Penyelamatan lingkungan dari kerusakan membutuhkan aksi nyata. Sejumlah pemerhati lingkungan di berbagai penjuru Tanah Air berjuang demi alam yang lestari.
Oleh
STEFANUS ATO, NIKSON SINAGA, KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bergerak dalam senyap, sejumlah individu dan komunitas di berbagai penjuru negeri berupaya menyelamatkan lingkungan dari kerusakan. Upaya mereka mulai dari melindungi satwa dari kepunahan, merehabilitasi pesisir yang hancur akibat eksploitasi tambak, hingga memberdayakan masyarakat di kawasan pesisir.
Tidak jauh dari hiruk-pikuk Jakarta, Daman (51), lebih dari satu dekade menjadi pelindung bagi lutung jawa (Trachypithecus auratus) di hutan mangrove di Desa Muara Bendera, Kecamatan Muaragembong, Bekasi, Jawa Barat. Kecintaannya pada binatang membuatnya berani menghadapi pemburu bersenapan dan warga sekitar yang mengusik lutung.
”Kadang sampai mau berkelahi. Saya tidak takut karena dari kecil saya sayang binatang. Saya paling tidak suka ada orang menyiksa, apalagi membunuh hewan,” ucapnya, Minggu (27/11/2022).
Meski awalnya tidak paham hewan itu tergolong terancam punah dan dilindungi, Daman teguh menjaga lutung sejak 2010. Tidak sekadar menghalau pemburu, ia juga memasang poster-poster yang berisi ajakan menjaga berbagai jenis hewan yang hidup di hutan mangrove. Upaya itu tanpa pamrih, benar-benar muncul dari panggilan hati.
Konsistensi dan keteguhan hati Daman menuai kepedulian dari warga. Mereka akhirnya turut menjaga kelestarian lutung. Populasi lutung pun bertambah, dari 30-an ekor pada 2018 menjadi 52 ekor pada 2021.
Di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, kawasan hutan mangrove di pesisir Desa Tanjung Rejo, Kecamatan Purcut Sei Tuan, rusak akibat eksploitasi untuk tambak sejak tahun 2000-an. Tangkapan kepiting dan udang yang dahulu melimpah berangsur surut seiring alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak.
Ironisnya, kala tambak yang kebanyakan dibuka pengusaha dari luar daerah itu tak lagi menghasilkan dan rusak akibat abrasi, areal bekas tambak dibiarkan begitu saja. Ditambah lagi, mangrove yang tersisa dibabat untuk dibuat arang. Sebagian areal juga dialihfungsikan menjadi kebun kelapa sawit.
Kondisi itu membangkitkan kepedulian Miswat (50) dan warga yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan Pantai Panglima. Tanpa kenal lelah, mereka merehabilitasi bekas tambak dengan menyemai bibit dan menanam mangrove.
”Hampir 10 tahun ini kami tanami kembali hutan mangrove yang rusak,” kata Miswat.
Jerih payah merehabilitasi hutan mangrove mulai terlihat. Tegakan di hutan mangrove tampak rimbun. Populasi kepiting dan udang yang menjadi tumpuan hidup nelayan setempat mulai berkembang di sekitar hutan mangrove. Perekonomian setempat kembali bergairah.
Hingga saat ini masih banyak bekas tambak yang terbengkalai dan mendesak direhabilitasi. Penebangan hutan mangrove secara ilegal juga masih dijumpai meski warga rutin berpatroli, tetapi jumlahnya menurun.
Sejak 2021, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) juga bergerak merehabilitasi kawasan itu. ”Prinsip rehabilitasi mangrove harus sejalan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kalau tidak, mangrove yang ditanam akan rusak lagi,” kata Kepala BRGM Hartono saat berkunjung ke Desa Tanjung Rejo, Selasa (8/11/2022).
Kini, luas hutan mangrove yang tersisa di Sumut sekitar 57.490 hektar. BRGM menyusun target percepatan rehabilitasi mangrove di Sumut dengan total 50.674 hektar pada 2021-2024. Pada 2023-2024 ditargetkan rehabilitasi 7.900 hektar hutan mangrove dengan anggaran lebih dari Rp 150 miliar.
”Ini tidak hanya untuk penanaman mangrove, tetapi juga pemberdayaan masyarakat,” kata Hartono.
Kerusakan di kawasan pesisir terjadi pula di sebagian wilayah Sumut. Memiliki 627 desa pesisir di sepanjang bentangan 2.395,99 kilometer garis pantai, mayoritas masyarakat akar rumput di ”Bumi Nyiur Melambai” bergantung pada laut dan segala sumber daya di dalamnya.
Ironisnya, metode eksploitatif yang destruktif banyak dijumpai. Bom dan racun digunakan untuk menangkap ikan, sedangkan mangrove dibabat demi mendapatkan kayu bakar dan bahan bangunan.
Kondisi ini memantik gerakan pegiat konservasi untuk menyelamatkan lingkungan pesisir Sulut. Pada 2015, pemerhati lingkungan Stella Runtulalo bersama tiga akademisi dan pegiat konservasi bahari mendirikan Perkumpulan Manengkel Solidaritas.
Dalam bahasa Sangihe, manengkel berarti ’aktivitas menangkap ikan pada malam hari saat air surut’. Penangkapan ikan dilakukan menggunakan tombak. Ikan hanya diambil secukupnya untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga. Kesadaran dan kemampuan memanfaatkan sumber daya alam secara arif itulah yang ingin dikembangkan di desa-desa pesisir Sulut.
”Inti dari kegiatan kami adalah pemberdayaan masyarakat sembari menjaga lingkungan. Dari pola pengelolaan sumber daya pesisir yang seperti itu, kesejahteraan masyarakat pasti bisa meningkat,” kata Sella, Kamis (24/11/2022).
Setelah tujuh tahun berdiri, Perkumpulan Manengkel Solidaritas mendampingi lebih dari 30 desa dan kelurahan di lima kabupaten/kota, yaitu Manado, Bitung, Minahasa, Minahasa Utara, dan Minahasa Selatan. Di Bitung, misalnya, dilakukan pengembangan kawasan konservasi laut seluas 9.635 hektar di Selat Lembeh.
Inti dari kegiatan kami adalah pemberdayaan masyarakat sembari menjaga lingkungan. Dari pola pengelolaan sumber daya pesisir yang seperti itu, kesejahteraan masyarakat pasti bisa meningkat.
Di Minahasa Selatan, tepatnya di Desa Kapitu, dilakukan rehabilitasi terumbu karang sembari meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang cara menjaga terumbu karang. ”Tahun ini kami merestorasi 1,25 hektar lahan bawah air yang rusak,” kata Erlando Tumangken, Ketua Perkumpulan Manengkel Solidaritas.
Upaya membantu masyarakat merawat pesisir juga dilakukan dengan penanaman mangrove di sejumlah desa dan kelurahan. Di Manado, misalnya, program yang dilaksanakan sejak 2015 mampu memulihkan sedikitnya 18 hektar hutan mangrove di Kampung Bahowo, Kecamatan Bunaken. Ekowisata pun turut dikembangkan di sana.
Gerakan penyelamatan kawasan pesisir kian berkembang seiring dukungan pendanaan dari berbagai pihak, di antaranya dari PT Cargill Indonesia di Minahasa Selatan, PT Tirta Investama di Minahasa Utara, serta PT Pertamina di Bitung. Bank Indonesia Kantor Perwakilan Sulut juga kerap terlibat.