Abramovich Pergi, Chelsea di Ambang Turbulensi Finansial
Kepergian Roman Abramovich berarti Chelsea akan kehilangan subsidi puluhan juta poundsterling setiap musim. Chelsea mustahil menemukan pemilik baru yang rela mengeluarkan uang sendiri demi menghadirkan kejayaan.
Keputusan Roman Abramovich untuk menjual Chelsea mustahil untuk ditarik lagi. Ancaman pembekuan asetnya di Inggris sebagai dampak serangan Rusia ke Ukraina seakan tinggal menunggu waktu. Sebagai pebisnis ulung, Abramovich, yang memegang kewarganegaraan Rusia dan Israel, paham bahwa jalan untuk melepas kepemilikan “Si Biru” adalah yang terbaik bagi dirinya dan keberlangsungan klub itu.
Namun, bagi Chelsea, kehilangan Abramovich akan mengancam stabilitas klub, terutama secara finansial. Sejak membeli saham mayoritas Chelsea, Juni 2003, pengusaha berusia 55 tahun itu telah membangun Chelsea dari tim medioker di Inggris menjadi klub bergelimang gelar. Total 21 trofi telah diraih Si Biru di era Abramovich yang telah mengontrak 13 manajer berbeda.
Perubahan status berkat prestasi di lapangan hijau berjalan lurus dengan peningkatan valuasi yang amat signifikan dalam kurang dari dua dekade. Abramovich “hanya” mengeluarkan dana sekitar 140 juta poundsterling (Rp 2,68 triliun) untuk membeli Chelsea dari Ken Bates, pemilik sebelumnya.
Baca juga : Akhir Pelik Roman Abramovich
Kini, menurut Forbes, nilai jual Chelsea berada di angka 3 miliar pounds (Rp 57,5 triliun). Berdasarkan laporan KPMG Football Benchmark bertajuk "The European Elite 2021", Chelsea adalah klub sepak bola dengan nilai perusahaan nomor tujuh tertinggi di dunia. Nilai Si Biru mencapai 1,8 miliar euro (Rp 28,6 triliun).
Atas dasar hal itu, Abramovich enggan menjual Chelsea di bawah harga valuasi tersebut. Apalagi, dalam 19 tahun mendanai Chelsea, Abramovich juga mengeluarkan dana subsidi untuk membantu Chelsea membiayai operasional klub itu setiap musim.
Dana itu berasal dari perusahaan induk milik Abramovich, yaitu Fordstam Limited. Fordstam menjadi penyumbang dana bagi sejumlah perusahaan milik Abramovich, seperti Chelsea, Evraz, dan Norilsk Nickel.
Untuk musim 2021-2022, misalnya, berdasarkan laporan The Times, Chelsea mendapat suntikan dana dari Fordstam sebesar 26 juta dollar AS (Rp 373,9 miliar). Jumlah itu meningkat dibandingkan 19,9 juta dollar AS (Rp 286,2 miliar) untuk musim 2020-2021.
Apabila diakumulasi sejak 2003, maka Abramovich telah memberikan subsidi sekitar 1,5 miliar pounds (Rp 21,57 triliun) untuk Chelsea melalui Fordstam. Pengusaha Swiss, Hansjorg Wyss, menjelaskan, Abramovich menginginkan calon pembeli Chelsea mengeluarkan dana lebih dari 3 miliar pounds (Rp 43,1 triliun) untuk menggantikannya di kursi kepemilikan Si Biru.
“Saya dan tiga orang lain menerima tawaran dari Abramovich untuk membeli Chelsea, Selasa (1/3/2022). Nilai (jual) yang diminta Abramovich sangat tinggi karena Chelsea memiliki pinjaman kepadanya dan klub tidak memiliki dana kas yang cukup untuk mengembalikan pinjaman itu,” kata Wyss kepada media Swiss, Blick, Rabu (2/3) lalu.
Wyss melanjutkan, “Untuk membeli (Chelsea), saya harus membentuk konsorsium yang terdiri dari enam atau tujuh investor lain”.
Selain Wyss, pengusaha asal Amerika Serikat, Todd Boehly, juga menjadi salah satu peminat untuk membeli Chelsea dari Abramovich. Boehly sempat menawar Chelsea pada 2019, tetapi tawaran sebesar 2,2 miliar pounds (Rp 31,6 triliun) ditolak mentah-mentah oleh Abramovich.
Dalam masa kepemilikannya kurang dari 19 tahun, Abramovich telah mengeluarkan dana sekitar 2,4 miliar pounds atau sekitar Rp 46,04 triliun untuk membeli pemain. Itu adalah jumlah pengeluaran tertinggi yang dikeluarkan klub Eropa sejak 2003.
Berbeda dengan Wyss yang belum pernah berinvestasi di industri olahraga, Boehly sudah memiliki banyak pengalaman di bisnis olahraga. Ia adalah salah satu pemilik saham di tim bisbol, Los Angeles Dogders, sejak 2019. Di bawah kendali Boehly, Dodgers mengakhiri penantian 28 tahun untuk meraih gelar juara World Series Liga Mayor Bisbol AS pada 2020 lalu. Boehly juga menjadi salah satu pemilik saham di tim basket, LA Lakers, sejak Juli 2021. Ia membangun perusahaan e-sport, Cloud9.
Meskipun dikejar waktu seiring hadirnya ancaman pembekuan asetnya di Inggris, Abramovich memastikan, dirinya akan mengikuti proses sesuai aturan di Inggris untuk penjualan Chelsea.
Ia memastikan, hasil dana penjualan Chelsea akan sepenuhnya digunakan untuk membangun yayasan dengan membiayai kebutuhan semua warga Ukraina yang menjadi korban serangan Rusia. Hal itu menjadi wujud Abramovich tidak mengharapkan timbal balik atas uang yang telah dikeluarkannya untuk menaikkan derajat Chelsea.
“(Penjualan) ini bukan terkait bisnis atau uang, tetapi tentang (melepas) hasrat murni terhadap sepak bola dan klub (Chelsea). Keputusan sangat sulit dan menyakitkan untuk berpisah dengan klub dengan cara ini, tetapi saya yakin ini demi kepentingan terbaik klub,” ujar Abramovich dalam pernyataan resmi di laman Chelsea.
Baca juga : Abramovich, Pemilik Chelsea, Jadi Juru Damai Rusia-Ukraina?
Selain Chelsea, Abramovich juga telah melego sejumlah rumah dan vila miliknya di seluruh wilayah Inggris. Adapun Abramovich memasuki Inggris sejak 2019 menggunakan paspor Israel. Hal itu dilakukannya setelah Imigrasi Inggris menolak perpanjangan visa bisnisnya dengan paspor Rusia pada 2018.
Tidak pelit
Selama memiliki Chelsea, Abramovich dikenal sebagai sosok yang royal alias tidak pelit untuk mengeluarkan dana, terutama untuk urusan transfer. Abramovich selalu berambisi membangun tim terbaik di Stadion Stamford Bridge.
Dalam masa kepemilikannya kurang dari 19 tahun, Abramovich telah mengeluarkan dana sekitar 2,4 miliar pounds atau sekitar Rp 46,04 triliun untuk membeli pemain. Itu adalah jumlah pengeluaran tertinggi yang dikeluarkan klub Eropa sejak 2003.
Di luar status pinjaman dana yang dikeluarkan melalui Fordstam, Abramovich mengukuhkan diri sebagai pemilik klub Premier League yang paling mudah merogoh uang dari kantong sendiri untuk menyokong klubnya. Berdasarkan data Swiss Ramble pada kurun waktu 2015 hingga 2019, Abramovich memberi Chelsea 440 juta pounds (Rp 8,42 triliun).
Tidak ada pemilik klub lain dalam periode waktu itu yang mengeluarkan dana sendiri mencapai 300 juta pounds untuk membantu klub. Sheikh Mansour, pemilik Manchester City, hanya mengeluarkan dana sebesar 142 juta pounds (Rp 2,72 triliun).
Dukungan finansial Abramovich itu seakan membuat Chelsea tidak terlalu peduli dengan kerugian dalam laporan keuangan tahunan. Menurut laporan The Football Boardroom, Chelsea mencatatkan kerugian sebesar 168,9 juta pounds (Rp 3,23 triliun) selama 2021.
Baca juga : Takhta Dunia Chelsea untuk Abramovich
Di tengah kerugian itu, Chelsea justru meningkatkan pengeluaran gaji di musim ini, sehingga mencatatkan pengeluaran gaji terbesar dalam sejarah klub. Manajemen Si Biru mengeluarkan uang sebesar 334 juta pounds (Rp 6,4 triliun) untuk menggaji pemain, pelatih, dan staf klub lainnya.
Jumlah itu setara 77 persen dari total pendapatan klub selama 2021 yang mencapai 437 juta pounds (Rp 8,37 triliun). Sebelumnya, pengeluaran gaji tertinggi dicatatkan Chelsea pada musim 2019-2020 dengan 288 juta pounds (Rp 5,51 triliun).
Kekhawatiran
Dengan neraca keuangan merah, terutama dalam dua musim terakhir, pendukung Chelsea pantas khawatir kedatangan pemilik baru akan mengembalikan klub ke zaman kegelapan sebelum era Abramovich. Kekhawatiran itu bisa saja terjadi apabila Chelsea benar-benar akan jatuh ke dalam kendali pengusaha AS. Wyss dan Boehly adalah pengusaha yang menetap dan memiliki usaha di AS.
Sebagai contoh, dua klub raksasa Liga Inggris yang dimiliki pengusaha asal AS, yaitu Arsenal dan Manchester United, tidak menerima sepeser pun suntikan dana dari pemiliknya sebagaimana dilansir data Swiss Ramble.
Chelsea memiliki sejarah yang kaya dan etos kemenangan yang kuat, sehingga potensi pengambilalihan kepemilikan klub harus didasari komitmen untuk meningkatkan klub dan bukan sekedar kesempatan investasi. (Chelsea Supporter Trusts)
Stan Kroenke, pemilik Arsenal, tidak mengeluarkan uang pada periode 2014 hingga 2019 untuk tim yang bermarkas di Stadion Emirates itu. Alhasil, dana operasional “Si Meriam” hanya berasal dari pendapatan klub, mulai dari hak siar, tiket penonton, penjualan cendera mata, hingga kontrak sponsor.
Dalam kurun waktu itu, Kroenke bahkan mengeluarkan dana akumulasi sebesar 101 juta pounds (Rp 1,93 triliun) dari kas klub untuk membayar cicilan pinjaman klub. Pinjaman itu terutama terkait pembangunan Stadion Emirates.
Sementara nasib MU lebih parah dari Arsenal. “Setan Merah” hanya menjadi mesin keuntungan bagi keluarga Glazer. Alih-alih memberikan suntikan dana kepada MU, pemilik klub itu justru mengambil dana dari total keuntungan klub dalam masa waktu 2015 hingga 2019.
Keluarga Glazer mengambil dana sekitar 89 juta pounds (Rp 1,7 triliun) dari keuntungan klub. Tak hanya itu, Glazer juga mengeluarkan uang sebesar 80 juta pounds (Rp 1,53 triliun) dari pendapatan klub untuk membayar utang klub.
Menurut CEO Premier League Richard Masters, penjualan Chelsea adalah hal yang tidak bisa dihindari. Kondisi itu, lanjutnya, akan kian rumit apabila Pemerintah Inggris benar-benar memberlakukan pembekuan dan mengambil alih seluruh aset milik warga Rusia di negara itu.
“Keputusan (penjualan) itu diterima dengan baik. Proses penjualan itu diperlukan agar seluruh pihak, termasuk suporter, memiliki kepastian terhadap masa depan klub,” kata Masters kepada Financial Times.
Ia menambahkan, “Proses penjualan klub Premier League paling cepat selesai dalam 10 hari, tetapi normalnya proses itu berlangsung beberapa pekan tergantung informasi yang dibutuhkan. Dalam kasus Chelsea, situasinya sangat kompleks”.
Chelsea Supporters Trust, organisasi resmi perkumpulan pendukung Si Biru, menyampaikan terima kasih kepada Abramovich atas dedikasi luar biasa kepada klub. Para pendukung berharap pemilik baru Chelsea nantinya memiliki komitmen untuk melanjutkan langkah bersejarah yang telah dituliskan Abramovich.
“Chelsea memiliki sejarah yang kaya dan etos kemenangan yang kuat, sehingga potensi pengambilalihan kepemilikan klub harus didasari komitmen untuk meningkatkan klub dan bukan sekedar kesempatan investasi. Pemilik baru diharapkan melibatkan organisasi suporter ketika mengambil keputusan,” bunyi pernyataan resmi Chelsea Supporters Trusts dikutip Sky Sports.
Baca juga : Impian Liga Super Eropa Tetap Berjalan
Tak hanya potensi kehilangan suntikan dana, kepergian Abramovich juga akan membuat dua sosok penting di manajemen Chelsea angkat kaki. Mereka adalah Bruce Buck dan Marina Granovskaia yang menjadi orang kepercayaan Abramovich untuk mengendalikan klub dalam satu dekade terakhir.
Buck dikenal sebagai sosok yang dipercaya Abramovich untuk mengatur alokasi dana yang dikeluarkan Abramovich untuk Chelsea. Sementara Granovskaia bertanggung jawab untuk mengatur operasional klub. Di antara tugas utamanya ialah menentukan transfer pemain.
Meskipun telah membawa Chelsea menjadi juara di Inggris, Eropa, dan dunia, Abramovich masih memiliki satu mimpi yang gagal diwujudkan selama menguasai Chelsea, yaitu merenovasi Stamford Bridge. Chelsea sejatinya telah mengajukan proposal renovasi markasnya itu sejak 2018. Akan tetapi, rencana itu belum mendapat persetujuan dari Pemerintah Inggris.
Dalam proposal itu, Chelsea mencantumkan dana pembangunan sebesar 1,4 miliar pounds (Rp 26,8 triliun). Dana itu termasuk biaya sewa Stadion Wembley selama tiga musim yang menjadi rumah sementara untuk laga kandang.
Di luar berbagai kontroversi selama memiliki Chelsea, Abramovich adalah role model bagi para pengusaha yang terjun ke industri sepak bola Eropa. Kecintaannya terhadap Chelsea berbalik rasa hormat untuknya dari para pemain, pelatih, pendukung, hingga legenda klub.
Tanpa Abramovich, Chelsea akan memasuki era baru… (AP/REUTERS)