Bank Dunia dalam Global Economic Prospects, Juni 2020, menduga, setelah ekonomi Indonesia stagnan tahun ini, pada 2021 akan langsung ”rebound” dengan pertumbuhan 4,8 persen. Ada baiknya menyiapkan warga kembali bangkit.
Oleh
Ivanovich Agusta
·4 menit baca
Rilis teranyar Badan Pusat Statistik, Rabu (15/7/2020), memang memberitakan kemiskinan meningkat 0,56 persen semasa pandemi. Namun, itu justru menabalkan bantuan pemerintah efektif.
Bandingkan dengan lonjakan kemiskinan 6,73 persen poin semasa krisis moneter 1998. Padahal, kliping media massa sepanjang Februari sampai Maret 2020 masih dipadati prediksi krisis bakal lebih dalam, lantaran mencakup sektor riil sekaligus menimpa raksasa ekonomi China, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa.
Bandingkan pula rilis BPS dengan aba-aba Bank Dunia (2/6/2020) yang memprediksi kemiskinan naik 2,1 persen poin sampai 3,6 persen poin. Melesetnya seluruh ramalan itulah yang menandai berhasilnya bantuan pemerintah menjaga hidup golongan terbawah di bumi Nusantara.
Bantalan terempuk
Besar jaring pengaman sosial (JPS) yang ditebar guna menjangkau keluarga miskin lama dan baru terbaca dari pemanfaat beraneka program.
Program Keluarga Harapan (PKH) bagi 10 juta keluarga, Kartu Sembako untuk 20 juta keluarga, bantuan sosial bahan pokok menyasar 1,9 juta keluarga, bantuan sosial tunai non-Jabodetabek menelusur 9 juta keluarga, sedangkan bantuan langsung tunai (BLT) desa diterima 8 juta keluarga.
Melesetnya seluruh ramalan itulah yang menandai berhasilnya bantuan pemerintah menjaga hidup golongan terbawah di bumi Nusantara.
Alhasil, total JPS mampu meliput 48,9 juta keluarga miskin atau 84,07 persen dari 58,17 juta keluarga Indonesia. BPS juga menyebut kotak 40 persen golongan terbawah diisi 17,73 persen penduduk, 40 persen golongan menengah dipenuhi 36,78 persen penduduk, dan 20 persen golongan teratas dipadati 45,49 persen penduduk.
Nyatalah, jaring JPS yang meliputi 84,07 persen keluarga menebar dari golongan terbawah, golongan menengah, sampai 29,56 persen golongan atas terendah. Sekadar menegaskan, dengan demikian, JPS terlalu lebar bagi hanya 5,67 juta keluarga miskin, yang berkonsekuensi pemenuhan target penyaluran pasti menjangkau sampai golongan di atas garis kemiskinan (tentu warga lokal tetap menggolongkannya dalam derajat keluarga miskin).
BPS pun merilis indeks kedalaman kemiskinan hanya 1,61. Untuk ke depan, sebaiknya dirilis pula nilai itu dalam rupiah sehingga bisa tepat dihitung berapa uang saban bulan yang perlu ditambahkan kepada orang miskin guna menggapai garis kemiskinan.
Dengan mengisikan informasi yang tersedia ke dalam rumus indeks kedalaman kemiskinan, diperkirakan hanya butuh kurang dari Rp 30.000 per kapita per bulan bagi orang miskin untuk melampaui garis kemiskinan.
Artinya, satu keluarga miskin hanya membutuhkan Rp 140.000 per bulan untuk menjaganya agar tidak jatuh lebih dalam (rilis BPS mengungkapkan rata-rata rumah tangga miskin dihuni 4,66 anggota keluarga). Bandingkan dengan bantuan pemerintah yang mencapai Rp 600.000 per keluarga per bulan pada April-Juni, lalu Rp 300.000 per keluarga per bulan pada Juli-Desember.
Terujilah bahwa bantalan yang disediakan pemerintah sangat empuk. Bantuan mencukupi 2-4 kali lipat kebutuhan dana keluarga miskin saban bulan. Andai bertahan persis pada kondisi garis kemiskinan, bantuan mampu menahan kehidupan keluarga miskin hingga tahun depan.
Menyiapkan ”rebound”
Sepanjang sejarah ekonomi Indonesia, krisis mengeratkan gotong royong, yang terekam dalam penurunan rasio gini. Sebab, kesulitan menimpa semua warga. Contohnya, krisis moneter memaksa rasio gini turun dari 0,344 tahun 1996 menjadi 0,311 pada 1998, bahkan krisis tetap terasa sampai tahun 2000 yang ditandai lanjutan penurunan hingga 0,302.
Sepanjang sejarah ekonomi Indonesia, krisis mengeratkan gotong royong, yang terekam dalam penurunan rasio gini.
Anehnya, selama pandemi Covid-19, rasio gini relatif tetap, atau sedikit naik, sebagaimana BPS merilis bertambah 0,001. Karena ekonomi produktif tak bertumbuh, atau diramalkan Bank Dunia tumbuh nol persen, kiranya konsumsi segenap golongan masyarakat masih relatif terjaga.
Perlu dilihat juga peran bantuan pemerintah dalam menjaga perekonomian (minimal pada aspek konsumsi yang menghabiskan stok barang). Saat Lebaran 2020, misalnya, aliran Rp 12,4 triliun bantuan pemerintah mendongkel dominasi kiriman uang hasil usaha di kota.
Bantuan pemerintah terbanyak mengalir ke wilayah berpopulasi terbesar, termasuk wilayah dengan jumlah orang miskin terbanyak, yaitu Jawa. Di sini pula ketimpangan meningkat lebih jelas, dengan rasio gini seluruh provinsi di Pulau Jawa lebih tinggi daripada sebagian besar provinsi luar Jawa. Lompatan terjauh terjadi di Provinsi DKI Jaya, yang angkanya meningkat 0,008.
Sisi positifnya, rasio gini yang tetap atau meningkat menyembulkan tanda kesiapan warga untuk berproduksi kembali. Apalagi, isu ”normal baru” (new normal) memompakan semangat psikologis untuk bekerja kembali.
Oleh karena itu, ada baiknya menyiapkan warga merengkuh kembali bangkitnya (rebound) ekonomi. Bank Dunia dalam Global Economic Prospects, Juni 2020, menduga, setelah ekonomi Indonesia stagnan tahun ini, pada 2021 akan langsung rebound dengan pertumbuhan 4,8 persen. Padahal, ekonomi global kini terkoreksi 7,7 persen (tumbuh minus 7,7 persen), bahkan negara maju terkoreksi 8,4 persen (mengalami kontraksi 8,4 persen).
Jadi, sisa tahun ini menjadi golden time guna mempersiapkan diri, merawat alat produksi, mempelajari manajemen usaha menurut tatanan baru agar produksi segera melejit pada awal tahun depan.
(Ivanovich Agusta, Sosiolog Perdesaan Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi)