Dibuat Si Papa, Diokupasi Si Kaya
Remaja berekonomi lemah dari pelosok Bodetabek membentuk Citayam Fashion Week di Dukuh Atas. Kini, mereka yang berkantong tebal dan berkuasa menumpang tenar di sana. Sementara hak anak ”Citayam” berpotensi terabaikan.
Citayam Fashion Week di kawasan berorientasi transit Dukuh Atas, Jakarta Pusat, terbentuk berkat ekspresi remaja dari pelosok tetangga Ibu Kota yang berani nongkrong, berbusana keren sesuai selera padu padan mereka sendiri, dan membuat konten aktualisasi diri. Ruang kreativitas milik mereka itu menunjukkan dahaga ruang bagi semua orang untuk berekspresi.
Seiring waktu, ruang ekspresi kian ramai oleh kehadiran ”penunggang” keramaian Citayam Fashion Week (CFW) yang disebut juga sebagai SCBD alias Sudirman, Citayam, Bojonggede, Depok.
Kini, tak hanya remaja belasan tahun berlatar keluarga kelas menengah ke bawah dari pelosok Bodetabek yang hadir di sana. Tak kurang dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil ikut melenggang di catwalk jalanan di Dukuh Atas. Sebutan ”Haradukuh” seperti yang dilontarkan Sandiaga Uno pun mulai kerap disematkan di sana, yang tak lain pelesetan dari Harajuku di Tokyo, Jepang.
Di luar pejabat yang juga politisi tersebut, beragam kalangan, mulai artis sampai khalayak ramai, ikut-ikutan mengabadikan diri bergaya bak model dengan bermacam model pakaian sampai riasan yang dipakainya.
CFW telah berkembang menjadi dua sisi yang berlawanan. Sisi positif untuk penyaluran gelora remaja dan negatif lantaran mengganggu pengguna jalan hingga persoalan hak anak atas pendidikan dan potensi eksploitasi.
Bagus bagi warga, khususnya dari pinggiran (Ibu Kota), karena punya ruang berekspresi karena daerah mereka ruangnya sedikit atau tidak sebagus Dukuh Atas. Akan tetapi, setelah viral, kalangan menengah ke atas, termasuk artis, ikut-ikutan peragaan busana, jujur saja mengganggu pengguna jalan.
Di sisi lain, warganet dan sebagian publik menyerukan kebosanan dengan tingkah para pesohor yang ikut ”melantai” di CFW. Makin sebal ketika muncul pula pihak-pihak yang akan mendaftarkan CFW sebagai hak kekayaan intelektualnya.
Aisyah (14) sudah lebih dari lima kali nongkrong bersama teman-temannya di Citayam Fashion Week, termasuk pada Senin (25/7/2022). Mereka selalu menggunakan kereta rel listrik dari Stasiun Daru di Kabupaten Tangerang, Banten, ke Stasiun Sudirman sebagai bagian dari kawasan orientasi transit Dukuh Atas.
Belakangan banyak remaja mengajaknya berfoto karena pernah masuk dalam konten gaya busana, dandan, dan pacaran salah satu kreator konten. Ajakan itu lambat laun membuatnya risi karena tidak leluasa berekspresi.
”Enggak enak nolak ajakan foto. Padahal aslinya risi, kadang malu dilihatin banyak orang,” ujarnya setelah diajak berfoto secara bergantian oleh sekelompok remaja sepantarannya.
Kerumunan orang di trotoar hingga peragaan busana di zebra cross mengganggu pengguna jalan seperti Dina (23). Perjalanannya sebagai pekerja kantoran sekaligus pengguna angkutan umum di Dukuh Atas kerap terhambat.
”Bagus bagi warga, khususnya dari pinggiran (Ibu Kota), karena punya ruang berekspresi karena daerah mereka ruangnya sedikit atau tidak sebagus Dukuh Atas. Akan tetapi, setelah viral, kalangan menengah ke atas, termasuk artis, ikut-ikutan peragaan busana, jujur saja mengganggu pengguna jalan,” katanya.
Baca juga:
Dalam perkembangannya kini, seolah-olah ikut menjadi bagian dari kerumunan di Dukuh Atas adalah keharusan bagi sebagian orang. Tak lain demi mengekor tren agar akun media sosialnya terimbas tenar berkat unggahan foto lengkap dengan tagar Citayam Fashion Week. Nyaris tidak ada kepedulian apakah aksi mereka merugikan orang lain atau tidak. Tidak pula terpikir apakah para remaja dari pelosok Bodetabek yang menginisiasi CFW dirugikan oleh mereka.
Reproduksi ruang sosial
Fenomena Citayam Fashion Week merupakan bentuk reproduksi ruang sosial baru. Dalam konteks ini remaja dari pinggiran.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Syaifudin, menuturkan, reproduksi ruang sosial baru itu mewujud dalam diri remaja dari pelosok Bodetabek untuk membaur di Dukuh Atas. Salah satu kawasan yang dikenal sebagai simbol perkotaan sekaligus tempat elite di jantung Ibu Kota.
”Citayam Fashion Week menunjukkan bahwa anak muda dan masyarakat pada umumnya membutuhkan ruang publik untuk berinteraksi dan bereksistensi karena mudah diakses,” ucapnya ketika dihubungi secara terpisah.
Baca juga:
Nongkrong dan berekspresi tersebut dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Para remaja ini dapat memperluas jaringan pertemanan atau modal sosialnya, dan motivasi diri untuk bisa sukses suatu saat nanti, seperti orang kantoran yang mereka lihat berpakaian rapi dan formal.
Di sisi lain, Citayam Fashion Week rentan pelanggaran hak anak, kejahatan, asusila, hingga eksploitasi oleh kalangan tertentu demi keuntungan. Contohnya, menurunkan motivasi anak untuk bersekolah atau bolos bersekolah karena lebih nyaman nongkrong, membuat konten tidak sesuai usia, dan tidak dalam pengawasan orangtua.
”Dapat meningkatkan kreativitas sekaligus kebablasan karena dimanfaatkan oleh orang lain untuk kepentingan tertentu,” ucapnya.
Berbagai persoalan tersebut mendorong Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencari tempat lain sebagai lokasi peragaan busana, seperti di Monumen Nasional, Senayan, Taman Ismail Marzuki, dan Sarinah. Remaja diimbau tidak pulang larut malam atau berekspresi sampai ketinggalan kereta.
Yang menjadi pertanyaan, ruang-ruang baru itu apakah sesuai dengan kebutuhan para remaja? Apakah ruang baru nanti memenuhi imajinasi kreatif mereka?
Baca juga: ”Citayam Fashion Week” di Bawah Bayang-bayang Harajuku dan La Sape
Ruang ketiga
Citayam Fashion Week, jika merujuk kerangka produksi ruang Henri Lefebvre, sosiolog asal Perancis, merupakan ruang yang diproduksi oleh imajinasi remaja dari kawasan di tepian metropolitan. Imajinasi itu bahkan melampaui fungsi normal titik transportasi publik yang direncanakan oleh perancang kota dan pemerintah sebagai tempat orientasi transit.
Peneliti dan pengajar di Departemen Perencanaan Kota dan Real Estat Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, menyebutkan, ruang kota menjadi arena perebutan makna oleh tiga kelompok. Pemerintah dan swasta sebagai pembangun, akademisi atau intelektual dalam ide yang ideal, dan ruang sehari-hari yang digunakan warga.
Dalam konteks CFW, pemerintah dan swasta membangun Dukuh Atas dengan kawasan orientasi transitnya sebagai ruang pertama untuk perpindahan penumpang antarmoda.
Konsep anak-anak itu menjadi ruang ketiga. Bagus dalam aktualisasi diri, tetapi menyedihkan jika anak remaja pinggiran harus ke Jakarta lantaran minimnya fasilitas publik yang kreatif dan produktif di tempat asal mereka.
Kemudian, kalangan intelektual melihat pembangunan tersebut cukup baik untuk perpindahan penumpang dengan aman dan nyaman, serta ada ruang terbuka dengan beragam fasilitas, seperti taman, kafe, dan restoran yang mendukung publik beralih ke transportasi umum.
Suryono menuturkan, lalu muncul anak remaja berusia belasan tahun yang memersepsikan dan memaknai Dukuh Atas secara berbeda. Alhasil terbentuklah aktualisasi diri yang populer dengan Citayam Fashion Week.
”Konsep anak-anak itu menjadi ruang ketiga. Bagus dalam aktualisasi diri, tetapi menyedihkan jika anak remaja pinggiran harus ke Jakarta lantaran minimnya fasilitas publik yang kreatif dan produktif di tempat asal mereka,” ucapnya.
Alangkah baiknya ada ruang berkreasi yang dekat dengan tempat tinggal sehingga lebih aman dalam pengawasan. Hal itu supaya meminimalkan potensi remaja menginap di Dukuh Atas atau kembali ke rumah saat tengah malam hingga dini hari.
Ketersediaan ruang ketiga untuk berkreasi yang makin banyak, menyebar, dan mudah dijangkau juga bakal menekan peluang penggunaan ruang tersebut oleh pihak-pihak yang sebenarnya tidak terlalu peduli pada anak-anak remaja tersebut.
Dahaga ruang kreasi, seperti yang mewujud dalam Citayam Fashion Week, hendaknya dijawab dengan tetap memastikan ruang itu ramah terhadap para anak remaja pencetusnya. Dengan begitu, mereka dapat menyalurkan gelora mudanya tanpa menghilangkan hak mereka sendiri.
Baca juga : "Citayam Fashion Week"