Titah Jokowi Bangun Transportasi Publik Ubah Wajah Indonesia
Perintah Presiden Joko Widodo agar membangun transportasi publik akan mengubah wajah kawasan urban Indonesia. Pembangunannya tidak akan mudah apalagi murah, tetapi menentukan keberlanjutan dan daya saing kota masa depan.
Oleh
NELI TRIANA
·4 menit baca
Kota-kota di Indonesia mendapat komando langsung dari Presiden Joko Widodo untuk mulai membangun sistem layanan transportasi publik di wilayahnya. Membangun transportasi publik perkotaan tidak akan pernah mudah, apalagi murah. Namun, sistem layanan angkutan umum memadai akan mengubah wajah kota kita, membuat area urban yang tangguh berkelanjutan dan berdaya saing.
Keberadaan kota-kota tangguh amat diperlukan di masa tak menentu pascapandemi dan di bawah bayang-bayang resesi dunia seperti saat ini.
Laporan "Urban Transportation Systems of 25 Global Cities: Elements of Success" dari McKinsey & Company yang dipublikasikan Juli 2021 menyatakan, pandemi Covid-19 telah mengubah secara drastis kondisi kebiasaan hidup, cara berpikir, dan perilaku manusia, terutama di lingkungan perkotaan di mana pun di dunia.
Riset menunjukkan, secara umum tren di perkotaan yang berkembang saat ini di antaranya mobilitas lebih rendah dengan peningkatan penggunaan kendaraan bermotor pribadi, popularitas transportasi umum menurun karena dinilai berisiko tinggi menularkan Covid-19. Penurunan pendapatan yang dialami pengelola transportasi publik seiring dampak pandemi berefek samping pada memburuknya kualitas layanan angkutan umum.
Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menyebabkan pertumbuhan kendaraan bermotor pribadi yang kian memenuhi jalanan. Implikasinya, kemacetan parah tak terhindarkan, polusi udara meningkat, dan ekonomi terganggu kala mobilitas publik terkendala. Kementerian Perhubungan menyebutkan, kerugian akibat kemacetan dalam satu tahun, khususnya di Jakarta dan sekitarnya, mencapai Rp 100 triliun.
Untuk melihat kecepatan dan ketepatan respons kota menghadapi dampak pandemi, tim riset McKinsey menggunakan metrik untuk analisis, yaitu availability (ketersediaan), affordability (keterjangkauan), efficiency (efisiensi), convenience (kenyamanan), serta safety and sustainable development (keamanan dan pembangunan berkelanjutan).
Availability mencakup ketersediaan jaringan angkutan umum berbasis rel dan jarak tempuh warga ke stasiun kurang dari 20 menit dengan berjalan kaki, kecukupan ruas jalan termasuk jalur sepeda sampai trotoar, jumlah sepeda sewa maupun kendaraan bermotor dalam sistem sewa atau berbagi, dan tingkat penerbangan di bandar udara terdekat di kota itu.
Komuter di Jakarta rata-rata menghabiskan 71 menit untuk mencapai tujuan. Bandingkan dengan Bangkok (62 menit), Kuala Lumpur (51 menit), dan Singapura (46 menit).
Affordability di antaranya mencakup keterjangkauan terhadap angkutan umum perkotaan. Di luar itu, dilihat dari ada atau tidaknya pembatasan penggunaan kendaraan pribadi yang efektif.
Efficiency dapat dilihat dari efisiensi layanan angkutan umum dibandingkan dengan penggunaan kendaraan bermotor pribadi.
Convenience atau kenyamanan pengguna angkutan umum ditunjukkan dengan adanya fasilitas tiket elektronik, ketersediaan sambungan internet gratis dan cepat, serta digitalisasi layanan, termasuk informasi apa pun terkait bus, kereta, sampai bike-sharing dan car-sharing yang penting dalam integrasi angkutan umum. Umur armada transportasi turut menentukan kenyamanan, karena berkaitan dengan teknologi serta keamanan kendaraan.
Safety and sustainable development mencakup keamanan fisik maupun lingkungan. Publik dapat menilai isu keamanan ini dari tingkat kecelakaan yang melibatkan angkutan umum.
Memenuhi kelima metrik itu, Paris menelurkan konsep kota 15 menit pada 2020 saat pandemi bergolak parah. Konsep ini direalisasikan dengan memperbanyak frekuensi dan memperluas cakupan layanan angkutan umum, menambah taman kota, memperluas jalur sepeda serta menekan penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Kota itu menargetkan setiap warganya mudah menjangkau tempat tujuan dalam 15 menit saja dengan angkutan umum, jalan kaki, dan bersepeda.
Rusia pun dalam beberapa tahun terakhir berinvestasi besar-besaran dalam pengembangan infrastruktur kereta api, termasuk kereta perkotaan untuk membuat moda transportasi itu lebih mudah diakses penduduk ke tempat mereka tinggal dan bekerja. Layanan baru yang menghubungkan Moskow dan sekitarnya telah dibangun sepanjang lebih dari 130 kilometer dalam kerangka Diameter Pusat Moskow (Proyek MCD).
Bangkok sebagai kota pusat ekonomi di negaranya terutama dari sektor wisata, kini terus menata kawasannya dengan menambah layanan jaringan angkutan umum. Singapura jelas tak terbantahkan menjadi negara kota dengan layanan transportasi publik terintegrasi termaju di Asia Tenggara, bahkan telah menyejajarkan diri dengan kota-kota maju dunia lainnya.
Bagaimana dengan Jakarta yang disebut menjadi paling modern se-Indonesia dan jadi barometro pembangunan angkutan umum di negara ini?
Data Jakarta Public Transit Statistics dari Moovit menunjukkan, Jakarta dibandingkan lebih dari 150 kota lain di dunia terbilang telah memiliki cakupan layanan bus Transjakarta cukup luas dibarengi MRT, LRT, mikrotrans Jaklingko, dan kereta komuter Jabodetabek. Akan tetapi, komuter di Jakarta rata-rata menghabiskan 71 menit untuk mencapai tujuan. Bandingkan dengan Bangkok (62 menit), Kuala Lumpur (51 menit), dan Singapura (46 menit).
Rata-rata warga di Jakarta menghabiskan berjam-jam untuk bepergian dengan angkutan umum, bahkan 72 persen di antaranya memakan waktu lebih dari 2 jam. Masa tunggu di halte dan stasiun bisa 13 menit, bahkan lebih. Jarak tempuh pengguna angkutan umum Jakarta relatif panjang, yaitu di atas 12 kilometer. Di Bangkok, Kuala Lumpur, dan Singapura kurang dari 10 kilometer saja.
Di luar data Moovit itu, khususnya terkait keamanan, pada periode Januari-Oktober 2022, jumlah kecelakaan yang melibatkan bus Transjakarta milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah mencapai lebih dari 800 kejadian. Periode sama pada tahun lalu, ada sekitar 500 kecelakaan Transjakarta. Kondisi buruk itu menggerus rasa aman publik.
Berdasar data itu saja, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan di Jakarta untuk menambah frekuensi dan cakupan layanan angkutan umum sehingga dapat mereduksi waktu tunggu kedatangan angkutan dan lama perjalanan. Jika ini dapat dilakukan, diharapkan dapat menarik lebih banyak orang naik bus dan kereta komuter.
Untuk itu, perintah pembangunan angkutan umum perkotaan wajib diimbangi kebijakan pemerintah daerah dan pusat untuk menganggarkan dana besar pembangunan layanan transportasi publik. Untuk membangun MRT Jakarta fase 1 dan 2 dari Lebak Bulus hingga Ancol saja akan menyedot lebih dari Rp 30 triliun. Belum untuk pembangunan LRT, meningkatkan kualitas jaringan bus Transjakarta, dan lainnya.
Tanpa keberpihakan serius termasuk menggelontorkan dana dan gencar mencari sumber pendanaan tepat yang dibutuhkan, pembangunan angkutan publik pun tidak akan pernah tuntas. Hasilnya, ancaman kerugian akibat kemacetan dan menurunnya kualitas perkotaan akan terus semakin membebani.
Sudah jelas bahwa membangun jaringan layanan angkutan umum perkotaan tidak mudah, apalagi murah. Namun, ini satu-satunya pilihan. Jangan ditunda-tunda lagi.