Perlukah Duel ”All-Star” di Liga Inggris?
Ide pemilik Chelsea, Todd Boehly, untuk menggelar laga ”all-star” di Liga Inggris terasa lebih bertujuan untuk memperkaya pemilik klub. Dengan jadwal kompetisi superpadat, usulan itu berpotensi merugikan pemain.
Todd Boehly, pemilik baru Chelsea, menghadirkan kontroversi berkat idenya agar Liga Primer Inggris atau kasta sepak bola tertinggi di Inggris menyelenggarakan duel all-star di tengah perjalanan musim. Menurut Boehly, laga perang bintang terbaik di lapangan hijau itu akan membantu untuk meningkatkan pemasukan kompetisi.
Ide itu disampaikan pebisnis berusia 49 tahun itu dalam sebuah konferensi di New York, Amerika Serikat, pekan lalu. Ia menggambarkan potensi tambahan pundi-pundi uang bagi klub dan Premier League, operator kompetisi, dari sebuah pertandingan all-star yang menjanjikan hiburan akbar bagi para pendukung dan sponsor.
Saya berharap Premier League mengambil pelajaran dari bagaimana (liga) olahraga Amerika Serikat dijalankan. Di laga all-star MLB (Liga Mayor Bisbol) tahun ini kami menghasilkan 200 juta dollar AS (Rp 3 triliun) hanya pada pertandingan dari Senin dan Selasa.
”Saya berharap Premier League mengambil pelajaran dari bagaimana (liga) olahraga Amerika Serikat dijalankan. Di laga all-star MLB (Liga Mayor Bisbol) tahun ini kami menghasilkan 200 juta dollar AS (Rp 3 triliun) hanya pada pertandingan dari Senin dan Selasa,” kata Boehly, dikutip ESPN.
Baca juga : Liga Inggris Mencetak Rekor Pengeluaran Terbesar
Untuk laga all-star Premier League, Boehly mengusulkan pertemuan bintang tim yang berasal dari sisi utara melawan wilayah selatan Inggris. Dengan kondisi itu, pemain terbaik dari Manchester City, Liverpool, dan Manchester United akan bergabung dalam tim utara, sedangkan penggawa tim-tim terbaik dari London, seperti Chelsea, Arsenal, dan Tottenham Hotspur, akan membela tim selatan.
Duel all-star usulan Boehly seperti melanjutkan ambisi klub-klub raksasa Eropa yang ingin menambah pendapatan dengan mengusulkan Liga Super Eropa, April 2020 lalu. Berbeda dengan Liga Super Eropa yang berpotensi mengganggu kemapanan kompetisi domestik dan Liga Champions besutan Asosiasi Sepak Bola Uni Eropa (UEFA), pekan all-star Premier League, menurut Boehly, hanya akan memerlukan kelihaian operator kompetisi dan klub untuk mengatur ulang kalender liga.
Namun, ide Boehly itu ditanggapi sinis oleh mayoritas manajer Liga Inggris. Manajer Liverpool Juergen Klopp adalah orang pertama yang menolak pekan all-star dalam kompetisi sepak bola terbaik di dunia itu.
Alasan Klopp adalah jadwal kompetisi yang sudah amat padat. Liverpool, misalnya, menjalani empat kompetisi setiap musim yang terdiri dari tiga ajang domestik, yaitu Liga Inggris, Piala FA, dan Piala Liga Inggris, serta Liga Champions. Untuk kompetisi domestik pun, semua tim Liga Inggris telah memiliki jadwal pasti di setiap akhir pekan selama sembilan bulan kompetisi untuk menjalani pertandingan liga dan babak krusial Piala FA.
Baca juga : Anomali Tradisi Pemecatan di Chelsea
”Ketika ia (Boehly) menemukan waktu untuk pertandingan (all-star) itu, ia bisa menghubungi saya. Di sini berbeda dengan kompetisi AS yang memiliki empat bulan penuh masa rehat,” kata Klopp seperti dikutip Liverpool Echo.
Klopp menambahkan, ”Mungkin Boehly bisa menjelaskan idenya itu. Saya tidak yakin orang-orang ingin menyaksikan pemain MU, Liverpool, City, dan Everton bermain bersama. Ini bukan tim nasional.”
Hal serupa juga disampaikan Manajer Southampton Ralph Hasenhuettl. Bagi juru taktik asal Austria itu, pertandingan reguler Liga Inggris di setiap pekan sudah menghadirkan hiburan yang menyita perhatian publik sehingga tidak perlu lagi ada duel all-star yang tujuan utamanya untuk menarik atensi fans.
”Ketika kita tengah mencari cara untuk mengurangi jumlah pertandingan untuk kebaikan pemain, (laga all-star) ini justru menambah beban pemain. Jadi, saya merasa itu tidak perlu. Orang-orang secara umum saya pikir juga akan berpendapat seperti itu,” tutur Brendan Rodgers, Manajer Leicester City.
Baca juga : 100 Hari Berkuasa, Todd Boehly Singkirkan Thomas Tuchel
Adapun Manajer Aston Villa Steven Gerrard lebih terbuka dengan ide all-star itu. Meski kompetisi sudah sangat sibuk, Gerrard tertarik untuk terlibat dalam duel all-star seandainya itu berlangsung di Inggris.
”Ide itu adalah hal yang bagus karena di luar kebiasaan,” kata Gerrard yang sempat dua musim pada 2015 dan 2016 membela LA Galaxy di Liga Mayor Sepak Bola AS (MLS). Ia pun sempat tampil di pekan all-star MLS edisi 2015.
Tidak ideal
Jadwal Liga Inggris musim ini sudah sangat tidak ideal untuk melaksanakan pekan all-star yang biasanya diselenggarakan di pertengahan musim reguler kompetisi olahraga AS, baik untuk NBA, MLB, maupun MLS. Sudah tidak ada waktu luang di akhir pekan sejak Agustus 2022 hingga awal Juni 2023.
Liga Inggris baru akan berakhir pada pekan terakhir Mei 2023, lalu pada pekan pertama Juni 2023 akan dilaksanakan final Piala FA. Untuk agenda tengah pekan, tim-tim Liga Inggris juga akan disibukkan dengan jadwal liga reguler dan jadwal tunda, Piala FA, dan Piala Liga.
Baca juga : Abramovich Pergi, Chelsea di Ambang Turbulensi Finansial
Penundaan kompetisi di pekan ketujuh menyusul wafatnya Ratu Elizabeth II juga telah membuat pusing klub dan Premier League untuk mencari tanggal kosong demi laga tunda. Pertandingan tunda itu kemungkinan baru akan dijalankan pada awal tahun depan.
Pasalnya, dengan waktu tersisa di bulan September ini hingga pekan kedua November, tidak ada lagi jadwal tengah pekan yang kosong. Satu-satunya waktu luang tim Inggris tidak bermain adalah pada tengah pekan kisaran 8 hingga 10 November, tetapi mustahil laga tunda pekan ketujuh dilaksanakan pada waktu itu karena amat mepet dengan jadwal Piala Dunia yang dimulai pada 20 November mendatang.
Di musim-musim mendatang, jadwal padat itu pun akan kembali terjadi. Salah satu penyebabnya adalah format baru Liga Champions mulai edisi 2024-2025. Selama ini, Liga Inggris telah dianggap kompetisi tersibuk karena memiliki tiga kompetisi domestik yang penuh gengsi.
Satu-satunya perubahan yang bisa dilakukan di kompetisi Inggris untuk menyiasati adanya duel all-star adalah mengganti duel tradisional Community Shield. Alih-alih menyelenggarakan pertarungan pembuka musim kompetisi antara juara liga dan Piala FA, duel all-star dapat menjadi pengganti.
Itu berpotensi dilakukan karena laga Community Shield itu juga terasa kurang kompetitif. Mayoritas tim besar yang tampil hanya menjadikan laga tradisi itu sebagai lanjutan pertandingan uji coba. Akan tetapi, tentu sebuah hal yang sulit—kalau tidak mau disebut mustahil—untuk menghilangkan pertandingan tradisi pembuka musim yang telah berlangsung sejak musim 1908-1909 itu.
Baca juga : Tak Ada Tuchel, Potter Pun Jadi
Faktor ekonomi
Keinginan Boehly untuk mencari sumber pemasukan baru dengan duel all-star sesuai dengan napas para pebisnis AS yang terjun di industri olahraga. Mereka menjadikan keuntungan komersial sebagai ”raja”. Pengalaman Boehly mengelola klub MLB, LA Dodgers, dan LA Lakers, tim NBA, mengukuhkan pengalamannya bisa menarik dana besar dari industri olahraga.
Sebelum Boehly mengganti tempat Roman Abramovich di Chelsea, musim panas ini, pemilik klub Liga Inggris asal AS lainnya juga berpikir keras untuk menambah pendapatan demi kantong pribadinya sendiri. Hal itu ditunjukkan oleh keluarga Glazer di MU yang dikritik keras oleh suporter ”Setan Merah” karena tidak rela mengeluarkan uang sendiri untuk membangun tim.
Selain Chelsea dan MU, pebisnis AS mendominasi wajah asing pada kepemilikan tim Liga Inggris. Tiga pebisnis berpaspor AS menjadi pemilik tunggal klub, seperti Stan Kroenke di Arsenal, Shahid Khan di Fulham, serta John W Henry dan Tom Werner di Liverpool.
Lalu, ada tiga pebisnis AS yang punya saham mayoritas di dua klub Inggris lain, yaitu John Textor yang memimpin di Crystal Palace dan Wesley Edens di Aston Villa. Ada pula konsorsium bisnis AS, yaitu 49ers Enterprises dan Keluarga York, yang memegang 44 persen saham Leeds United.
Baca juga : Arsenal Bertahan di Singgasana
Jika usulan duel all-star didasari oleh faktor ekonomi, itu jelas bukan hal yang masuk akal. Sirkulasi uang di Liga Inggris sudah sangat besar dan mengakibatkan ketimpangan besar dibandingkan liga-liga lain di Eropa, termasuk empat liga top lain, seperti Liga Spanyol, Liga Italia, Liga Perancis, dan Liga Jerman.
Menurut laporan Deloitte Football Money League 2022, Liga Inggris mendapatkan pemasukan akumulasi sebesar 5,49 miliar euro (Rp 82,1 triliun) sehingga menjadi liga dengan keuntungan komersial paling besar di dunia berkat hak siar TV dan dana dari sponsor, seperti Barclays dan Nike.
Jumlah itu memperlihatkan gap yang lebar dengan pemasukan liga lain pada musim 2021-2022. Di urutan kedua ada Liga Jerman yang meraih pemasukan 3 miliar euro (Rp 44,85 triliun), Liga Spanyol dengan 2,95 miliar euro (Rp 44,11 triliun), 2,53 miliar euro (Rp 37,8 triliun) untuk Liga Italia, serta Liga Perancis yang mengumpulkan 1,61 miliar euro (Rp 24,07 triliun).
”Klub-klub Inggris berpotensi menembus pendapatan akumulasi hingga 6 miliar euro di musim 2022-2023. Itu hadir karena adanya kesepakatan baru dengan hak siar dan sponsor yang baru dimulai tahun ini,” kata Dan Jones, Kepala Grup Bisnis Olahraga Deloitte.
Dengan derasnya aliran uang di Liga Inggris, rasanya sudah tidak masuk akal lagi untuk ide Boehly menghadirkan hiburan dan sumber pemasukan baru melalui laga all-star.
Duel perang bintang itu hanya akan membuat para pemilik klub lebih tersenyum lebar karena tambahan uang lebih banyak. Di sisi lain, pemain makin tersiksa karena tambahan beban pertandingan yang tidak penting. (REUTERS)