Wajah Keberagaman ”Haradukuh” Menolak Diseragamkan
Ada remaja miskin dan kaya, tua dan muda, ada yang eksis dengan ekspresi jender berbeda, keyakinannya pun tak sama. Keberagaman itu tidak dapat diseragamkan. ”Haradukuh” bisa menjadi wajah kota inklusif atau sebaliknya.
Oleh
NELI TRIANA
·4 menit baca
Neli Triana, Wartawan Kompas
Diinisiasi kaum muda dari tepian Ibu Kota, Citayam Fashion Week alias ”Haradukuh” kini menjadi ruang berekspresi bagi banyak pihak dengan berbagai latar belakang. Warga Ibu Kota yang dulu memandang sebelah mata atau bahkan melirik pun tidak, sekarang banyak yang gandrung nimbrung, membuat kerumunan di sana semakin rapat dan ramai.
Dibandingkan dengan sekitar satu bulan lalu, kerumunan di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat, tempat ”Haradukuh” lahir dan besar, saat ini sudah sangat berbeda dan berkembang. Orang tua, muda, anak-anak, kaya ataupun yang kurang berpunya bersesak-sesak di ruang yang terbatas itu.
Ada banyak atraksi jalanan, mulai dari asyik berlenggak-lenggok layaknya model profesional, ada yang gagah berkostum layaknya pahlawan super di film-film Marvel, ada pula yang menari berkelompok di trotoar. Tak ketinggalan sebagian orang mengambil peluang untuk menyalurkan ekspresi jender berbeda dengan penuh semangat.
Gelombang orang yang datang untuk sekadar menonton keramaian di sana pun masih besar. Di sela-sela itu, mulai ada yang berdakwah mengajak para pemuda-pemudi ”Haradukuh” ke jalan Tuhan. Di sisi lain, ada yang mengampanyekan hidup bersih dengan memungut sampah di sana.
Para pembuat dan pelaksana kebijakan tak kalah seru merespons. Ada yang terang-terangan mendukung dengan menyatakan ruang publik adalah ruang bersama sehingga semua orang berhak ada di sana. Ada pula yang melihat ”Haradukuh” memicu kemacetan, sampah, sampai penyakit sosial sehingga harus ditertibkan, bahkan dipindahkan.
Fenomena ”Haradukuh” mencerminkan wajah keberagaman yang biasa melekat di kawasan urban di sudut mana pun di muka bumi ini. Bagaimana melihat fenomena ini dengan jernih tanpa terlalu larut pada sisi gelap ataupun sisi gemerlapnya saja menjadi tantangan pemegang kebijakan ataupun para pengusung subkultur ”Haradukuh” dan masyarakat luas.
Kelompok demikian membutuhkan ruang bergerak dan jika tidak disiapkan oleh pengelola kota akan disiapkan oleh mereka sendiri dan mungkin akan di luar dari peraturan. (Gunawan Tjahjono)
Menghakimi hanya dari satu sisi saja dapat mematikan semangat aktualisasi diri warga di ruang publik. Hal tersebut juga dapat mencerminkan iklim demokrasi di kota terbesar dan kota paling utama di Indonesia ini ternyata belum dewasa. Akibatnya, keputusan yang diambil dalam menyikapi suatu fenomena terkadang justru tidak tepat sasaran, apalagi mengatasi akar masalah.
Ditambah lagi, sebagian dari kaum urban Ibu Kota dan sekitarnya ternyata belum dapat menerima perbedaan, apalagi jika dikaitkan dengan keyakinan yang dianutnya. Tidak jarang kondisi ini berujung dengan menimpakan kesalahan kepada pihak atau kelompok tertentu, khususnya kelompok minoritas.
Dalam kasus ”Haradukuh”, remaja dari pelosok Bodetabek tetap dianggap sebagai aktor utama pemicu kekacauan meski dalam perkembangannya semakin banyak pihak lain yang berkekuatan modal besar ataupun pemengaruh bermain di sana. Sekelompok orang yang memilih bereksperimen dengan ekspresi jender berbeda ikut dipojokkan, dituding memperkeruh situasi. Kelompok warga lain terpanggil untuk terjun ke ”Haradukuh” dengan misi yang mereka anggap amat mulia, yaitu sebagai polisi moral untuk ”meluruskan” ekspresi jender berbeda itu.
Gunawan Tjahjono, guru besar di Universitas Indonesia dari jurusan arsitektur yang mendalami isu perkotaan, sebelumnya menjelaskan bahwa kota yang mengesankan adalah kota yang mampu menyiapkan ruang yang menginspirasi, menarik, dan membangkitkan makna bagi warganya yang memiliki beragam latar belakang ataupun bagi mereka yang sekadar singgah di sana.
Namun, sebagian warga kota disebutnya hanya mampu mengenal dan mencitrakan kota pada lokasi atau simbol tertentu yang berarti bagi dirinya ataupun kelompoknya. ”Kelompok demikian membutuhkan ruang bergerak dan jika tidak disiapkan oleh pengelola kota akan disiapkan oleh mereka sendiri dan mungkin akan di luar dari peraturan,” kata Gunawan kala itu.
Memanfaatkan keramaian yang masih berlangsung, euforia ”Haradukuh” dapat menjadi momentum untuk kembali mengukur keberhasilan pembangunan kota-kota.
Mengutip lagi pendapat Gunawan, dasar mengukur keberhasilan kota sekarang mudah saja, yaitu apakah memenuhi 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) yang telah disepakati bersama oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Kota yang inklusif merangkul semua kalangan yang berarti melayani semua orang dengan berbagai perbedaannya, juga akses berkeadilan dan berkelanjutan bagi semua, adalah bagian dari 17 tujuan itu.
Sungguh disayangkan jika ajang kreasi aktualisasi diri yang seharusnya dapat mendorong pembangunan kota inklusif, seperti ”Haradukuh”, terpaksa pupus dan mati hanya karena kegagapan sesama kaum urban sendiri menghadapi dinamika kehidupan di kotanya. Akan tetapi, layaknya aliran air, kelompok-kelompok dalam masyarakat akan terus bergerak bergerilya mencari dan menemukan tempat baru setiap kali ruang ekspresinya dibendung. Hanya saja, upaya pembendungan yang terus menerus pasti akan mengusik kenyamanan kaum urban. Budaya kota yang plural, kaya, dinamis, bisa jadi sulit tercapai.
Dalam diskusi ringan via aplikasi percakapan Whatsapp, peneliti dan pengajar di Departemen Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, mengungkapkan kekhawatirannya. ”Semoga tidak berakhir jadi tindakan represif,” tulisnya. Kota yang inklusif, yang menjadi gambaran ideal dunia, seharusnya jauh dari tindakan represif.