Keseimbangan antara Konservasi dan Pariwisata di Pulau Komodo
Pulau Komodo dan Pulau Padar menjadi magnet destinasi wisata superprioritas Labuan Bajo. Kenaikan tarif kunjungan ke kedua pulau ini bisa memicu turunnya kunjungan wisatawan dan berdampak pada pergerakan ekonomi.
Oleh
MB Dewi Pancawati
·6 menit baca
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Wisatawan lokal mengunjungi komodo di Pulau Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Mereka berfoto dan berswafoto di dekat binatang itu dengan bantuan pawang. Foto status FB Komodo Dragon.
Rencana pemerintah memberlakukan biaya konservasi bagi wisatawan yang akan berkunjung ke Pulau Komodo dan Pulau Padar pada Agustus mendatang masih menjadi polemik. Diperlukan solusi terbaik agar dunia pariwisata tetap tumbuh dan konservasi tetap berjalan dengan baik.
Menyusul Candi Borobudur yang sempat ramai dengan wacana menaikkan biaya kunjungan sebesar Rp 750.000 bagi wisatawan Nusantara (wisnus), Pulau Komodo juga akan menaikkan tarif kunjungan.
Nilainya cukup fantastis, yaitu menjadi Rp 3,75 juta per orang per tahun, termasuk biaya tiket masuk, atau secara kolektif sebesar Rp 15 juta untuk empat orang. Angka tersebut naik 14 kali lipat dari tarif tiket masuk wisnus yang berlaku saat ini sebesar Rp 265.000 per orang per hari atau per kunjungan.
Kenaikan biaya tersebut hanya dikenakan kepada wisatawan, baik wisnus maupun wisatawan mancanegara (wisman), yang akan berkunjung ke Pulau Komodo dan Pulau Padar. Dua pulau itu bagian dari Taman Nasional (TN) Komodo yang menjadi magnet utama wisatawan datang ke Labuan Bajo.
Gaung kedua destinasi wisata tersebut semakin santer setelah pemerintah menetapkan Labuan Bajo sebagai salah satu dari 10 destinasi wisata unggulan pada tahun 2016 dan kemudian menjadi satu dari lima destinasi wisata superprioritas atau superpremium pada tahun 2018.
Dampaknya, tren kunjungan wisatawan ke ujung narat Pulau Flores tersebut terus meningkat sejak tahun 2015. Salah satu indikatornya adalah meningkatnya jumlah penumpang pesawat, baik yang datang maupun berangkat, dan pergerakan lalu lintas pesawat di Bandara Komodo, Labuan Bajo, yang mencapai puncaknya tahun 2019 sebelum pandemi Covid-19 melanda.
Merujuk laporan Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Komodo, jumlah penumpang pesawat meningkat 169 persen dari 264.440 orang pada tahun 2015 menjadi 711.965 orang pada tahun 2019.
Pergerakan pesawat juga meningkat 78 persen untuk melayani melonjaknya kunjungan ke Labuan Bajo, yakni dari 6.097 pergerakan lalu lintas pesawat pada 2015 menjadi 10.872 pergerakan pesawat pada2019.
Predikat sebagai destinasi wisata superprioritas membuat Labuan Bajo ditata kembali, terutama terkait infrastruktur, seperti jalan dan jalur pedestrian menuju tempat wisata, termasuk revitalisasi Bandara Komodo.
Bahkan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada tahun 2020 telah mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur untuk pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo sebesar Rp 1,3 triliun atau lebih besar daripada tahun 2019 sebesar Rp 83,2 miliar.
Segmentasi premium membuat Labuan Bajo menjadi destinasi bagi wisatawan kelas menengah atas. Promosi yang digaungkan berhasil menarik wisatawan domestik dan mancanegara melirik Labuan Bajo menjadi ”Bali Baru”.
KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Wisatawan menikmati panorama alam dari puncak Pulau Padar, Kabupaten Manggarai Barat, NTT, pada Jumat (24/6/2022). Pulau Padar berada dalam wilayah Tanam Nasional Komodo.
Tak dapat dimungkiri, keberadaan biawak raksasa komodo (Varanus komodoensis) yang habitatnya hanya ada di beberapa pulau di TN Komodo, serta keindahan bentang alam dari puncak Pulau Padar-lah, yang menjadikan orang beramai-ramai datang ke Labuan Bajo.
Salah satu motivasinya adalah ingin melihat lebih dekat dan berswafoto dengan komodo. Selain itu, menyaksikan pesona panorama dari atas Pulau Padar, yaitu laut biru dan pulau-pulau di sekitarnya yang menghipnotis wisatawan.
Bahkan, pulau terbesar ketiga di TN Komodo seluas 1.409 hektar dari keseluruhan luas daratan 58.152 hektar di dalam taman nasional tersebut sering disebut surga tersembunyi NTT. Meski harus meniti 815 anak tangga, hal itu tak menyurutkan semangat ratusan wisatawan setiap harinya menuju ke sana.
Kenaikan tarif kunjungan ke Pulau Komodo dan Pulau Padar dinilai terlalu tinggi dan berdampak pada berkurangnya kunjungan wisatawan,
Sebagai destinasi utama yang menjadi daya tarik wisata Labuan Bajo, wacana kenaikan tarif kunjungan ke kedua pulau tersebut yang dinilai terlalu tinggi tentu berdampak pada berkurangnya kunjungan wisatawan,
Hal ini juga berimbas pada para pelaku pariwisata di Labuan Bajo, seperti agen wisata, hotel, rumah makan, dan jasa transportasi. Wisatawan akan berpikir dua kali untuk datang ke Labuan Bajo, mengingat harga tiket pesawat juga mahal. Padahal, pariwisata di Labuan Bajo baru mulai bangkit setelah ”tidur” akibat pandemi.
Bandara Komodo mulai ramai lagi dan dipenuhi penumpang pesawat terbang. Sejak November 2021, jumlah penumpang per hari hampir mendekati jumlah penumpang tahun 2019 sebelum pandemi Covid-19, yaitu berkisar 900-1.000 orang per hari.
Setelah kondisi pandemi membaik, momen liburan sekolah pada bulan Juni-Juli 2022 dimanfaatkan masyarakat dari berbagai penjuru daerah, baik bersama keluarga maupun komunitas, berlibur ke Labuan Bajo.
Hal itulah yang menjadi salah satu alasan penolakan kebijakan pemerintah menaikkan tarif kunjungan ke Pulau Komodo dan Pulau Padar. Sangat disayangkan jika mahalnya tarif masuk menjadikan Pulau Komodo dan Pulau Padar destinasi wisata eksklusif bagi orang-orang yang mampu membayar.
Memang hal itu sejalan dengan segmentasi wisata premium yang ingin menjaring lebih banyak wisatawan mancanegara yang mendatangkan devisa. Namun, tak dapat dimungkiri, jumlah wisatawan domestik masih mendominasi dengan perbandingan 65:35.
Sebagai situs warisan dunia UNESCO, sebanyak 1.728 komodo di Pulau Komodo memang perlu dijaga kelestariannya agar tidak punah. Sekitar 3.303 populasi komodo di lima pulau yang ada saat ini memerlukan keberlangsungan habitatnya.
Semakin banyak orang datang ke Pulau Komodo, ancaman kerusakan ekosistem semakin nyata. Tahun 2019, tercatat 221.703 wisatawan mengunjungi Pulau Komodo.
Hasil kajian Daya Dukung Daya Tampung Taman Nasional Komodo (DDDTTNK) yang dilakukan oleh sejumlah tim ahli menunjukkan, peningkatan aktivitas wisata di TNK sejak tahun 2010 mengakibatkan hilangnya nilai jasa ekosistem. Jika kunjungan tidak dibatasi dan melebihi kapasitas yang ditentukan, nilai jasa ekosistem yang hilang bisa mencapai Rp 11 triliun.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Kawasan Pelabuhan Labuan Bajo. Dari pelabuhan ini, wisatawan melakukan perjalanan menuju pulau-pulau di dalam kawasan TN Komodo.
Angka Rp 3,75 juta merupakan biaya konservasi yang ditetapkan sebagai kompensasi atas hilangnya nilai jasa ekosistem taman nasional itu yang didapat dari hasil kajian yang telah dilakukan sejumlah tim ahli dari berbagai perguruan tinggi Indonesia di TN Komodo.
Diperoleh hasil, biaya konservasi yang harus dibayarkan ada di rentang Rp 2,9 juta hingga Rp 5,8 juta dengan pembatasan kunjungan berkisar 219.000-292.000 kunjungan. Oleh karena itu, kuota kunjungan akan dibatasi menjadi 200.000 kunjungan per tahun.
Biaya tersebut akan digunakan untuk sejumlah kegiatan konservasi yang mencakup pemulihan habitat komodo, penanaman terumbu karang, pengelolaan sampah, pemberdayaan masyarakat lokal, hingga optimalisasi pengawasan.
Masalah pemberdayaan masyarakat lokal menjadi salah satu hal yang disoroti pegiat pariwisata karena tidak dijelaskan secara detail. Tampaknya hal ini masih membutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah. Apalagi jika akan mendorong destinasi wisata di Labuan Bajo menjadi destinasi pariwisata berkelanjuta, yang membutuhkan pelibatan dan kemajuan masyarakat lokal.
Kondisi itu sangat ironis karena wilayah tersebut terkenal memiliki lokasi wisata dengan daya tarik luar biasa. Rendahnya kontribusi wisata bagi kabupaten mengindikasikan pariwisata di daerah bersangkutan belum mampu menggerakkan ekonomi yang lebih luas.
Hal ini perlu menjadi pertimbangan pemerintah untuk mencari solusi terbaik. Konservasi sangat penting, tetapi sosialisasi dan transparansi kebijakan yang akan diterapkan juga penting untuk diketahui secara jelas oleh semua pihak yang berkepentingan.
Mencari keseimbangan antara tuntutan menjaga konservasi di satu sisi dan tetap menjaga pertumbuhan pariwisata menjadi solusi terbaik bagi Pulau Komodo. Dengan demikian, diharapkan multiflier effect dari destinasi wisata superprioritas akan menggerakkan ekonomi lebih luas. Di sisi lain, konservasi tetap berjalan dengan baik. (LITBANG KOMPAS)