Transpuan Perlu Ruang Penerimaan
Di tengah deraan stigma negatif yang tertuju kepadanya, para transpuan tetap memiliki harapan. Paling utama, mereka ingin diterima oleh keluarga dan masyarakat di sekitarnya.
Di seluk jalanan kota dan di lini masa media sosial, kehadiran transpuan bukanlah suatu hal yang asing. Sambil terus menerjang ombak stigma, para transpuan mengarungi ruang dan waktu demi eksistensi sebagai manusia biasa. Perjuangan transpuan tidaklah mudah sebab mereka bertarung di ruang persepsi masyarakat.
Kehadiran transpuan di jalanan kota biasa dikenali dari tampilan fisiknya. Wajah dengan dandanan tebal, busana yang cukup mencolok, dan gestur yang menarik perhatian orang sekitar, itu pun karena mereka mencari nafkah dengan mengamen. Namun, ketika transpuan hadir di media sosial, beberapa tampilannya hampir tidak dapat dibedakan dari seorang wanita biasa.
Transpuan atau waria adalah seseorang yang berdasarkan jenis kelaminnya laki-laki, lalu mengubah identitas jendernya menjadi perempuan. Hal ini berbeda dengan istilah transjender yang lebih tepat untuk menjelaskan seseorang yang mengubah identitas jendernya entah sebagai laki-laki atau wanita. Oleh sebab itu, transpuan sebenarnya tidak dapat dinilai dari tampilan fisiknya saja, tetapi juga melibatkan orientasi seksual dan psikologis yang lebih esensial.
Meskipun sejak dilahirkan umumnya manusia memiliki jenis kelamin yang menentukan jendernya, hal ini tidak serta-merta menentukan orientasi seksual dan ekspresi jendernya. Merujuk pada American Psychological Association (2006), orientasi seksual (faktor internal individu) mengacu pada ketertarikan secara seksual kepada jenis seks tertentu. Misalnya, ketertarikan kepada seks sejenis (gay dan lesbian), kepada jenis seks yang lain (heteroseksual), atau keduanya (biseksual). Untuk ekspresi jender lebih berkutat soal kemaskulinan dan kefemininan seseorang yang ditampilkan orang lain atau lingkungannya (faktor eksternal individu).
Berkaitan dengan faktor eksternal, keputusan untuk menjadi transpuan dalam diri seseorang juga sangat dipengaruhi oleh faktor keluarga. Soal pola asuh orangtua, perlakuan diskriminatif, dan retaknya hubungan kedua orangtua menjadi beberapa contoh pemicu hal ini. Di samping itu, orientasi seksual dan ekspresi jender pun tentu juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan seperti lingkup pertemanan atau pergaulan.
Sayangnya, fenomena terkait transpuan itu relatif sulit untuk dibuktikan secara administratif. Tidak ada data pasti tentang jumlah transpuan di Indonesia. Hal ini kian membuktikan bahwa kehadiran transpuan masih problematik secara identitas jender, baik dari segi administratif hukum maupun pengakuan masyarakat. Pada awal Juni 2021, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakhrullah sebenarnya sudah meresmikan pemberian layanan pembuatan KTP elektronik dan kartu keluarga bagi para transjender (Kompas, 3/6/2021).
Data terkait transpuan setidaknya dapat diambil dari lembaga-lembaga swadaya atau komunitas yang selama ini menjadi tempat bernaung. Berdasarkan laporan Arus Pelangi (2013), sebanyak 78,2 persen responden transpuan telah bergabung dalam komunitas transpuan atau transjender. Lembaga atau komunitas ini menjadi tempat transpuan untuk mendapatkan bantuan dan dukungan sosial, berdaya secara ekonomi, hingga memperjuangkan hak dan keadilan sesuai asas dasar HAM.
Dari data Profil Waria dalam Program PEDULI (PKBI), profesi para transpuan cenderung lebih banyak di sektor nonformal. Sebanyak 65 persen mengaku bekerja sebagai pegawai salon, 19 persen sebagai pekerja seks, dan 2 persen sebagai pengamen. Hal inilah yang menjadi faktor rentannya berbagai kekerasan yang diterima oleh transpuan, mulai dari kekerasan verbal hingga kekerasan seksual.
Budaya
Meskipun kehadiran transpuan sering kali mendapat stigma dan perlakuan negatif dari masyarakat, sejatinya eksistensi transpuan telah melintasi ruang dan waktu. Dalam perjalanan sejarah, transpuan sudah ada sejak 4.500 SM dalam budaya kuno Mesopotamia, Sumeria, Asyur, Babilonia, dan Akkadia. Para pemimpin agama yang disebut sebagai ”Gala” adalah seorang pria sekaligus wanita yang dihormati dan dianggap suci.
Dalam berbagai mitologi kuno, khususnya politeisme, beberapa sosok dewa-dewi juga digambarkan sebagai satu figur yang memiliki dua jender. Dalam mitologi Yunani kuno, patung-patung Dewa Apolo (dewa matahari, musik, perang, dan sebagainya) kadang terlihat gagah dengan otot-otot maskulin, tetapi ada juga patung Apolo yang duduk berpakaian gaun sambil memegang kecapi. Pandangan semacam ini lumrah hingga akhirnya muncul kepercayaan monoteisme yang menggambarkan Yang Ilahi sebagai satu entitas.
Penggambaran dewa-dewi androgini juga dibawa oleh umat Hindu ke masyarakat Indonesia. Terlihat dari sosok Ardhanari yang diyakini sebagai wujud kemanunggalan Dewa Siwa dan Dewi Parwati. Arca Ardhanari pernah dipamerkan di Museum Nasional Indonesia dengan keterangan pembuatannya sekitar abad ke-14 SM dan ditemukan di Jawa Timur. Ardhanari dipercaya sebagai sosok dari Kertarajasa, penguasa Majapahit.
Di belahan Indonesia lainnya, ada sosok bissu yang mewakili tradisi masyarakat Bugis kuno. Bissu adalah sosok tanpa identitas karena menampung dua elemen jender manusia di tubuhnya. Ada referensi mengatakan mereka adalah transvestite atau transjender, lelaki yang memakai baju perempuan, tetapi ada pula yang menyebut mereka hermaphroditik. Namun, secara umum orang menyebutnya wadam atau waria (Kompas, 8/5/2011).
Istimewanya, bissu tidak berhubungan seks dengan siapa pun serta tidak memikirkan hal-hal materi. Para bissu berperan menjaga pengetahuan warisan Bugis kuno yang diturunkan secara lisan dari guru-guru pendahulu. Bissu mempunyai bahasa seperti mantra ketika berhubungan dengan dewata dan biasanya digunakan dalam upacara-upacara ritual-adat untuk mengusir hal buruk dalam berbagai kegiatan kehidupan kemasyarakatan.
Di tanah Jawa, tradisi perpaduan jender juga terekam dalam budaya gemblak yang menjalin relasi khusus dengan warok. Demi kesaktiannya, warok tidak berhubungan seks dengan perempuan, melainkan dengan gemblak, anak laki-laki rupawan yang tinggal bersamanya. Seiring perkembangan, dalam pementasan seni peran, gemblak cenderung diganti dengan jathil, prajurit perempuan yang menunggang kuda lumping.
Pada masa pemerintahan Belanda, muncul larangan soal susila yang melarang tindak berhubungan seks sesama jenis dan laki-laki yang berpakaian menyerupai perempuan, kecuali dalam pentas seni. Oleh sebab itu, muncullah pentas Papaq, Kedi, dan Roebia di wilayah Melayu, Wandu di Jawa, dan Bentji di Bali. Seiring waktu, terjadi pergeseran istilah dan profesi, yakni dari panggung hiburan ke pekerja seks jalanan.
Pemberitaan harian Kompas pada Jumat, 17 Januari 1969, masih menggunakan istilah ”wadam” untuk merujuk pada transpuan. Dituliskan, Rabu malam, polisi Komwil 71 melakukan razia wadam (hawa adam) di Jalan Haji Agus Salim-Imam Bonjol, Jakarta. Disebutkan alasan razia itu karena mereka berada di jalan protokol dan sangat mencolok, tidak bagus dipandang, terutama oleh orang-orang asing di sana.
Sampai akhirnya pada situasi saat ini, transpuan kerap diasosiasikan sebagai pekerja seks yang justru memberi stigma negatif kepada mereka. Padahal, tidak sedikit juga transpuan yang mampu berdikari dan menunjukkan karya-karya mereka di ruang publik. Tidak dapat dimungkiri, stigma negatif masih menjadi tembok tebal yang menghalangi mereka mendapatkan hak-hak dasar. Apalagi, untuk mengaktualisasikan dirinya lewat karya.
Ruang persepsi
Dari penelusuran sejarah dan budaya, kehadiran transpuan telah melintasi zaman. Transpuan berjuang dengan caranya masing-masing, mulai dari penerimaan di lingkup keluarga, mencari nafkah sehari-hari, hingga membuktikan sumbangsih mereka bagi sesama. Komunitas menjadi tempat berlindung di tengah badai penolakan yang kerap diterima di berbagai tempat.
Berbagai persoalan transpuan terpotret dalam hasil jajak pendapat Litbang Kompas dan survei kepada transpuan pada Juni 2022. Persepsi transpuan sebagai pembawa bencana, orang yang menyimpang, atau perusak moral masyarakat masih ada di sebagian benak masyarakat Indonesia. Keengganan untuk tinggal di satu lingkungan dengan transpuan juga dinyatakan oleh sebagian responden.
Padahal, sejatinya di hadapan hukum-hukum dasar, tidak ada larangan bagi transpuan untuk dapat menerima pelayanan sosial, kesehatan, pendidikan, bantuan hukum, dan sebagainya. Baik transpuan, transjender, laki-laki, maupun perempuan memiliki hak-hak dasar di hadapan hukum. Persoalannya tentu saja di penerapan hukum yang perlu mendapat ketegasan dan pengawasan.
Harapan transpuan tidaklah muluk-muluk, yakni cukup kehadirannya diterima oleh masyarakat. Perihal norma dan kepercayaan, biarlah itu menjadi ranah privat setiap individu. Perlakuan yang wajar dari masyarakat tanpa merendahkan identitasnya akan membukakan peluang bagi para transpuan untuk berusaha dan berkarya sesuai kemampuan yang dimiliki.
Oleh karena itu, ruang pertempuran yang sesungguhnya ialah di tataran persepsi. Tepatnya soal penerimaan eksistensi hidup mereka sehari-hari. Diskriminasi atas dasar orientasi seksual adalah pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan semangat kemanusiaan, perlu didorong sikap inklusif dengan menerima dan menghormati segala jenis keberagaman manusia sebagai ciptaan Tuhan. (LITBANG KOMPAS)