Persyaratan sekolah swasta bisa menerima dana BOS apabila memiliki 60 siswa selama tiga tahun berturut-turut dinilai diskriminatif. Ini memperberat sekolah swasta kecil yang selama ini eksis melayani pendidikan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·7 menit baca
Kompas/Agus Susanto
Aktivitas keseharian siswa berangkat ke sekolah di Desa Komodo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Rabu (24/8/2016).
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggara sekolah swasta meminta pemerintah tidak diskriminatif memberikan dana bantuan operasional sekolah. Di tengah pandemi Covid-19, sekolah swasta kecil justru butuh dukungan pemerintah agar semua peserta didik tetap mendapatkan layanan pendidikan yang baik.
Sayangnya, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Reguler dinilai diskriminatif. Peraturan itu masih berlaku meski nomenklatur kementerian telah berubah menjadi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dalam Permendikbud No 6/2021, ada ketentuan dana BOS akan diberikan kepada sekolah di jenjang SD sampai SMA/SMK sederajat apabila dalam tiga tahun berturut-turut jumlah total siswa di sekolah mencapai minimal 60 orang.
Kenyataannya, banyak sekolah swasta kecil dengan jumlah murid di bawah 60 anak, tetapi tetap eksis melayani masyarakat. Penyelenggara sekolah swasta mempertahankan sekolah di daerah perdesaan, perkotaan, hingga pedalaman semata-mata demi melayani kebutuhan belajar siswa yang sulit menjangkau pendidikan. Pertimbangannya antara lain kendala geografis, tidak ada sekolah negeri, serta melayani anak-anak dari keluarga miskin.
Dalam pernyataan sikap bersama, Jumat (3/9/2021), Aliansi Organisasi Penyelenggara Pendidikan menolak Permendikbud No 6/2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler, khususnya pengaturan tentang sekolah yang dapat menerima dana BOS minimal memiliki 60 siswa. Pernyataan sikap bersama ditandatangani Sungkowo Mudjiamono (Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah), Z Arifin Junaidi (Lembaga Pendidikan Ma’arif Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), Unifah Rosyidi (Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia), Ki Pardimin (Taman Siswa), Vinsensius Darmin Mbula (Majelis Nasional Pendidikan Katolik), dan David J Tjandra (Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia).
Kalau kebijakan dana BOS seperti sekarang, berarti negara gagal hadir untuk anak Indonesia. Apalagi di masa pandemi, justru butuh dukungan supaya tidak putus sekolah. (Doni Koesoema)
”Menjadi tugas pemerintah untuk memastikan setiap anak bangsa wajib mengikuti pendidikan selama 12 tahun, mewujudkan pendidikan berkualitas untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Organisasi penyelenggara sekolah swasta sudah berbakti pada Ibu Pertiwi, pada pendidikan, sampai saat ini. Namun, patut disayangkan, kebijakan Kemendikbudristek tentang dana BOS bertolak belakang dengan amanat UUD dan bersifat diskriminatif,” kata Sungkowo.
Ketentuan dana BOS untuk sekolah yang memiliki paling sedikit 60 peserta didik tiga tahun terakhir dalam Pasal 3 Ayat 2 (d) dinilai diskriminatif. Seharusnya pemerintah membiayai seluruh peserta didik, apalagi di sekolah swasta kecil yang secara nyata melayani kebutuhan belajar anak-anak bangsa.
”Kami menyatakan menolak Permendikbud No 6/2021 tentang petunjuk teknis dana BOS reguler, khususnya Pasal 3 Ayat 2 (d). Kami mendesak Mendikbudristek menghapus ketentuan dalam permendikbud soal dana BOS,” tambah Sungkowo.
Harinto dari LP Ma’arif PBNU mengatakan, pada kenyataannya ada sekolah swasta yang memiliki siswa kurang dari 60 orang. Hal ini juga dialami sekolah dasar dan menengah di bawah LP Ma’arif PBNU yang keberadaannya sampai di pelosok negeri, seperti di Sota, Kabupaten Merauke, Papua, serta di Nusa Tenggara Timur, di daerah yang tidak ada sekolah negeri.
”Di daerah terpencil sampai perbatasan memang minim siswa. Kehadiran sekolah swasta justru membantu negara. Kami menyayangkan jika dana BOS diberikan semata-mata melihat jumlah siswa di suatu sekolah,” kata Harianto.
Unifah mengatakan, sekolah PGRI ada di kota dan desa untuk menampung siswa yang tidak tertampung di sekolah negeri. Justru di sekolah itu sebagian besar siswa berasal dari keluarga tidak mampu.
”Kalau sampai tidak mendapat akses dukungan dana hanya karena sekolah tidak memiliki siswa sampai 60 orang, akan terjadi yang namanya lost generation dari kelompok termarjinalisasi,” ujarnya.
Mitra, bukan rival
Unifah menyayangkan kebijakan Kemendikbudristek yang tidak berpihak kepada sekolah swasta yang sudah terbukti perannya dalam membantu penyelenggaraan pendidikan. Keberadaan sekolah swasta justru seakan dianggap sebagai rival, bukan mitra. Seharusnya, sekolah swasta dirangkul untuk semakin kokoh membantu pendidikan bagi anak bangsa.
Dian M dari PB PGRI mengatakan ada 5.000 sekolah PGRI, dari pendidikan anak usia dini, SMP, dan SMA/SMK. Ada sekolah yang daya tampungnya di bawah 60 siswa karena penambahan sekolah negeri dengan kapasitas besar dan kebijakan zonasi terjadi di semua daerah. Ini membuat jumlah siswa di sekolah swasta terus berkurang.
Pemerhati pendidikan Doni Koesoema mengatakan, sekolah swasta yang memiliki siswa kurang dari 60 orang tidak hanya terjadi di daerah pedalaman atau 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Namun, kondisi itu juga terjadi di perkotaan, termasuk di sejumlah sekolah Katolik di berbagai daerah di Pulau Jawa.
Salah satu contoh, sebuah sekolah Katolik di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki 55-59 siswa. Padahal, siswa belajar di sekolah itu karena tidak mendapatkan sekolah negeri dan berasal dari keluarga tidak mampu. Banyak sekolah swasta yang kondisinya seperti ini, tetapi dicurigai pemerintah seolah sekolah tetap eksis untuk mengejar dana BOS.
”Kondisi ini bukan karena kesalahan pihak sekolah atau manajemen. Pemerintah lebih banyak membuka sekolah negeri di daerah yang sebenarnya sudah ada sekolah swasta. Kalau kebijakan dana BOS seperti sekarang, berarti negara gagal hadir untuk anak Indonesia. Apalagi di masa pandemi, justru butuh dukungan supaya tidak putus sekolah,” kata Doni.
Kompas/Hendra A Setyawan
Sebanyak 17 siswa kelas IV Madrasah Ibtidaiyah (MI) Mathlaul Anwar, Tapos 1, Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, mengikuti kegiatan belajar-mengajar di teras rumah kontrakan milik salah seorang guru, Senin (21/10/2019).
Menurut Romo Darmin dari Majelis Nasional Pendidikan Katolik, kebijakan soal dana BOS yang tidak melihat kondisi tiap sekolah dan daerah ini menjadi lonceng kematian bagi sekolah-sekolah swasta yang serius membantu pemerintah melayani pendidikan bagi anak bangsa, terutama dari kelompok marjinal. Padahal, kebijakan publik harus berkeadilan, tidak memandang sekolah negeri ataupun swasta. Ini karena menyangkut hak dasar anak untuk mendapatkan pendidikan.
Doni mengatakan sekolah swasta kecil dibuat harus ”mengemis” karena harus mendapat rekomendasi dari dinas pendidikan dan disetujui Mendikbudristek untuk mendapat dana BOS sebagai sekolah yang dikecualikan. Padahal, perspektif pemerintah harus adil, apalagi dalam pemenuhan wajib belajar 9 tahun.
”Kehadiran sekolah swasta untuk membantu negara. Harus ada perspektif positif pada sekolah swasta yang terbukti kontribusinya membantu pendidikan di negeri ini. Jangan sampai sekolah swasta dianaktirikan,” kata Doni.
Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek Jumeri mengatakan, aturan soal dana BOS yang dipermasalahkan bukan merupakan hal baru. Sejak tahun 2019, Kemendikbudristek mengatur bahwa sekolah yang selama tiga tahun berturut-turut memiliki jumlah murid kurang dari 60 orang tidak lagi menerima dana BOS reguler.
Dalam Permendikbud Nomor 3 Tahun 2019 tentang Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler, Lampiran Bab III, Huruf A, Angka 2, Huruf k, diatur bahwa ”pemerintah daerah dan masyarakat penyelenggara pendidikan, sesuai dengan kewenangannya harus memastikan penggabungan sekolah yang selama 3 (tiga) tahun berturut-turut memiliki peserta didik kurang dari 60 (enam puluh) peserta didik dengan sekolah sederajat terdekat, kecuali sekolah yang dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam huruf i. Sampai dengan dilaksanakannya penggabungan, maka Sekolah tersebut tidak dapat menerima dana BOS Reguler”.
Menurut Jumeri, permendikbud tersebut dimaksudkan agar pemerintah daerah dan masyarakat penyelenggara pendidikan melakukan penggabungan sekolah-sekolah yang jumlah peserta didiknya terlalu sedikit. ”Jumlah peserta didik yang rendah merupakan penanda bahwa para orangtua menganggap kualitas layanan dari sekolah-sekolah tersebut tidak sesuai harapan,” katanya.
Kondisi tersebut, lanjut Jumeri, juga menyebabkan inefisiensi dalam pengalokasian sumber daya, termasuk dalam hal ini guru dan tenaga kependidikan. Dengan penggabungan sekolah, tata laksana akan lebih efisien dan secara mutu dapat lebih ditingkatkan. Jika BOS terus diberikan kepada sekolah-sekolah dengan kualitas layanan tidak sesuai harapan, hal itu akan menyebabkan pemborosan anggaran negara. Kemendikbudristek perlu melakukan pembatasan untuk memastikan masyarakat terus menerima layanan pendidikan yang berkualitas.
”Bagi sekolah-sekolah yang dapat membuktikan bahwa rendahnya jumlah peserta didik bukan karena mutu, melainkan karena hal lain, seperti kondisi daerah, sesuai aturan, pemerintah daerah setempat dapat segera mengajukan pengecualian kepada Kemendikbudristek,” papar Jumeri.
Jumeri mengatakan, pada tahun 2021 peraturan ini belum berdampak. Semua sekolah, termasuk sekolah dengan jumlah peserta didik di bawah 60 siswa, masih menerima BOS. Aturan ini dimulai sejak tahun 2019 dan semua daerah diberikan kesempatan tiga tahun untuk melakukan penataan.
”Kemendikbudristek sedang mengkaji kesiapan penerapan kebijakan di atas untuk tahun 2022 dan senantiasa selalu menerima masukan dari berbagai pihak,” ujar Jumeri.