Meski berperan strategis dalam membentuk keimanan siswa, kesejahteraan guru agama jauh dari ideal. Mayoritas berstatus honorer, jumlahnya juga terbatas.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Hasil penelusuran tim Kompas di berbagai wilayah menunjukkan, sangat banyak guru agama yang mengajar dengan tanpa memikirkan pamrih. Mereka sungguh-sungguh mendedikasikan hidup bagi peserta didik, yang sebagian besar juga berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Dengan sarana terbatas, guru-guru agama bersemangat mengajar di lembaga formal ataupun nonformal. Para guru agama juga beradaptasi dengan teknologi digital, guna mempermudah akses belajar agama bagi para siswa.
Majid (33), mengajar di satuan pendidikan keagamaan Islam nonformal Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah (MDTA) Lontar, di Dukuh Bitung, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Ia mengajar sekitar 70 anak usia SD, mulai pukul 14.00-16.00, seiring kerapnya anak-anak cuma bermain sepulang sekolah. Kebanyakan orangtua bekerja di pasar sehingga tak bisa mengawasi anaknya (Kompas, 26/4/2022).
Di Cirebon, kota lain di Jabar, Yoseph (46) setia menjadi guru Pendidikan Agama Kristen untuk anak-anak selama 14 tahun. Ibarat pemadam kebakaran yang dibutuhkan di saat genting, dia menawarkan diri untuk mendidik anak-anak Kristen yang tidak mendapat materi agama di sekolah.
Bersama sejumlah guru Agama Kristen, ia mengajar ratusan anak dari Cirebon dan sekitarnya. Tahun ini saja, mereka mengajarkan Pendidikan Agama Kristen untuk 150 siswa SMP dan 150 siswa SMA dan SMK, dari sekolah yang tak menyediakan guru Pendidikan Agama Kristen (Kompas, 25/4).
Di berbagai wilayah lain di Tanah Air, sangat banyak guru seperti Majid dan Yoseph. Fenomena itu seiring hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada pertengahan April, yang memotret kehadiran guru agama nonformal di tengah publik. Sebanyak 82 persen responden beragama Islam menyebut keberadaan guru ngaji Al Quran di tempat tinggal mereka.
Kemudian, 24,2 persen responden beragama Kristen/Katolik menyebut adanya pengajar sekolah minggu. Sebanyak 20,0 persen responden pemeluk Hindu atau Buddha menyampaikan keberadaan pendidik pasraman (Hindu) dan vijjalaya (Buddha) di lingkungan mereka. Para pengajar itu bekerja dengan sukarela, tanpa pamrih (Kompas, 26/4/2022).
Mencermati fenomena tersebut, tentu sangat mendesak solusi untuk dua masalah, yakni upaya lebih menyejahterakan guru agama, dan menambah jumlah guru agama. Data terkait kekurangan guru agama di semua level pendidikan ini, dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga SMA, terekam oleh Kementerian Agama.
Di tengah citra buruk guru agama yang terekam di media sosial, sejalan dengan cukup banyaknya pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak didiknya, kita tak kekurangan guru agama yang bekerja dan berbakti kepada dunia pendidikan agama. Sudah selayaknya penghargaan dan apresiasi kita berikan kepada mereka yang ikhlas mengabdi.