Daripada Memindahkan, Lebih Baik Menduplikasi ”Haradukuh”
Semua pihak kini merasa berkepentingan di Dukuh Atas. Pembahasan fenomena ”Citayam Fashion Week” pun terus menggelinding dan kian liar. Daripada memindahkan, lebih baik menduplikasinya di banyak lokasi lain.
Oleh
STEFANUS ATO
·5 menit baca
Wacana pemindahan Citayam Fashion Week dinilai tidak tepat. Kreativitas yang muncul di kawasan berorientasi transit Dukuh Atas, Jakarta Pusat, itu lahir secara organik dan tak bisa dibatasi. Pemerintah hanya perlu hadir untuk menata dan mengedukasi mereka yang terlibat di sana.
”Untuk mencerdaskan mereka, tidak bisa tiba-tiba pejabat datang dan menawarkan tempat lain. Itu tidak akan jalan. Pada dasarnya kreativitas tidak bisa dibatasi, kreativitas itu happening dalam ruang dan waktu yang ada di situ,” kata pemerhati pendidikan Doni Koesoema dalam sesi diskusi virtual yang diselenggarakan Megawati Institute dengan tema ”Menilik Bingkai Mencerdaskan Kehidupan Bangsa dalam Fenomena Citayam Fashion Week”, Rabu (27/7/2022) siang.
Citayam Fashion Week awalnya terbentuk dari ekspresi remaja daerah pelosok tetangga Jakarta. Mereka muncul di kawasan itu untuk nongkrong, berbusana sesuai selera dan kemampuan, serta membuat berbagai konten dan kemudian diunggah di media sosial. Konten-konten mereka kemudian viral dan kini menarik perhatian semua kalangan.
Seiring berjalannya waktu, isu yang muncul di Dukuh Atas kian beragam. Tak hanya soal kaum-kaum kaya dan berkuasa yang turut menumpang tenar di sana. Namun, muncul pula isu pendidikan, eksploitasi anak, tindakan kriminalitas, kemacetan lalu lintas, LGBT, hingga panggung politik. Semua pihak kini merasa berkepentingan di sana. Pembahasan fenomena Citayam Fashion Week pun terus menggelinding dan kian liar.
”Pemerintah seharusnya melihat, ya. Ini harus diapakan. Harus ada proses edukasi, ketaatan hukum, lalu pemerintah memberikan ruang-ruang,” kata Doni.
Ruang yang difasilitasi pemerintah bervariasi, salah satunya berupa pelatihan dan edukasi dalam membuat konten-konten yang mendidik dan bebas dari kontroversi, seperti kekerasan dan pornografi. Sementara itu, anak-anak atau remaja yang putus sekolah turut diberdayakan, dikumpulkan, dan didata pemerintah untuk memastikan mereka dapat meneruskan pendidikan secara layak.
Proses mendapatkan pendidikan bisa dilakukan di mana saja, tanpa harus melalui jalur pendidikan formal. Sebagian remaja yang putus sekolah dan ada di sana sejatinya sejak awal sudah belajar secara mandiri, belajar tentang arti kehidupan.
Meskipun dinilai salah jika pemerintah memindahkan lokasi Citayam Fashion Week, bukan berarti tidak bisa menyediakan ruang-ruang publik lain sebagai alternatif atau justru membuka peluang mengembangkan kreativitas serupa. Hal ini sejalan dengan dorongan banyak ahli, seperti sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Syaifudin; juga peneliti dan pengajar di Departemen Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang (Kompas.id, 26 Juli 2022).
Ciri khas lain dari kota pinggiran, dia selalu berkiblat kepada kota utamanya. Ini semakin menegaskan, kalau mau cepat viral, jadi artis dadakan, kiblatnya tetap ada di kota utamanya.
Yang patut diingat, ruang publik tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat, terutama anak muda, saat ini di antaranya kemudahan akses dengan angkutan umum murah meriah. Selain itu, memiliki daya tarik tersendiri, seperti kawasan yang tertata baik, terbuka, dan juga ramah pejalan kaki. Lokasi itu juga memungkinkan mereka leluasa berekspresi serta menerima perbedaan siapa pun yang bertandang ke sana.
Di mana ruang publik alternatif itu? Sepintas saja bisa disebut di antaranya kawasan Blok M dan Melawai di Jakarta Selatan ataupun Senen di Jakarta Pusat. Kedua tempat itu merupakan simpul angkutan umum yang berada di pusat kota serta kini tertata cukup baik. Di Blok M, misalnya, ada banyak tempat publik yang kini kosong, padahal hingga 10 tahun lalu wilayah tersebut merupakan pusat keramaian. Ada baiknya jika kompleks tersebut ditata ulang dan dikampanyekan sebagai ruang publik keren untuk kaum muda dari mana saja.
Berkiblat ke Jakarta
Menurut sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Yuanita Aprilandini, kalangan yang membentuk Citayam Fashion Week merupakan remaja pinggiran kota Jakarta atau Citayam. Wilayah ini merupakan daerah pelaju karena ada Stasiun Citayam yang langsung terhubung dengan Dukuh Atas.
Di satu sisi, Dukuh Atas dipilih sebagai ruang ekspresi remaja pinggiran karena Dukuh Atas masuk dalam kawasan segitiga emas atau pusat bisnis dan perdagangan Ibu Kota. Pemilihan kawasan ini oleh remaja-remaja Citayam dinilai cerdas lantaran letaknya strategis karena konten-konten yang diproduksi berpotensi besar untuk dijadikan konsumsi publik alias viral.
”Ciri khas lain dari kota pinggiran, dia selalu berkiblat kepada kota utamanya. Ini semakin menegaskan, kalau mau cepat viral, jadi artis dadakan, kiblatnya tetap ada di kota utamanya,” kata Yuanita.
Kawasan Dukuh Atas, kata Yuanita, yang juga disebut sebagai ”Haradukuh” atau pelesetan dari Harajuku di Tokyo, Jepang, sebenarnya bisa dikembangkan lebih baik lagi. Haradukuh tak hanya jadi tempat peragaan busana jalanan. Namun, disediakan tempat-tempat kuliner yang dipadukan dengan kampanye atau pertunjukan budaya dan tradisi lokal atau konsepnya menjadi festival.
”Bagaimanapun, kota yang baik adalah kota yang memberikan (kesempatan) beraktivitas, aktualisasi, dan memberikan ruang kebebasan berpendapat. Haradukuh ini juga bisa menjadi ruang atau mimbar demokrasi bagi kelompok minoritas,” katanya.
Perlawanan kultural
Ruang atau mimbar demokrasi bagi kalangan minoritas sejatinya sudah dilakukan remaja-remaja pinggiran pencetus Citayam Fashion Week. Kehadiran mereka di Ibu Kota tak sekadar memuaskan dahaga akan ruang bagi semua orang untuk berekspresi. Namun, kehadiran mereka dinilai sebagai bagian dari perlawanan kultural.
”Perlawanan kultural terhadap kebudayaan kota yang mapan. Kota yang didominasi gaya hidup kelas menengah ke atas dan selama ini nongkrongnya di kafe atau mal,” kata Rakhmat Hidayat, sosiolog Universtas Negeri Jakarta, melalui panggilan telepon.
Di Jakarta, pada awal 1980-an, gaya hidup remaja perkotaan diwakili anak-anak muda Jakarta Selatan. Fenomena yang berkembang saat itu adalah kawasan Melawai. Kawasan itu dulu jadi tempat nongkrong anak-anak muda kelas menengah ke atas.
Fenomena itu kemudian begeser lagi sejak 2010-an. Saat itu, gaya hidup remaja juga masih didominasi kalangan mapan dari Jakarta Selatan. Kalangan ini dikenal dengan gaya berbicara mereka yang keminggris atau memamerkan kemampuan berbicara dengan mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris.
”Fenomena ini kemudian runtuh dengan perlawanan kultural dari anak-anak pinggiran. Mereka menunjukkan bahwa kebudayaan kota itu tak selalu branded, komersial, kapitalis, tetapi ada subkultur baru,” ucap Rakhmat.