Kala Siswa-Siswi Pulau Komodo Bangun Sekolah Darurat Mandiri
Warga Desa Komodo, Manggarai Barat, NTT, bergotong royong membangun sekolah darurat untuk pendidikan anak-anaknya.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·5 menit baca
Dalam kurun waktu setelah Ashar dan sebelum Maghrib, Jumat (5/1/2024), pengeras suara Masjid Jamiatul Amaliyah di Desa Komodo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, kembali berdengung. Warga sejenak menghentikan aktivitasnya dan memperhatikan sumber suara.
Suara itu bukan panggilan shalat atau kajian, melainkan ajakan untuk gotong royong membangun sekolah darurat bagi siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) Restorasi Pulau Komodo. ”Bagi warga Desa Komodo, ayo datang dan berkumpul membantu pembangunan sekolah darurat sementara untuk anak-anak kita. Ayo bapak, ibu, kawan-kawan semua mari kita gotong royong bersama,” bunyi yang terdengar hingga ke pelosok desa, baik di darat maupun laut.
Sebagian warga berjalan menuju lokasi pembangunan, tetapi ada juga yang kembali melanjutkan aktivitasnya. Namun, para siswa yang didominasi perempuan sudah lebih dulu berkumpul mengenakan pakaian olahraga berwarna kuning-biru dengan bawahan hitam. Siswa laki-laki disebut sedang melaut atau bekerja membantu keluarga masing-masing.
Suara itu bukan panggilan shalat atau kajian, melainkan ajakan untuk gotong royong membangun sekolah darurat bagi siswa Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) Restorasi Pulau Komodo.
Di lokasi pembangunan, semua orang saling berbagi tugas. Ada yang membawa perkakas serta menggali dan mengangkut tanah. Pelangi Sutra (15), siswi tahun pertama SMKN Restorasi Pulau Komodo, misalnya, datang membawa karung untuk mengangkut tanah dan bebatuan dari lokasi pembangunan.
Saat menggali tanah, siswa dan guru saling bergantian. Pakaian yang awalnya bersih, perlahan dipenuhi noda tanah dan keringat. Begitu pula dengan sepatu putih yang mereka kenakan. Meski demikian, tawa dan canda mewarnai aktivitas mereka. Sesekali hal itu dipicu oleh siswa yang mengayunkan beliung tapi tanah yang menjadi obyek galian bergeming.
Saat ini, proses pembangunan SMK darurat itu masih jauh dari kata selesai. Warga dan siswa masih sibuk menggali dan meratakan tanah sebagai fondasi. Dinding-dinding bangunan belum berdiri. Namun, bambu-bambu sudah disiapkan jika diperlukan sebagai sekat pembatas antarkelas dan dinding luar sekolah.
Merujuk data pokok pendidikan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, SMKN Restorasi Pulau Komodo sudah berdiri dan beroperasi sejak 23 Maret 2022. Namun, bangunan fisiknya belum ada hingga hari ini. Padahal, sekolah itu sudah memiliki 101 murid, 15 guru, dan 3 tenaga pendidik.
SMK itu akan menjadi sekolah tingkat menengah atas pertama di Pulau Komodo. Dengan demikian, anak-anak di Pulau Komodo kini bisa menerima pendidikan dari tingkat SD, SMP, hingga SMK yang mudah diakses dari tempat tinggalnya.
Meskipun tercatat dalam data Kemendikbudristek, kejelasan kepemilikan hingga hak guna tanah gedung SMKN Restorasi Pulau Komodo masih belum menemui titik terang.
Salah satu inisiator dan pejuang pendidikan di Pulau Komodo, Usman, menjelaskan, membangun sekolah di desanya bukan hal yang mudah. Selain karena terbatasnya dana dari pemerintah daerah, lokasi yang jauh dari pusat keramaian juga jadi alasan.
”Kasihan anak-anak di sini tidak bisa bersekolah. Saat ini sudah ada, tetapi bangunannya yang belum ada. Murid-murid belajarnya waktu itu masih numpang-numpang di sekolah lain,” kata Ketua Komite SMKN Restorasi Pulau Komodo itu.
Pelangi dan teman-temannya belum mulai belajar karena masih libur semester. Selama ini, mereka belajar di SMP Negeri Satu Atap Pulau Komodo. Karena gedung sekolah bukan milik mereka, para siswa SMK harus masuk siang setelah siswa SMP pulang. Hal itu sudah berlangsung selama hampir dua tahun.
Menurut Usman, siswa SMK kini terancam tidak bisa bersekolah karena gedung SMP tengah dalam proses pengawasan pihak Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Mereka kemungkinan akan pindah ke gedung pendidikan anak usia dini (PAUD). Namun, ada aturan yang sama untuk menempatinya.
Oleh karena itu, orangtua siswa, guru, dan murid sepakat untuk membangun sekolah darurat hingga gedung SMKN Restorasi Pulau Komodo berdiri. Untuk sementara, para siswa akan tersebar di tiga kelas—sebelumnya ada enam rombongan belajar—yang berukuran 7 meter x 6 meter.
”Di Desa Komodo ini banyak fasilitas yang dibangun dari bantuan, termasuk sekolah-sekolahnya. Begitu juga SMK, kami bekerja sama dengan seluruh masyarakat Pulau Komodo untuk meluangkan waktunya sekitar pukul 16.00 (Wita) untuk gotong royong,” tuturnya.
Hingga kini, pembangunan sekolah darurat hanya dapat mencapai dinding dan fondasi. Bantuan berupa semen dari perorangan digunakan untuk fondasi dan bambu sebagai dinding. Sementara untuk bagian atasnya masih beratapkan langit.
Meskipun tercatat dalam data Kemendikbudristek, kejelasan kepemilikan hingga hak guna tanah gedung SMKN Restorasi Pulau Komodo masih belum menemui titik terang. Hal yang sama juga berlaku untuk seluruh rumah penduduk, sekolah, dan bangunan yang ada di Pulau Komodo.
Sebab, seluruh wilayah dalam pulau tersebut termasuk dalam konsensus lahan konservasi yang dikelola Taman Nasional Komodo. Usman menyebut, pihaknya hanya mengantongi surat keputusan dari pemerintah daerah dan surat penyerahan tanah adat untuk pembangunan sekolah.
Dalam catatan tersebut, luas SMKN Restorasi Pulau Komodo mencapai 30.000 meter persegi. ”Sama seperti semua bangunan yang ada di Pulau Komodo, (tidak ada sertifikat tanahnya). Padahal, semua warga sudah turun-temurun hidup di sini,” tuturnya.
Kondisi ketidakjelasan dan konflik atas kepemilikan lahan sudah berlangsung sejak kehadiran Taman Nasional Komodo. Sejak itu, masyarakat hidup tidak tenang karena bisa diusir sewaktu-waktu dari tempat tinggal mereka.
Salah satu orangtua siswa SMK, Haryanto, menyebutkan, kekhawatiran masyarakat terus bertambah akibat ketidakjelasan perihal tanah. Selain bisa diusir secara tiba-tiba, anak-anak juga terancam putus sekolah.
”Di Pulau Komodo ini hanya ada SD dan SMP sehingga banyak yang tidak lanjut lagi bersekolah setelah itu. Adanya SMK ini jadi harapan baru bagi anak-anak di desa ini,” tambahnya.
Sejumlah pelajar, misalnya Pelangi, mengaku agak bingung dan tidak tenang saat bersekolah. Ia berharap pemerintah bisa memberikan kepastian atas tanah baik tempat tinggal maupun sekolah mereka. ”Supaya kami belajar lebih tenang, tidak terganggu dengan kegiatan lain dan pindah-pindah lagi,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Indrawan Bagus (23), salah satu guru SMKN Restorasi Pulau Komodo. Ia berharap masyarakat diberikan kebebasan mengelola tanahnya yang sudah diwarisi secara turun-temurun. Dengan demikian, Desa Komodo akan lebih maju dan pendidikan anak-anak terjamin.
Di sela-sela pembangunan sekolah darurat, Usman mengatakan, pembangunan harus segera selesai, setidaknya dalam kurun waktu seminggu. Sebab, kegiatan belajar-mengajar sudah akan dimulai dan anak-anak membutuhkan tempat.
Mayoritas anak-anak di Pulau Komodo bersekolah di sekolah yang ada di sana. Sebelumnya, banyak anak yang putus sekolah akibat terbatasnya akses pendidikan. Dengan adanya SMK, sumber daya manusia setempat diharapkan lebih baik dan berdampak pada perkembangan desa.