Kena demam ”Kamu nanya? Ente kadang-kadang ente ya…. Rawrrr”. Nikmati sebelum tergusur viral konten ”receh” lain. Jurus ”receh” serupa dipakai untuk manipulasi informasi sampai kampanye kota berkelanjutan.
Oleh
NELI TRIANA
·4 menit baca
”Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya? Ente kadang-kadang ente ya…. Rawrrr”. Lontaran kata-kata dan geraman bak singa ala Alif dalam video di Tiktok yang berlatar tembok tak mulus, atap sederhana tanpa plafon, dan terkadang ditambah aneka jemuran pakaian itu menjadi ”bom” kekocakan dan kegembiraan baru di dunia maya, lalu merembes ke dunia nyata.
Di media sosial, juga di percakapan sehari-hari di kantor, di rumah, bahkan di sekolah, viral ”Kamu nanya?” ini membuat orang terbahak-bahak. Terselip sebal dan senyum kecut pula saat pertanyaan serius dijawab teman atau kolega dengan kalimat yang diucapkan dengan nada khas meniru gaya si pemilik akun @alif_cepmek itu.
Alif sekarang melejit tenar menyaingi pesohor media sosial dadakan lokal seperti Intan si Reyhan Baik atau pendahulunya lebih dari satu dekade lalu, Sinta-Jojo ”Keong Racun”. Kelucuan dan parodi yang ditawarkan Alif mengingatkan juga pada bintang Tiktok dunia Khabi Lame di Perancis.
Alif mendapuk dirinya sebagai Dilan KW, kembaran ”palsu” tokoh khayali dalam seri novel Dilan yang telah diadaptasi ke layar lebar. Dari mencoba meniru gaya berpakaian sampai berbicara ala Dilan itu lahirlah ”Kamu nanya?”. Istilah cepmek alias cepak mekar untuk menggambarkan potongan rambutnya menambah keotentikan konten Alif.
Remaja 18 tahun itu tidak menutupi kondisi rumahnya di salah satu gang sempit di Jakarta Barat. Hal itu diyakini menjadi lem perekat kedekatannya dengan warganet. Selama ini, kehidupan di permukiman padat yang dijalani Alif dan keluarganya juga mengakrabi sebagian warga Ibu Kota dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.
Kisah Alif ini bisa dibilang mirip Bonge, Kurma, dan Ale, tiga remaja yang mendadak terkenal berkat fenomena Citayam Fashion Week beberapa waktu lalu. Sampai sekarang, mereka masih menjadi endorser berbagai produk dan eksis di medsos seperti halnya yang kini dialami Alif.
Di sela kesibukan seiring ketenarannya, mereka secara berkala masih menyambangi terowongan Dukuh Atas. Hal yang sama masih banyak dilakukan kaum muda dari pelosok tetangga Jakarta yang ikut kongkow di sana tiap sore hingga malam dan pada akhir pekan. Mereka cuci mata sembari membuat konten walau media massa dan selebritas maupun pejabat tak lagi menghiraukan mereka.
Media sosial seperti Youtube, Instagram, Twitter, Snapchat, sampai Tiktok memang menjadi jalan mudah bebas hambatan bagi banyak orang lintas latar belakang untuk berekspresi. Bagi sebagian mereka, ini sekaligus ikhtiar mencari celah menggapai mimpi menjadi menarik, terkenal, dan sukses meraih kehidupan yang lebih baik.
Khususnya Tiktok yang sekarang tengah begitu digandrungi, The New York Times dalam salah satu ulasannya menyatakan ini adalah media sosial menginduk pada ByteDance, portal berita dan hiburan dari China. Tiktok sangat tergantung pada mesin kecerdasan buatan (AI) untuk menyusun dan membuat aliran konten yang disesuaikan dengan kecenderungan kesukaan tiap penggunanya.
Tiktok untuk penataan kota, meski masih kalah populer dibandingkan tutorial masak, make-up, dan joget, menjadi menu baru yang merebut perhatian publik.
Tiktok telah menarik jutaan pengguna di seluruh dunia. Jutaan orang itu terpikat menikmati dan mengisi konten layanan unggahan video pendek dalam format berdiri dilengkapi musik kekinian. Konten-konten ringan yang di Indonesia sering disebut ”receh” alias tidak penting tetapi menghibur cukup mendominasi. Apa yang dilakukan Tiktok kemudian disalin di Instagram dengan Reels dan Shorts di Youtube, meski saat ini masih kalah tenar.
Kesan ceria, lucu, ”receh” dan wadah kreasi unik seperti tutorial riasan wajah yang aneh juga joget sesukanya masih kuat melekati Tiktok. Namun, seperti platform media sosial lain, di kanal ini bertaburan pula konten berbau seks, berita bohong atau informasi yang sengaja dimanipulasi untuk tujuan tertentu, hingga keriuhan dunia politik.
Seperti media sosial lain pula, pengisi konten bisa menjadi selebritas nasional maupun dunia. Hanya saja, tak semua bintang dapat bertahan lama. Acapkali terjadi ada konten viral dalam semalam, tetapi kemudian secepat kilat tenggelam ditelan arus unggahan-unggahan heboh lain.
Kejelian dan kemampuan untuk konsisten menyuguhkan konten segar, unik, dan menarik perhatian menjadi kunci langgeng tidaknya seseorang menjadi bintang medsos. Menjadi profesional didukung tim khusus yang memikirkan isi konten, eksekusi video, aktif merekrut pengikut, bahkan dengan merangkul pengikut bayaran pun dilakukan. Semua itu demi menjaga nama besar dan menjaring sponsor pengiklan maupun kontrak-kontrak acara yang mendatangkan cuan.
Bagaimana nasib Alif Cepmek nantinya? Rawrrr.... Publik masih mengikuti perkembangannya.
Banyaknya konten ringan dan mudah dicerna ala Tiktok ini lama-kelamaan diterima banyak pihak, termasuk akademisi dan aktivis, untuk membumikan informasi penting maupun berkampanye. Tiktok untuk penataan kota, meski masih kalah populer dibandingkan tutorial masak, make-up, dan joget, menjadi menu baru yang merebut perhatian publik.
Brad Biehl pemilik akun @citiesforpeople, Paul Stout (@talkingcities), dan banyak praktisi penata kota maupun aktivis kota berkelanjutan lain menggulirkan tagar #planningtok. Kaum muda menjadi sasaran mereka karena 62 persen pengguna Tiktok berusia 29 tahun, bahkan lebih muda, dan sebagian besar tinggal di perkotaan.
Pengguna muda memakai Tiktok untuk banyak hal layaknya mesin pencari. Mengenali idola mereka, melengkapi tugas sekolah, hingga format surat rekomendasi dari guru untuk syarat masuk ke sekolah tertentu dicari di Tiktok. Jadi, ketika terpapar atau terdampak fenomena urban seperti macet, sampah, sampai isu lain, mereka pun lebih suka menggali informasi terkait via Tiktok
Lewat video, penata kota menjadi tiktokers dengan menangkap suasana sisi-sisi kota yang ditata layak untuk warganya. Mereka ”merecehkan” pengenalan konsep kota ramah pejalan kaki, pentingnya transportasi publik sebagai tulang punggung mobilitas di kawasan urban, sampai apa saja infrastruktur untuk menjadi kota berketahanan.
Laporan Bloomberg Citylab, akun @alanthefisher yang mengunggah gambar jalan raya memanen hampir setengah juta klik suka (like). Akun itu menyatakan, melebarkan dan menambah lajur jalan hanya akan mengundang kemacetan parah terus terjadi. Coba saja, kata Alan, bangun angkutan umum massal, seperti kereta komuter, bus, dan lainnya. Warga jagat maya pun menyambut seru gagasan itu dan mengamininya.
”Video 30 detik membuka pintu pada banyak kemungkinan. Setidaknya orang bisa mengenal topik itu dan mungkin merisetnya sendiri,” kata Stout.
Alih-alih mengedarkan hoaks dan memecah belah, di tangan banyak orang yang peduli, media sosial menjadi alat tepat penghubung banyak pihak agar bisa bekerja sama mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Mengikuti arus menjadi ”receh” pun ternyata tak selalu berarti tak penting.
Bayangkan saja jika seorang tiktokers seperti Alif Cepmek atau youtuber, selebgram, dan bintang muda medsos lain dapat direkrut menjadi pemengaruh untuk menjadikan kotanya lebih baik. Alif mungkin bisa sekalian memanfaatkan ketenarannya dengan terjun menjadi endorser penataan kampung padat yang tepat sasaran.