Transformasi birokrasi menjadi salah satu kunci keberhasilan mengatasi berbagai persoalan akibat pandemi Covid-19.
Oleh
A Prasetyantoko -- Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
·4 menit baca
Kemiskinan, sama halnya dengan kematian, bukan hanya soal angka. Kemiskinan adalah kegetiran dan jerih payah mengatasi penderitaan. Situasi ini yang digambarkan Bank Dunia terus bertambah seiring potensi resesi yang meningkat akibat pandemi Covid-19. Laporan semesteran Indonesia Economic Prospect edisi Juli berjudul ”Long Road to Recover” menjelaskan dengan lugas: tanpa bantuan sosial dari pemerintah, angka kemiskinan akan bertambah 5,5 juta hingga 8 juta tahun ini.
Peningkatan kemiskinan terutama disebabkan penurunan pendapatan rumah tangga 5-7 persen seiring peningkatan jumlah orang yang kehilangan pekerjaan. Perekonomian yang mandek akibat pandemi Covid-19 membuat 2,6 juta-3,6 juta penduduk kehilangan pekerjaan, baik secara permanen maupun temporer.
Berbasis survei, Bank Dunia menunjukkan penurunan penghasilan paling tajam dialami pekerja jasa tradisional dan sektor pertanian, diikuti sektor manufaktur. Pendapatan rumah tangga di daerah perkotaan turun 5,5-7,5 persen atau lebih besar dari rerata penurunan nasional.
Peningkatan kemiskinan terjadi seiring kinerja pertumbuhan yang merosot sepanjang tahun ini, yang diramalkan tumbuh 0 persen dalam skenario optimistis. Skenario optimistis dilandasi tiga asumsi. Pertama, pertumbuhan global tidak lebih buruk dari skenario Juni yang minus 5,2 persen. Kedua, perekonomian domestik sudah dibuka secara menyeluruh pada Agustus seperti skenario pemerintah. Ketiga, tidak ada gelombang kedua virus korona.
Jika syarat tak terpenuhi, Bank Dunia khawatir perekonomian Indonesia bisa tergelincir menjadi minus 2 persen pada tahun ini. Resesi akan menjerumuskan lebih banyak penduduk dalam derita kemiskinan. Pemerintah punya peran amat sentral agar derita (angka) kemiskinan tersebut bisa diringankan, jika memang tak terhindarkan.
Resesi akan menjerumuskan lebih banyak penduduk dalam derita kemiskinan.
Bertumpu pada Fiskal
Kebijakan publik dihadapkan pada pilihan amat sulit. Apabila perekonomian tak dibuka secara bertahap, perlambatan akan semakin tajam dan resesi tak terhindarkan. Namun, jika dibuka terlalu cepat, bisa jadi kurva penyakit tak terkendali. Artinya, bukan lagi mengalami gelombang kedua, melainkan kurva gelombang pertama semakin tinggi dan waktu untuk membuatnya landai semakin panjang.
Semakin lama kurva melandai, semakin lama perekonomian membeku sehingga potensi resesi juga meningkat. Kegiatan ekonomi yang dibuka bertahap maupun diperketat memiliki risiko resesi sama tinggi. Tak satu pihak pun yang paham betul perihal pilihan terbaik dalam situasi buruk ini.
Dana Moneter Internasional dalam rilis World Economic Outlook Juni mengambil judul ”A Crisis Like No Other, Uncertain Recovery”. Dalam laporan ini, perekonomian global diproyeksi tumbuh minus 4,9 persen tahun ini. Krisis kali ini tak ada duanya karena bersumber pada masalah kesehatan yang penanganannya sama sekali di luar ruang lingkup kebijakan ekonomi. Akibatnya, berbagai proyeksi dan langkah mitigasi mengandalkan asumsi yang ujungnya sama sekali tak diketahui. Semua perhitungan punya kesimpulan sama: masa depan serba tidak pasti.
Pilihan sulit antara melindungi kehidupan dan menjaga kesejahteraan dialami semua negara. Dan dalam situasi sulit ini, tumpuan harapan ada pada kebijakan fiskal. Pemerintah dipaksa terus menggelontorkan likuiditas dalam jumlah sangat besar guna menopang upaya mengatasi krisis, baik di bidang kesehatan maupun perekonomian. Kebijakan fiskal menjadi sangat sentral dan krusial.
Pemerintah kita juga menghadapi dilema yang sama. Pengeluaran pemerintah terus bertambah seiring kebutuhan penangangan krisis multidimensi yang meningkat. Defisit terus naik, dari semula Rp 852,9 triliun atau 5,07 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi Rp 1.039,2 triliun atau 6,34 persen PDB. Melihat risiko kesehatan yang belum kunjung usai, tak tertutup kemungkinan biaya krisis masih akan bertambah dan tak ada banyak pilihan selain terus memompa likuiditas dalam perekonomian.
Selain menambah alokasi belanja kesehatan, pemerintah juga mengalokasikan belanja stimulus untuk menjaga kualitas hidup masyarakat terjaga. Pembagian bahan kebutuhan pokok (sembako) terus dilakukan dengan alokasi anggaran Rp 15,5 triliun, sedangkan alokasi untuk Program Keluarga Harapan Rp 8,3 triliun.
Untuk menyokong pekerja yang kehilangan pekerjaan, pemerintah mengalokasikan 10 triliun dalam program Kartu Prakerja. Anggaran untuk subsidi listrik Rp 6,9 triliun, sedangkan bantuan yang bersifat langsung dialokasikan dalam berbagai bentuk, yakni bantuan langsung tunai (BLT) Rp 32,4 triliun dan bantuan langsung tunai dana desa Rp 31,8 triliun.
Di antara berbagai program tersebut, tiga program yang perlu perbaikan berkesinambungan adalah pembagian Sembako, BLT, dan Kartu Prakerja. Ketiganya berpotensi tidak tepat sasaran sehingga tak efektif. Perbaikan data serta perbaikan mekanisme penyaluran menjadi kunci.
Untuk pembagian sembako dan BLT, ada dua pendekatan yang perlu ditempuh. Pertama, bagi pemilik penduduk yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP), penyaluran bantuan bisa dilakukan dengan penapisan nomor induk kependudukan. Bagi penduduk yang tidak memiliki KTP bisa menggunakan registrasi nomor telepon seluler. Jika tidak memiliki keduanya, bisa didata sebagai sebagai kelompok paling rentan yang berpotensi tak dikenali dalam kebijakan apa pun.
Pandemi Covid-19 merupakan momentum penting melakukan penataan data kependudukan. Lebih jauh lagi, inilah momentum terbaik melakukan transformasi birokrasi agar lebih profesional, berbasis data, dan mengadopsi teknologi. Tak akan terlambat jika dilakukan segera karena risiko resesi kemungkinan akan panjang sehingga perbaikan dalam distribusi bantuan menjadi kunci penting menjaga angka kemiskinan tak melonjak.
Pemerintah adalah penyangga agar siklus perekonomian terkendali. Transformasi birokrasi menjadi salah satu kunci keberhasilan mengatasi masalah sulit ini. Respons ini sekaligus akan menentukan sejauh mana angka (derita) kemiskinan bisa dikendalikan (diringankan).