Beban Itu Telah Dipikul Bapak…
Para kuli angkut di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, tidak hanya memikul beban sayuran dan buah-buahan demi istri dan anak-anaknya. Keringat dan kerja keras mereka turut memutar roda perekonomian Ibu Kota.
Para kuli angkut turut memutar roda perekonomian di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, dengan terlibat dalam rantai pasok. Di luar itu, mereka melihat pekerjaannya tidak hanya memikul beban sayuran dan buah-buahan, tetapi juga beban keluarga.
Mistar (56) menarik kaus kaki yang melonggar hingga ke pergelangan. Ia juga membetulkan posisi kain hitam yang melingkar di kedua lutut. Sarap atau alas panggul terselip di pinggang, siap untuk sewaktu-waktu dipasangkan di pundak. Gancu atau tongkat pengait disimpan di warung lantaran tak akan digunakan.
Sebuah pikap bermuatan sawi putih dan pakcoy baru tiba. Pikap yang akhirnya terparkir sempurna di area bongkar-muat di Blok E Pasar Induk Kramat Jati menjadi tanda bahwa Mistar dan ketiga teman kerjanya mesti bergegas. Mereka membongkar muatan itu, lantas mengangkutnya ke lapak berjarak lebih kurang 100 meter.
Baca juga: Roda Perekonomian di Pasar Induk Kramat Jati Kembali Berputar
Mistar dan ketiga temannya membutuhkan tiga kali angkut untuk menguras isi pikap berberat nyaris 1 ton. Dalam sekali angkut, mereka memikul tiga plastik sawi dan pakcoy seberat 20-25 kilogram. Artinya, dengan berat badan sekitar 54 kilogram, Mistar mengangkut beban di pundak yang melebihi bobotnya.
”Ya, berat dibawa, enteng juga dibawa. Dari rumah, niatnya, kan, kerja. Jadi, mau gimana pun tetap diangkut,” ucap pria yang kerap disapa Mang Icang ini seusai mengangkut semua sawi putih dan pakcoy ke lapak, Rabu (8/3/2023).
Pada 1998, Mistar mengenal dan menjajal pertama kali pekerjaan kuli angkut di Pasar Kramat Jati. Ia bercerita, bapaknyalah yang memperkenalkan pekerjaan itu. Sewaktu Pasar Kramat Jati masih becek alias belum direnovasi, kata Mistar, ia ikut bapaknya memanggul sayur. Seusai bapaknya tak lagi memanggul, Mistar melanjutkan pekerjaan tersebut.
Perkara panggul-memanggul yang diwariskan itu lazim di antara para kuli angkut. Selain Mistar, Kanta (66) juga mengenal dunia memanggul sayur dari bapaknya yang pernah menjadi kuli angkut di Pasar Manggarai dan Pasar Kramat Jati. Kini, sudah 40 tahun Kanta meneruskan jejak sang bapak.
Mistar dan Kanta merupakan dua dari 980 kuli angkut yang tergabung dalam Badan Pengelola Bongkar Muat (Bapengkar). Keduanya mendapatkan tugas membongkar muatan di Blok E pada sif tiga, yaitu pukul 06.00 hingga 17.30.
Para kuli berasal dari sejumlah daerah, dengan Serang, Banten, dan Bogor, Jawa Barat, mendominasi. Usia mereka pun beragam, mulai dari 20 tahun hingga 70 tahun. Selain kuli Bapengkar, terdapat pula kelompok kuli lain yang kerap disebut kuli ”liar”. Mereka turut mengangkut sayuran dan buah-buahan, tetapi tidak bergabung dengan Bapengkar.
Baca juga: Dibuang Dulu, Dinikmati Kemudian
Manajer Unit Pasar Besar Pasar Induk Kramat Jati Mardianto menaksir, setidaknya terdapat 900 kuli ”liar” di pasar tersebut. Banyaknya kuli di Pasar Kramat Jati ini tak lepas dari tingginya kebutuhan dari para pedagang dan pembeli. Keduanya sama-sama membutuhkan tenaga untuk distribusi. Peluang bagi para kuli juga terbuka lebar karena Pasar Kramat Jati beroperasi selama 24 jam. Sebanyak 1.200 ton sayur dan buah setiap hari masuk dan keluar di pasar tersebut.
Di antara kedua kelompok kuli angkut di Pasar Kramat Jati, terbagi lagi menjadi kuli yang mengangkut bongkaran pedagang dan kuli yang memikul muatan pembeli. Mistar dan Kanta merupakan kuli khusus mengangkut bongkaran pedagang. Setelah mengantarkan semua sayuran ke lapak, Mistar dan Kanta diberi upah oleh pedagang sebagai pengguna jasa melalui ketua kelompok atau mandor.
Untuk setiap karung atau plastik sayuran yang diangkut, Mistar mendapatkan Rp 2.000-5.000. Jumlah itu sudah hasil pemotongan 30 persen untuk masuk ke kas Bapengkar. Pemotongan itu guna pembayaran BPJS Ketenagaakerjaan, tunjangan beras seharga Rp 75.000 setiap bulan, dan bingkisan hari raya Idul Fitri setiap tahun.
Dalam sehari, Mistar dan Kanta mengantongi Rp 50.000-Rp 100.000. Kendati pas-pasan, uang itu bisa membuat dapur Mistar dan Kanta tetap mengebul. Lagi pula, kata kuli angkut yang sama-sama berasal dari Bogor ini, tidak ada lagi tanggungan anak.
Selama puluhan tahun bekerja sebagai kuli angkut, Mistar dan Kanta berhasil menyekolahkan anak-anaknya, setidaknya hingga SMP atau SMA. Paling tidak, kata Mistar dan Kanta, anak-anak memiliki pendidikan lebih tinggi dari mereka yang tidak tamat SD. Anak-anak Mistar dan Kanta pun sudah bekerja dan tidak meneruskan pekerjaan mereka.
Anak Kanta, misalnya, memiliki pekerjaan dengan pendapatan yang pasti. Satu anak perempuannya bekerja memantau kualitas produk komestik, sedangkan anak lelakinya bekerja mengemas pesanan katering. Maka, bagi Kanta dan Mistar, terus bekerja sebagai kuli pasar adalah cara menghabiskan masa tua.
”Ketimbang di rumah doang, uang enggak ada, badan enggak gerak,” tutur Kanta.
Baca juga: Remuk lantaran Salah Angkut
Berbeda dengan Kanta dan Mistar, Syahroni (46) masih harus menanggung biaya hidup keluarga dan biaya sekolah anak-anaknya. Dua anaknya sudah bekerja, tetapi dua lainnya masih duduk di bangku SMP dan SD. Kuli angkut asal Batang, Jawa Tengah, ini biasa mengangkut barang belanjaan langganannya secara berkelompok. Dalam sekali angkut, ia bisa mengantongi Rp 260.000-Rp 270.000 untuk dibagi dengan tiga kuli lain dalam kelompoknya.
Setiap hari, lanjut Syahroni, ia bisa membawa pulang Rp 150.000-Rp 200.000. Jumlah itu cukup untuk membayar kos Rp 500.000 dan dikirim ke keluarganya di kampung per dua minggu atau sebulan sekali mulai Rp 500.000-Rp 1.000.000. Meski cenderung hanya cukup untuk kebutuhan sehari-harinya dan keluarga, pendapatan Syahroni lebih tinggi ketimbang para kuli yang tergabung dengan Bapengkar. Alhasil, ia memilih bekerja dalam kelompoknya sendiri.
Terbaik meski berisiko
Pendapatan yang sedikit lebih tinggi itu disebabkan jam kerja yang lebih fleksibel. Syahroni biasanya bekerja pada pukul 13.00-00.00. Namun, ketika ada langganannya meminta barang diangkut pada waktu di luar itu, ia akan bersedia melakukannya. Bayaran dari pengguna jasanya pun masuk sepenuhnya ke kantong pribadi, tidak dipotong 30 persen oleh Bapengkar. Namun, Syahroni terpaksa harus menanggung sendiri biaya jika terjadi kecelakaan kerja.
Tiga tahun lalu, Syahroni mengangkut dua karung timun seberat 110 kilogram dari lapak menuju pikap pembeli. Kendaraan itu terparkir menjorok keluar lantaran ada mobil lain di dekat area los sayur. Syahroni perlu menuruni tangga dan berjalan sekitar 2 meter untuk sampai ke sana. Sayuran busuk memenuhi area yang harus dilewati oleh Syahroni tersebut.
Ya, kalau enggak balik lagi, di kampung mau kerja apa? Kalau kerja jadi buruh bangunan, kerjanya, kan, proyekan dan belum tentu ada yang butuh. Di sini, setiap hari ada terus yang butuh angkut barang, jadi enggak perlu menunggu.
Tanpa Syahroni sangka, sayuran yang berserakan itu justru menjadi petaka. Di tangga, Syahroni terpeleset. Pergelangan kakinya menekuk lalu bengkak seketika hingga ke betis. Ia dan bawaannya ambruk. Salah satu tulang di kaki kanannya patah.
Syahroni akhirnya dipulangkan ke Batang oleh teman-temannya. Selama empat bulan, ia menjalani pengobatan tradisional sangkal putung. Ia memilih tidak berobat ke rumah sakit lantaran memperkirakan biayanya akan mahal. Terlebih, ia tak pernah membayar iuran BPJS Kesehatan karena tidak punya cukup uang.
”Ya, kalau enggak balik lagi, di kampung mau kerja apa? Kalau kerja jadi buruh bangunan, kerjanya, kan, proyekan dan belum tentu ada yang butuh. Di sini, setiap hari ada terus yang butuh angkut barang, jadi enggak perlu menunggu,” ucap Syahroni yang memutuskan kembali mengangkut sayuran lagi kendati kini tak mampu melebihi beban 100 kilogram.
Lagi pula, kata Syahroni, ada keluarga yang harus dibiayai sehingga dia kembali ke Jakarta. Di Ibu Kota, selain sudah pasti mendapatkan upah harian, setidaknya Syahroni pernah sesekali mendapatkan bantuan sosial kala pandemi Covid-19 melanda dan harga bahan bakar minyak naik.
Jika memilih bertahan di kampung dan bekerja di sana, pendapatannya tidak lebih besar dari apa yang dia hasilkan di Jakarta. Pilihan di kampung pun terbatas semata buruh bangunan, buruh tani, dan buruh pabrik. Untuk buruh pabrik, ia tidak memiliki keterampilan dan tidak memenuhi kualifikasi pendidikan.
Alasan serupa diungkapkan Tamsari (47), yang juga berasal dari Batang, tetapi berbeda kelompok dengan Syahroni. Tamsari menuturkan, upah harian yang didapatkan di kampungnya sebagai buruh bangunan rata-rata sebanyak Rp 80.000.
Di Jakarta, ia bisa memperoleh Rp 20.000-Rp 70.000 lebih banyak dari itu. Dengan hanya Rp 80.000 per hari, Tamsari yakin tidak akan bisa mencukupi kebutuhan keluarganya sehari-hari. Apalagi anaknya yang kedua sudah mau masuk SMP sehingga pengeluaran pasti membengkak untuk membeli kebutuhan sekolah. Anaknya yang pertama masih duduk di bangku SMA.
Baca juga: Perlindungan Pekerja Informal dan Rentan Butuh Aksi Nyata
Ketika pinggang terasa pegal, kepala mulai sakit, atau badan mulai meriang, Tamsari biasanya langsung memeriksakan diri ke dokter. Ia tak mempermasalahkan harus keluar uang hingga Rp 100.000 lantaran ingin segera menyembuhkan penyakitnya sehingga bisa segera bekerja. Sebab, sehari atau dua hari tanpa kerja berarti menambah uang yang harus dikeluarkan.
”Mau tidak mau, harus dipaksakan buat bekerja. Biar anak-anak saya bisa sekolah, biar nanti enggak kayak saya, minimal mereka kerja kantoran. Makanya saya selalu bilang ke mereka, ’Beban kalian udah dipikul duluan sama Bapak’,” ucap Tamsari.
Butuh dukungan
Upaya Tamsari juga Syahroni, Kanta, dan Mistar agar tidak mewariskan pekerjaan yang sebelumnya turun-menurun itu bisa dilihat sebagai langkah keluar dari lingkaran kemiskinan. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, langkahnya memang perlahan. Sebab, sebenarnya masih ada ganjalan-ganjalan dalam perjalanannya.
Bhima mencontohkan, para kuli angkut perlu berjuang agar anak-anaknya berpendidikan tinggi. Namun, biaya sekolah tidak murah sehingga mereka tetap perlu dukungan, seperti beasiswa. Di sisi lain, lapangan pekerjaan yang berkualitas pun perlu diperbanyak. Nantinya agar anak-anak tersebut mampu terserap dan tidak melanjutkan pekerjaan bapaknya.
Satu hal lain yang penting, kata Bhima, pemerintah perlu mendukung para kuli ini dengan jaring pengaman sosial. Kendati status mereka sebagai pekerja informal, bukan berarti tidak terlindungi kesehatan ataupun kesejahteraannya.
”Kuli angkut ini punya peran signifikan, terutama dalam rantai pasok mulai dari sektor hulu. Tanpa kehadiran mereka, perputaran bisnis pasti akan terganggu. Namun, mereka ini rentan karena upahnya tidak menentu, jam kerja panjang, dan tidak terlindungi jaring pengaman sosial,” tutur Bhima.
Tamsari dan sesama buruh angkut lain termasuk ke dalam pekerja informal yang jumlahnya menurut Badan Pusat Statistik per Februari 2022 mencapai 81,33 juta orang. Sepanjang 2021-2022, ada 4,55 juta orang baru yang terserap di pasar kerja, 70,1 persen (3,19 juta orang) masuk ke sektor informal. Hanya 29,8 persen (1,36 juta orang) yang terserap di sektor formal.
Perlu ada terobosan-terobosan kebijakan yang bisa dilakukan. Tidak selalu melalui formalisasi pekerjaan para kuli ini, yang penting memastikan bahwa hak-hak dasar mereka terpenuhi.
Untuk mendukung para pekerja informal, Bhima menyarankan agar pemerintah berperan aktif melindungi mereka. Terkait jaminan kesehatan, misalnya, para kuli ini bisa masuk ke dalam kriteria Penerima Bantuan Iuran (PBI). Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 21 Tahun 2019 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perubahan Data Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, penerima PBI ialah fakir miskin dan orang tidak mampu.
Orang tidak mampu yaitu orang yang mempunyai sumber mata pencarian yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak, tetapi tidak mampu membayar iuran jaminan kesehatan bagi diri dan keluarganya.
”BPJS harus menjemput bola dengan mendaftarkan para kuli ini. Pendekatannya berbeda, tidak bisa dengan digital yang bisa jadi tidak terjangkau oleh mereka. Pemerintah yang perlu aktif dan mendatangi mereka langsung. Upayanya pun perlu dilakukan secara masif,” tutur Bhima.
Pengajar Hukum Ketenagakerjaan UGM, Nabiyla Risfa Izzati, berpendapat, upaya memberdayakan para kuli juga dapat dilakukan dengan paguyuban atau badan pengelola seperti Bapengkar.
Paling tidak, terdapat semacam wadah bagi para kuli ini untuk bisa mengurus hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan dan keberlangsungan pekerjaannya. Meski demikian, kehadiran paguyuban atau badan pengelola tidak serta-merta menghilangkan kewajiban negara yang seharusnya melindungi warganya.
Baca juga: Kanapi, Kuli Panggul Pencinta Kesenian Ubrug
Dalam konteks aturan ketanagakerjaan, lanjut Nabiyla, pekerja informal ini memang sulit terlindungi. Itu disebabkan regulasi ketenagaakerjaan bias pekerja formal. Walakin, pemerintah bisa kembali ke konstitusi yang menyatakan bahwa negara wajib melindungi semua warganya. Dengan demikian, perlindungan dasar harus diberikan, antara lain, dengan memastikan mereka memiliki jaminan sosial yang aktif.
”Perlu ada terobosan-terobosan kebijakan yang bisa dilakukan. Tidak selalu melalui formalisasi pekerjaan para kuli ini, yang penting memastikan bahwa hak-hak dasar mereka terpenuhi,” ujar Nabiyla.
Beban sayuran dan beban keluarga telah dipikul Tamsari dan teman-temannya. Lalu, beban mereka dipikul oleh siapa kalau bukan oleh negara?