Petani beras, garam, dan tebu sedang gundah. Pemerintah mengumumkan rencana mengimpor bahan pangan penting itu saat stok di petani cukup.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
Aspirasi petani di Desa Brobot, Purbalingga, Jawa Tengah, Selasa (23/3/2021).
Penolakan terhadap rencana pemerintah mengimpor 1 juta ton beras meluas. Bukan hanya petani, kelompok tani, dan asosiasi petani, kepala daerah juga menuntut pemerintah mengutamakan penyerapan gabah petani. Menjelang puncak panen raya yang diperkirakan awal April 2021, harga gabah terus merosot (Kompas, 23/3/2021).
Begitu pula dengan rencana impor 3 juta ton garam, sementara produksi tahun ini diperkirakan 2,1 juta ton dan kebutuhan 4,8 juta ton (Kompas, 16/3/2021). Alasan pemerintah, impor garam dan gula rafinasi adalah untuk keperluan industri.
Petani garam masih memiliki stok garam tahun lalu yang tidak terserap. Ironisnya, garam petani berkadar garam NaCl di atas 97 persen, yang berarti masuk kualitas produksi (KP) 1 untuk industri. Kompas melaporkan, di Jawa Timur stok garam petani mencapai 2,9 juta ton dan sebanyak 2,7 juta ton di antaranya berjenis KP 1.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga menyusuri tambak garam yang belum mulai produksi karena masih musim hujan di Desa Berahan Wetan, Kecamatan Wedung Kabupaten Demak, Jawa Tengah, Selasa (16/2/2021). Pemerintah berencana mengimpor garam karena produksi nasional yang rendah tidak dapat mencukupi kebutuhan.
Kita seharusnya merasa beruntung memiliki kemampuan tinggi dalam produksi bahan pangan, sumber daya manusia untuk memproduksi, dan memiliki sumber daya alam yang kaya, selain pasar sangat besar.
Semua harus dikelola dengan baik sebab produksi dan pasar tidak selalu berjalan selaras. Untuk itu diperlukan strategi dan kebijakan pemerintah yang selaras antara produksi, pengolahan, distribusi, dan memperdagangkannya. Pemerintah perlu membuat keputusan tepat antara mengimpor dan memproduksi.
Kita tak boleh mengabaikan petani.
Kita harus mengakui, terkadang keputusan yang diambil tidak selalu tepat. Kita tak menafikan impor yang memenuhi kebutuhan kualitas, waktu, dan harga tertentu. Meski demikian, kita tak boleh mengabaikan petani. Kedua kepentingan itu harus diakomodasi seadil-adilnya agar rasa keadilan tidak terkoyak. Di sini pemerintah dituntut dapat menyeimbangkan antara efisiensi teknis, ekonomi, dan sosial.
Ada negara yang menghasilkan beras lebih murah daripada Indonesia, tetapi kita tidak boleh mengorbankan petani kita yang harga berasnya mungkin lebih mahal. Bagi jutaan petani beras, tebu, dan garam beserta keluarganya, komoditas yang mereka usahakan adalah sumber kehidupan utama.
KOMPAS/KRISTI DWI UTAMI
Suasana Gudang Bulog Cabang Pekalongan, Desa Munjungagung, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Selasa (23/3/2021). Hingga saat ini, sekitar 2.000 ton beras yang diimpor dari Vietnam, Thailand, dan India pada tahun 2018 masih menumpuk di enam gudang milik Bulog Cabang Pekalongan, termasuk Gudang Bulog Munjungagung. Kondisi beras impor yang berusia hampir tiga tahun tersebut sudah mulai menguning, berdebu, dan bau apek.
Menjadi tugas pemerintah memperbaiki kualitas garam rakyat, meningkatkan produktivitas petani padi dan tebu. Pemerintah perlu berhati-hati mengumumkan rencana mengimpor bahan pangan penting karena akan memengaruhi harga di dalam negeri dan di pasar internasional.
Indonesia punya pengalaman menjaga stabilitas harga beras di tingkat petani dan konsumen tidak bergejolak. Bulog dapat kembali difungsikan sebagai penjaga stabilitas harga dan stok pangan untuk merangsang produksi petani. Sementara PT Garam didorong menjadi pemimpin dalam meningkatkan produksi garam domestik dan produksi rakyat agar mencapai kualitas yang dibutuhkan. Kita dapat belajar dari pengalaman itu.