Kota masa depan berkelanjutan bukanlah kota egois, eksklusif. Mereformasi kota egois jadi keharusan demi terwujud kota tangguh berketahanan untuk mengatasi Covid-19 juga ancaman pandemi, resesi, dan tantangan berikutnya.
Oleh
NELI TRIANA
·5 menit baca
Kota-kota tumbuh menjamur di seluruh penjuru dunia. Namun, pertumbuhan kawasan urban itu tidak selalu sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, khususnya tujuan nomor 11, yaitu menjadikan kota dan permukiman inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan. Indonesia pun dibelit isu perkotaan yang melenceng dari tujuan mulia itu.
Tak sulit mendeteksi kota tempat kita tinggal tergolong memanjakan segelintir orang tertentu, egois, jauh dari inklusif. Salah satunya dari fasilitas pelayanan publik yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Tinggal tengok bagaimana kualitas transportasi publik di kota itu, akses air bersih, fasilitas kesehatan masyarakat, isu kemiskinan dan ketimpangan, sampai marak tidaknya persoalan terkait diskriminasi.
Di Indonesia, sama seperti yang dialami banyak negara lain, mereformasi kota di masa yang tak menentu ini masih menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat. Padahal, menjadi kota yang inklusif melayani semua warganya menjadi salah satu modal utama untuk dapat mengatasi dampak pandemi Covid-19, potensi pandemi berikutnya, resesi, dan berbagai tantangan global lainnya.
Saat ini, belum banyak kota di Indonesia yang fokus membangun fasilitas ataupun pelayanan publik mumpuni. Apalagi, ada beban defisit pembangunan yang terjadi selama 2020-2021. Sepanjang dua tahun itu, pembatasan ketat dilakukan, termasuk mengalihkan berbagai pembiayaan berbagai program pembangunan untuk penanggulangan Covid-19.
Namun, benarkah kota-kota di Indonesia jumlahnya kian berlipat dan banyak persoalan menumpuk di sana?
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dalam Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2030 memaparkan, urbanisasi dipengaruhi pertumbuhan penduduk perkotaan, migrasi dari perdesaan ke perkotaan, dan reklasifikasi perdesaan menjadi bagian dari daerah perkotaan. Secara nasional, tingkat urbanisasi diproyeksikan sudah 66,6 persen.
Sebagian provinsi lain, seperti Papua dan Papua Barat, sesuai perhitungan Bappenas akan memiliki penduduk perkotaan 44,4 persen dan 41,5 persen di 2035 atau naik sekitar 10 persen dibandingkan dengan tahun 2020.
Dengan kota yang bertaburan dari Sumatera sampai Papua, ketersediaan salah satu kebutuhan primer masyarakat, seperti air bersih, ternyata masih mengenaskan.
Menurut Indikator Perumahan dan Kesehatan Lingkungan 2020 yang dirilis Badan Pusat Statistik, yang berpengaruh terhadap akses air minum layak di antaranya dilihat dari sumbernya. Sumber air bersih bisa dari air leding (perpipaan), sumur bor atau pompa, sumur terlindung, mata air terlindung, dan air hujan. Selain itu, air konsumsi dari air kemasan bermerek atau air isi ulang, tetapi untuk mandi, mencuci dan lainnya dari air leding, sumur bor/pompa, sumur terlindungi, mata air terlindungi, dan air hujan.
Ketahanan harus menjadi jantung kota-kota masa depan.
Berdasarkan sumber air bersih, data BPS menunjukkan secara nasional yang paling banyak digunakan rumah tangga untuk minum adalah air isi ulang (29,1 persen), sumur bor/pompa (19,09 persen), dan sumur terlindungi (14,35 persen). Di perkotaan, air isi ulang menjadi sumber air minum utama rumah tangga yang paling banyak digunakan (36,99 persen), sedangkan di perdesaan paling banyak digunakan sumur terlindung (19,78 persen).
Di sisi lain, proporsi akses air minum aman berdasarkan parameter fisik (TDS/total dissolved solids), kimia (Nitrat, Nitrit, pH), dan biologi (E.Colli) di Indonesia tahun 2020 baru 11,9 persen. Data dari Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan yang dirilis tahun 2021 itu menyebutkan, di perkotaan akses air minum aman baru 15,1 persen dan di perdesaan 8,3 persen.
Betapa keteterannya negeri ini dalam pemenuhan air minum aman. Padahal, tiap rumah tangga harus memiliki akses air minum layak dan bersih dalam mendukung kesehatan lingkungan dan masyarakat. Ketersediaan air bersih berkorelasi dengan kualitas sanitasi publik. Ketersediaan air bersih dan sanitasi layak bagian dari syarat kota tangguh berketahanan.
Melirik ke layanan untuk memenuhi kebutuhan bermobilitas masyarakat, secara kasatmata baru Jakarta yang telah memiliki jaringan angkutan umum massal terintegrasi dengan angkutan reguler.
Meskipun diklaim menjangkau 90 persen lebih area Ibu Kota, angkutan umum di Jakarta masih bersoal dalam melayani warga, terutama dari first mile atau titik keberangkatan dari tempat tinggal warga di perkampungan padat sampai perumahan kaum berada. Akibatnya, kendaraan bermotor pribadi, terutama sepeda motor, masih menjadi pilihan utama warga dalam bermobilitas.
Di kota lain, pengadaan transportasi umum baru sebatas cikal bakal. Hal ini ditemui di antaranya di Kota Bogor, Bandung, Surabaya, Surakarta, Yogyakarta, sampai Palembang di Sumatera Selatan.
Kota masa depan dan berdaya saing
Dengan setumpuk masalah membebani kota-kota di Indonesia, sikap optimistis mesti terus dipupuk. Skenario masa depan perkotaan yang optimistis akan mengurangi ketimpangan dan kemiskinan, mendorong ekonomi perkotaan yang produktif dan inklusif, berinvestasi secara berkelanjutan untuk mempromosikan energi bersih dan melindungi ekosistem, serta memprioritaskan kesehatan masyarakat.
”Ketahanan harus menjadi jantung kota-kota masa depan,” tulis António Guterres, Sekretaris Jenderal PBB, dalam Laporan Kota Dunia (World Cities Report) yang dipublikasikan pada Juni 2022.
Visi masa depan perkotaan berkelanjutan dan adil itu hanya akan terwujud jika pemerintah kota, tiap kawasan urban, mengambil tindakan berani dan tegas untuk mengatasi tantangan perkotaan yang kronis dan terus berkembang. Reformasi kota-kota butuh dilakukan tanpa basa-basi, bukan sebatas aksi pencitraan demi menaikkan pamor individu-individu yang melabeli dirinya sebagai pemimpin.
Pelayanan dasar publik yang sewajarnya masuk program pembangunan unggulan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) didukung program pemerintah yang masuk dalam APBN. Target perbaikan layanan dasar publik, seperti air bersih, terukur sehingga ada kemajuan setiap satu periode kepemimpinan kepala daerah yang berlanjut pada periode pemerintahan selanjutnya. Dalam 10-30 tahun atau maksimal enam periode kepala daerah, layanan dasar publik wajib tercapai.
Skema pembiayaan pembangunan perkotaan masa kini yang semakin fleksibel dan dapat menggandeng masyarakat, organisasi nirlaba, serta perusahaan atau pihak swasta lainnya.
Di era digital dan keterbukaan ini, masyarakat mendapat panggung untuk menjadi agen perubahan di daerahnya. Warga dengan mudah menyoroti serta mengemukakan kebutuhan mereka di tingkat komunitas atau lingkungan permukiman terkecil, seperti rukun tetangga (RT).
Masyarakat dapat mengusulkan program pembangunan yang tepat di area lingkungannya termasuk bagaimana pembiayaannya. Hal-hal seperti ini dapat disambut baik oleh pemda ataupun pusat dan merangkulnya dalam program pembangunan di tingkat kota, provinsi, juga nasional.
Pihak swasta diharapkan menunjukkan tanggung jawabnya dengan terjun berkontribusi dalam program pembangunan layanan dasar publik. Swasta dapat memilah dan memilih untuk ikut terjun dalam pembiayaan program pembangunan yang berdampak lebih besar pada kehidupan masyarakat.
Reformasi kawasan urban memang butuh kerja sama semua pihak. Reformasi itu butuh dilakukan sekarang juga demi mengubah kota-kota egois, eksklusif, menjadi inklusif, berkelanjutan, berdaya saing.