Dari Kota Linier Madrid ke Kota Futuristik The Line Arab Saudi
The Line, kota nol karbon masa depan, mengingatkan pada Kota Linier di Madrid, Spanyol, seabad silam. Sempat bersemi, Kota Linier redup dihantam krisis dan ternyata pertumbuhan kota sulit dibatasi dalam satu bentuk saja.
Oleh
NELI TRIANA
·5 menit baca
Menjelang akhir tahun ini, kota masa depan The Line mulai dibangun di NEOM, proyek konstruksi megabesar milik Arab Saudi. Konsep kota futuristik yang mengadopsi bentuk garis atau lorong lurus itu begitu mirip dengan Kota Linier karya Arturo Soria y Mata di Madrid, Spanyol. Keduanya sama-sama memimpikan kota yang efektif berbasis angkutan umum massal, bebas polusi, dan selaras dengan alam.
The Line disebut pula kota cermin berkat dindingnya yang bening dan memantulkan kawasan sekitarnya. Dalam video simulasi di kanal resmi NEOM, kota selebar 200 meter dengan ketinggian 500 meter di atas permukaan laut itu nyaris tak terlihat oleh mata telanjang. Hanya tampak tegakan-tegakan hijau di ketinggian membentang sepanjang 170 kilometer di padang pasir hingga terhubung ke laut.
Tegakan hijau itu bak petunjuk kecil bagi publik tentang isi kota garis lurus tersebut. Masih dari video simulasi, The Line dirancang penuh dengan ruang hijau di antara berbagai bangunan untuk berbagai fungsi. Di sana akan ada hunian, kawasan industri, pusat penelitian, tempat olahraga dan hiburan, serta obyek wisata.
Tidak ada kendaraan pribadi di sana. Dengan lima menit jalan kaki, siapa saja bisa mengakses berbagai sarana dan prasarana publik. Dengan menggunakan angkutan umum vertikal, mirip lift, orang bergerak cepat dari bagian bawah ke puncak dinding kota. Dari ujung satu ke ujung lain ditempuh hanya 20 menit saja memakai kereta supercepat. Ada bandar udara, juga pelabuhan, di sana.
“The Line akan mengatasi tantangan yang dihadapi umat manusia dalam kehidupan perkotaan saat ini. Kita tidak dapat mengabaikan krisis kelayakan hunian dan lingkungan yang dihadapi kota-kota dunia, dan NEOM berada di garis depan dalam memberikan solusi baru dan imajinatif untuk mengatasi masalah ini,” kata Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman yang turut membidani dan mengelola NEOM dalam pernyataan resmi di kanal NEOM, Juni 2022 lalu.
Rezim MBS disebut membungkam hingga membunuh tokoh lokal Arab Saudi yang vokal menolak The Line.
Kota impian MBS, panggilan akrab sang putra mahkota itu, digadang-gadang sebagai kota inklusif. Sosok perempuan berpakaian kasual tanpa penutup kepala dihadirkan dalam rekaman pendek di kanal NEOM, seakan menegaskan cita-cita kota untuk semua kalangan, mengadopsi teknologi ramah lingkungan terkini, dan melebur dengan alam itu.
Pada tahun 2025, kota senilai 725 miliar dollar Amerika Serikat itu ditargetkan mulai mewujud. Kelak, kota ini akan dihuni 9 juta jiwa, nyaris setara dengan penduduk Jakarta dan Seoul di Korea Selatan. Namun, total luas The Line hanya 34 kilometer persegi, sementara Jakarta 661,5 kilometer persegi dan Seoul 605,2 kilometer persegi.
The Line memang hanya menempati sebagian kecil dari seluruh lahan NEOM seluas 26.500 kilometer persegi. The Conversation menghitung, meskipun sekilas tampak sempit, setiap orang di The Line bisa leluasa menikmati ruang urban hingga 1.000 meter kubik. Luas itu jauh lebih lega dibandingkan dengan di banyak kota besar lain di dunia saat ini.
Bagi Arab Saudi, The Line ditargetkan menjadi keajaiban dunia di era modern, sekaligus proses peralihan ekonomi yang sebelumnya bergantung pada minyak bumi menjadi penggerak ekonomi industri konstruksi mahabesar berbasis energi bersih.
Beberapa media tak yakin mimpi besar tersebut dapat tercapai. The New York Times dengan garang menyebut ambisi MBS hanya ”hijau” di permukaan, tetapi menyimpan kekejaman tak terkira. Rezim MBS disebut membungkam hingga membunuh tokoh lokal Arab Saudi yang vokal menolak The Line.
Hal itu dibuktikan dengan Pengadilan Kriminal Khusus Arab Saudi yang telah menjatuhkan hukuman mati kepada Shadli al-Howeiti dan dua kerabatnya, Ibrahim al-Howeiti dan Ataullah al-Howeiti. Middle East Eye melaporkan, ketiganya ditangkap tahun 2020 karena menolak penggusuran untuk proyek The Line. Mereka menuding The Line menjual mimpi kota inklusif, sementara proyek itu sendiri bakal menggusur masyarakat tradisional setempat yang biasanya hidup selaras dengan alam di padang pasir.
Sentimen negatif masih terus berdengung di tengah glorifikasi publik global pada pembangunan kota futuristik tersebut. Berbagai pertanyaan miring pun muncul.
The Conversation menghitung, biaya proyek memang tampak murah untuk ukuran kota semaju itu. Bisa jadi, biaya murah itu berkat penggunaan tenaga kerja yang jauh lebih rendah daripada standar di negara maju. Media ini juga mempertanyakan bagaimana infrastruktur transit publik berkecepatan sangat tinggi serta layanan serba mutakhir di dalam gedung paling masif yang akan dibangun bisa hemat biaya.
Mimpi Soria y Mata
Mengikuti perkembangan, The Linemembuka lembaran memori serupa lebih dari seabad lalu. Pada tahun 1882, perencana kota Arturo Soria y Mata memperkenalkan rancangan Kota Linier di Madrid, Spanyol.
Soria y Mata kala itu mengusung pengembangan kota di kanan dan kiri jalur tram sepanjang sekitar 50 kilometer dengan lebar 500 meter di kota Madrid. Fasilitas publik seperti sekolah, kantor, tempat usaha, dan tempat hiburan berada dekat dengan jalur transportasi publik, juga mudah diakses dengan berjalan kaki.
Ada jalur hijau di setiap ruas jalan dan jaringan sanitasi yang terhubung ke tiap bangunan. Seperlima bagian dari seluruh kawasan untuk area hunian, sisanya untuk kawasan industri dan agrikultur. Tiap hunian didesain seluas 80 meter persegi, tetapi dikelilingi lahan untuk taman dan berkebun seluas 320 meter persegi.
Soria y Mata menginginkan kota yang alami dengan banyak tegakan pohon, kota higienis dengan jaringan sanitasi yang memadai, pergerakan publik efektif dengan angkutan umum. Di sisi lain, kota juga lebih mandiri terkait penyediaan bahan pangan.
Proyek konstruksi La Ciudad Lienal atau Kota Linier dimulai pada 1894 dan pada 1910 kawasan urban baru sepanjang 5 kilometer terbangun. Sebanyak 4.000 penduduk menghuni kota baru yang menjanjikan tersebut.
Mendekati akhir 1920, Soria y Mata meninggal, diikuti krisis yang melanda Spanyol. Harga tanah melambung. Proyek kota baru yang diharapkan mengakhiri keruwetan masalah perkotaan di era Revolusi Industri di Madrid pun perlahan terabaikan dan buyar. Saat ini, yang tersisa dari Kota Linier Soria y Mata adalah jalan utama dan sebagian hunian saja. Nasib serupa dengan di Madrid terjadi pada penerapan Kota Linier di Belgia dan di Paris, Perancis.
Pertumbuhan kota seperti halnya jiwa-jiwa bebas penghuninya, sulit diwadahi dalam satu bentuk kawasan urban saja.
Dari hasil kerja Soria y Mata, para penata kota melihat beberapa manfaat Kota Linier, yaitu sangat mudah diakses, adaptif pada perkembangan secara linier, dan fungsional, khususnya di sepanjang akses angkutan umum serta bentang kota yang dibangun. Kekurangannya, pertumbuhan kota mudah tersumbat karena keterbatasan bentang kota terbangun, diperlukan usaha ekstra yang jauh dari murah untuk dapat mengontrolnya sesuai tujuan awal, dan pilihan untuk terkoneksi dengan kawasan lain atau arah pergerakan kotanya sangat terbatas.
Namun, kegagalan Kota Linier tak semata karena kelebihan ataupun kekurangan di atas. Juga tak cuma karena sang pencetus dan penggeraknya, Soria y Mata, telah tiada. Faktanya, membangun kota baru dari nol ternyata tidak semudah dan semurah yang dikalkulasi sebelumnya. Pada akhirnya, yang mampu mengakses kota-kota baru ideal itu hanyalah orang dengan kelas ekonomi tertentu. Cita-cita inklusif mati sebelum berkembang.
Selain itu, meredupnya Kota Linier juga kerap dikaitkan dengan esensi kota itu sendiri. Kota kerap disetarakan dengan organisme hidup, seperti halnya manusia-manusia di dalamnya. Pertumbuhan kota seperti halnya jiwa-jiwa bebas penghuninya, sulit diwadahi dalam satu bentuk kawasan urban saja.
Berkaca dari Kota Linier dan melihat euforia The Line, memupuk mimpi dan mewujudkan cita-cita kota baru yang ideal telah menjadi pembangkit semangat serta bagian dari cara mengatasi berbagai isu urban dari masa ke masa. Hanya, kota baru itu tidak akan menjadi solusi tunggal, bahkan berisiko memicu masalah tersendiri kelak jika salah urus.
Untuk itu, hingga kini, mencari jalan keluar bagi kota-kota existing yang masih salah kelola, tidak inklusif, dan tertinggal masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Butuh inovasi-inovasi tak kalah ambisius untuk mengatasinya.