pelanggan di kawasan Kelurahan Gaga, Tangerang, Banten, Kamis (9/3/2023). Kisah kehidupan kurir menjadi salah satu sisi liputan Suara Tak Terdengar bertema Kesejahteraan Kuli Angkut".
Masalahnya, bagaimana pergulatan ekonomi keseharian kaum ini yang bertumpu pada aktivitas fisik antar-ruang itu dapat berjalan di saat pandemi yang justru membatasi jarak ruang? Konsepsi work from home yang bergantung sepenuhnya pada teknologi itu nyaris mustahil bagi kaum ini.
Liputan kaum pemulung (11-13 Mei 2020), nelayan (2-4 November 2020), gelandangan (1-3 Februari 2021), kaum miskin kota Jakarta (21-23 Juni 2021), pekerja migran (24-26 Januari 2022), ataupun liputan terbaru terkait kehidupan kuli angkut (13 Maret 2023) menjadi pengingat masih suburnya ketidakberdayaan.
Begitu pula, masih langgengnya belitan struktur sosial yang kadang mengempaskan keberadaan kaum rentan perempuan, anak, difabel, dan masyarakat hukum adat juga menjadi perhatian khusus liputan ini. Kisah pergulatan perempuan kepala keluarga (4-6 Agustus 2020), anak berkebutuhan khusus (14-16 September 2020), anak pekerja migran (8-10 Maret 2021), ataupun sisi eksistensial masyarakat adat (6-8 Juni 2022) yang luput dalam hukum menjadi contoh.
Tidak kurang sering pula Suara Tak Terdengar mengulas kaum yang dalam kehidupan sosial kemasyarakatan kerap dipandang sebelah mata. Keberadaan kaum penghayat kepercayaan (31 Mei-3 Juni 2021), kiprah kaum transpuan dalam struktur biner publik (25-27 Juli 2022), hingga pergulatan psikologis ataupun ekonomi dari anak dari narapidana teroris (13 Februari 2023).
Sejumlah transpuan Nasrani mengikuti ibadah kebaktian Persekutuan Doa Jalan Terang Kasih Tuhan di sebuah hotel di Yogyakarta, Jumat (22/7/2022). Tema transpuan menjadi salah satu yang diangkat dalam liputan Suara Tak Terdengar pada Juli 2022.
Tidak terbayangkan begitu besar pengorbanan sumber daya, waktu, ataupun biaya yang digunakan dalam memproduksi liputan semacam ini. Paduan kerja jurnalistik dari para wartawan dan peneliti Kompas membuat hasil kerja berbobot. Sekalipun dalam beberapa persoalan dijumpai sisi-sisi keterbatasan perspektif dan ketidakjelasan sasaran yang dituju, rangkaian kata dan visual yang terekspresikan sungguh menggugah empati.
Bagi Ombudsman Kompas, kehadiran liputan tematis semacam ini menjadi signifikan.
Pasalnya, di tengah dominasi rezim ekonomi industri media yang menempatkan preferensi audiens sebagai pusat dari kebijakan editorial, perjuangan ideologis jurnalisme dalam mengoreksi struktur yang menyuburkan praktik ketidakadilan sosial kini semakin langka. Tidak dapat dimungkiri, kekinian media cenderung lebih tertarik mengeksploitasi problem-problem kalangan elite beserta segenap pernak-pernik sensasi hidup hedonistiknya. Tanpa tersadari, media saat ini menjadi agen yang justru mengukuhkan ketidakadilan struktur ketimbang mengoreksinya.
Kendati liputan-liputan Suara Tak Terdengar yang sarat dengan keprihatinan ini kerap tersisihkan, jauh terkalahkan oleh gemerlap sensasi peristiwa lain yang terekam dalam mesin-mesin penghitungan audiens, inisiatif dan komitmen Kompas dalam memanggungkan kelompok yang terempas patut diapresiasi.
Sebagai pakar tamu dalam Forum Ombudsman, Laode M Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan, mengapresiasi media yang tetap mau bersusah payah membuat liputan dengan topik menyuarakan suara-suara marjinal. Terlebih, di tengah kondisi penurunan indeks demokrasi, sejalan munculnya political corruption dan lemahnya penegakan hukum di negeri ini.
Seorang gelandangan terlelap di halte di Jalan HOS Cokroaminoto, Kota Tangerang, Banten, Minggu (31/1/2021). Keterampilan yang minim, keterbatasan modal, dan ketiadaan akses kerja menjadi pemicu gelandangan hidup di jalan. Di masa pandemi Covid-19, gelandangan menjadi kelompok yang rentan tertular dan menularkan virus korona baru. Kehidupan gelandangan menjadi tema Suara Tak Terdengar pada Januari 2021.
Kemitraan, sebagai organisasi yang memiliki misi menyebarkan, memajukan, dan melembagakan prinsip-prinsip tata kelola yang baik dari pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor usaha, pun memiliki perhatian kuat terhadap kelompok yang termarjinalkan.
Terimpitnya masyarakat kecil akibat aktivitas pertambangan dan kajian-kajian terhadap masyarakat adat di Mentawai, Sumatera Barat; komunitas adat Bara, Cindakko, Maros, Sulawesi Selatan; komunitas Dayak Ngaju, Kalimantan Tengah; ataupun kelompok minoritas China Benteng menunjukkan ketersingkiran kaum minoritas. Kolaborasi dalam menegakkan kesetaraan yang masih tercabik ini perlu dilakukan bersama.
Berbagai apresiasi lain dalam bentuk penghargaan jurnalistik pun sempat diraih dari berbagai hasil kreasi liputan tematis kaum marjinal ini. Hanya, bagi Ombudsman Kompas, penghargaan tidak lagi dapat menjadi sesuatu yang ”berharga” jika problem-problem yang dialami masih dirasakan dan berulang terjadi. Tepatnya, di saat struktur belum juga berpihak pada kaum marjinal dan praktik ketidakadilan masih tampak kasatmata.
Itulah mengapa, Suara Tak Terdengar perlu secara sistematis terus-menerus dipanggungkan. Menurut Ashadi Siregar, Ketua Ombudsman Kompas, perluasan pada pilihan pola-pola advokasi dalam membela hak yang terpinggirkan dapat menjadi alternatif pilihan. Advokasi yang dimaksud tentu saja dalam kerangka bagaimana mengefektifkan proses komunikasi yang terjalin antara Kompas, para audiens, dan para pemangku kepentingan.
(Jika ada pendapat tentang pemberitaan Kompas, silakan dikirim ke e-mail ombudsman@kompas.id)