Rindu Masa Kecil
Kesucian politik dicemari oleh para penumpang gelap, pendompleng, yang ikut naik kereta demokrasi tanpa membayar dengan berteriak seakan-akan membela demokrasi, tetapi sesungguhnya mematikannya.
Minggu malam, pukul 20.47, seorang sahabat lama, teman semasa sekolah di taman kanak-kanak, mengirimkan pertanyaan lewat Whatsapp (WA), ”Kamu masih ingat teman TK kita, Setyowati Budidarmi, anaknya nDoro Momo, yang kaya raya itu, lho. Sekarang di mana, ya?”
Ah, sungguh pertanyaan yang benar-benar tak terduga. Hebat sekali sahabat lama ini ingat nama ”Setyowati Budidarmi”. Apa dia rindu masa kecil; sebuah masa yang sudah lama ditinggalkan, hampir enam dasawarsa.
Namun, memang, masa kecil adalah masa yang penuh kenangan, menyenangkan. Nyaris semua menyenangkan, kalaupun ada yang tidak menyenangkan, sekuat tenaga tidak dikenang. Semua menyenangkan, termasuk kenakalan-kenakalan kecil, sebagai bocah.
Baca juga: Cerita Keuangan untuk Anak
Masa kecil adalah masa yang sehari-hari dihabiskan dengan teman-teman sedesa untuk bermain-main. Ada begitu banyak ragam permainan yang biasa kami mainkan: main bola, main kasti, gobak sodor, jamuran, lepetan, main gundu, benthik, dakon, dam-daman, bas-basan, mul-mulan, gendiran, petak umpet, perang-perangan, ular naga, dan masih banyak lagi, yang menyenangkan. Di malam bulan purnama, kami tak pernah melewatkan dengan penuh kegembiraan.
Betapa indahnya, masa kecil. Masa kecil adalah masa lalu, yang orang selalu mengatakan, ”lupakan masa lalu”. Apakah juga harus melupakan masa kecil? Masa kecil di saat kita semua tak mengenal malu, tetapi tidak memalukan. Masa di saat kita menjadi makhluk mungil, polos, yang tak banyak tahu.
Masa kecil adalah masa indah yang sering dirindukan kembali oleh orang dewasa. Namun, seperti dikatakan oleh Erich Kastner (Sindhunata, 2006), kembali menjadi anak kecil betapapun indahnya, adalah tuntutan yang takkan bisa terpenuhi. Masa itu sudah berlalu. Masa kecil adalah kebebasan dan kegembiraaan bagi anak-anak.
Baca juga: Sepeda, Tambora, dan Covid-19
Masa kecil yang penuh kejujuran. Bukankah, kejujuran identik dengan anak-anak, dengan masa kecil. Karena memang begitulah anak-anak, begitulah anak kecil. Anak kecil makhluk polos yang berkata apa adanya. Ketika kecil hari-hari hanya diisi dengan: tidur, bangun tidur, sarapan, sekolah, pulang sekolah, main, mandi, lalu belajar saat malam. Yang ada dalam benak kala itu hanya belajar, dan bermain. Sungguh masa yang merindukan.
Sama seperti sahabat lama yang rindu teman-teman taman kanak-kanak, yang sekarang entah sudah di mana. Namun, mengapa sahabat di masa ingusan ini, tiba-tiba rindu masa kecil? Apakah dia rindu masa kecil yang selalu polos dan tidak ada rekayasa dalam pertemanan, juga dalam pergaulan sosial. Apakah dia merindukan masa di mana mudah sekali memaafkan kesalahan teman, orang lain, apalagi saudara dan melupakan pertengkaran yang baru saja terjadi?
Mungkin dia merasakan bahwa kini semuanya serba kepura-puraan, rekayasa, semuanya berdasarkan kepentingan, persis seperti yang dikatakan oleh Lord Palmerston (1784-1865), there are no permanent friends or permanent enemies, only permanent interests, tidak ada kawan dan lawan abadi yang ada adalah kepentingan. Karena ada kepentingan itu maka lahirlah ”kongkalikong”, lalu hasilnya: korupsi.
Mengapa bisa terjadi kongkalikong? Karena tidak ada integritas pribadi. Integritas pribadi merupakan landasan utama etika publik. Korupsi juga terjadi karena tiadanya integritas. Akar kata integritas adalah dari bahasa Latin, integritas-atis, f. Dalam Kamus Latin-Indonesia, kata integritas berarti ’keutuhan, kelengkapan, kesempurnaan, kemurnian, kesegaran budi, ketulusan (tidak dapat disuap), kejujuran, kebaikan, kesalehan, kesucian, dan kemurnian’ (K Prent cm, J Adisubrata, WJS Poerwadarminta, 1969).
Baca juga: Dampak Resesi terhadap Kemiskinan
Jelas bukan bahwa tiadanya integritas publik telah melahirkan korupsi (yang juga berasal dari bahasa Latin, corruption-ionis f, yang kata kerjanya adalah corrumpere, artinya, antara lain, ’merusak, membusuk, memburuk, membinasakan, dan melemahkan’. Dengan demikian, korupsi lawan dari integritas.
Itulah yang, antara lain, membuat sahabat sejak di masa taman kanak-kanak, rindu masa kecil. Masa kecil yang ”belum” terlalu dikotori oleh perbuatan busuk, seperti korupsi itu; paling-paling hanya tepercik kenakalan-kenakalan kecil khas anak desa. Masa kecil yang tidak diselimuti kepura-puraan. Masa yang dengan tegas dan berani mengatakan yang baik memang baik, dan yang tidak baik memang tidak baik; yang benar memang benar, dan yang salah memang salah. Bukan sebaliknya, yang benar dikatakan salah, dan yang salah dianggap benar.
Namun, kini, penuh kepura-puraan. Apa yang diucapkan tidak sesuai dengan perbuatannya. Kata munafik dari kata Yunani, hupokrithes, yang berarti ’seorang pemain drama atau sandiwara’. Peran/karakter yang mereka lakoni di atas panggung sangat bertolak belakang dengan kenyataan sehari-hari. Munafik berarti penuh kepalsuan atau kepura-puraan.
Inilah zaman di mana kebaikan dan kebenaran sedang dalam belenggu; kebenaran jadi barang yang tabu. Meskipun kata Erasmus (1469-1536), seorang humanis dari Belanda, ”Apa yang sudah benar tidak dapat dibuat menjadi sesuatu yang tidak benar.”
Baca juga: Peluang Meminimalkan Resesi
Inilah zaman di mana kebaikan jadi barang langka; kebohongan jadi bagian utama untuk dipuja. Inilah zaman ketika orang menggunakan mantel agama untuk melakukan tindak kejahatan.
Memang, menurut Hagen Berndt (2006), tidak ada satu orang pun yang dapat menyangkal bahwa semua agama berulang kali telah menjadi alat kekerasan dan mempunyai aspek-aspek yang mendorong orang beriman untuk melakukan kekerasan, dan hingga kini semua itu masih terjadi. Apalagi, kalau agama sudah berselingkuh dengan politik.
Namun, pertanyaannya, apakah politik bisa menjadi suci kalau tidak berselingkuh dengan agama? Semestinya, memang demikian, politik menjadi suci karena dijiwai oleh misi suci agama? Akan tetapi, adakah sesungguhnya political holiness itu? Ada! Kalau politik itu membela kemanusiaan, yakni politik kemanusiaan demi keadilan. Dengan demikian, orang (juga orang yang berpolitik) sungguh mencapai derajat tertinggi kesempurnaan hidup beriman.
Dengan kata lain, politik yang membela kaum miskin, memperjuangkan keadilan, dapat menjadi tanah subur bagi kesucian. Itu berarti, a political holiness itu mungkin diwujudkan. Kesucian politik macam itulah yang seharusnya menjadi patokan untuk mengukur jujur tidaknya para politikus (Sindhunata, 2006), bukan yang lain-lain yang sebenarnya hanyalah gincu, pewarna saja.
Baca juga: Bantuan Efektif Menahan Kemiskinan
Sayangnya, kesucian politik itu yang sekarang dicemari oleh para penumpang gelap, pendompleng, yang ikut naik kereta demokrasi tanpa membayar dengan berteriak lantang seakan-akan membela demokrasi, tetapi sesungguhnya mematikan demokrasi. Seperti dikatakan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018) bahwa demokrasi bisa mati.
Sejarah mencatat demokrasi mati karena kudeta pemegang senjata (tentara); demokrasi juga bisa mati di tangan orang yang terpilih secara demokratis; yang setelah terpilih langsung mengubur demokrasi (Hitler dan Hugo Chavez, misalnya). Demokrasi juga bisa mati karena naiknya (berkuasanya) para demagog lewat pemilihan umum dan kemudian setelah berkuasa mulai menghancurkan lembaga-lembaga politik yang demokratis. Jadi, inilah paradoks gawat yang harus dihadapi oleh sistem demokrasi.
Demokrasi juga bisa mati oleh aksi-aksi jalanan yang pura-pura, yang berkedok, yang memba-memba sebagai pembela demokrasi. Berteriak lantang ingin menegakkan demokrasi, tetapi dilakukan dengan cara-cara yang tidak demokratis. Inilah zaman kepura-puraan.
Membiarkan tindakan kepura-puraan, sama saja seperti cerita seorang petani menemukan seekor ular berbisa yang hampir mati. Petani itu membawa pulang ular tersebut dan meletakkannya di tempat tidurnya untuk disembuhkan. Setelah sembuh, ular itu—yang dianggap binatang paling jelek—menggigit petani yang menolongnya. Karena gigitan ular berbisa itu, petani mati. ”Belas kasih tanpa kebijaksanaan, menimbulkan penderitaan yang besar,” kata Maha Ghosananda, seorang biksu dari Thailand.
Baca juga: Kepekaan Wakil Rakyat
Apakah semua itu, atau masih ada hal lain yang telah mendorong sahabat lama, malam-malam mengungkapkan kerinduannya pada masa kecil, dengan menanyakan di mana Setyowati Budidarmi, sekarang?
Sahabat, keindahan masa kecil sudah hilang, nyaris tak berbekas, persis seperti ”hilangnya” sahabat kita Setyowati Budidarmi. Entah dia di mana? Sama dengan dengan keindahan, kedamaian, kejujuran, ketulusan, kepolosan, kebahagiaan, rasa persaudaraan, rasa toleransi, rasa gotong royong, rasa kesetiakawanan seperti zaman kita masih kecil. Semua hilang.
Kita hanya bisa mengenangnya, sekali waktu.