Kaltim, di Antara IKN dan Tantangan Transisi Energi
Kehadiran IKN yang diproyeksikan menggunakan energi ramah lingkungan tak serta-merta memudahkan Kaltim keluar dari ketergantungan terhadap energi fosil. Banyak tantangan perlu dijawab dan tak lepas dari kebijakan pusat.
Kalimantan Timur dihadapkan pada sejumlah tantangan dalam transisi energi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan. Kehadiran Ibu Kota Nusantara yang diproyeksikan menggunakan kendaraan listrik pun tak serta-merta memudahkan Kaltim keluar dari ketergantungan terhadap energi fosil.
Target Kalimantan Timur dalam bauran energi baru terbarukan atau EBT sebesar 12,39 persen pada 2025. Komposisi itu ditargetkan terus meningkat hingga 2050 menjadi 28,72 persen. Target tersebut tertuang dalam Peraturan Daerah Kaltim Nomor 8 Tahun 2019 tentang Rencana Umum Energi Daerah 2019–2050.
Pada semester pertama 2023, bauran EBT Kaltim sekitar 10 persen. Artinya, Kaltim perlu menggenjot 2,3 persen penggunaan EBT di sejumlah kabupaten dan kota untuk mencapai target. Kendati demikian, sejumlah tantangan masih membayangi Kaltim untuk mencapai target-target itu.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida) Kaltim Fitriansyah mengatakan, sumber energi di Kaltim tentu saja masih didominasi energi fosil, yakni batubara, gas, dan minyak bumi. Karena itu, masih perlu dorongan kuat agar transisi energi ke EBT di Kaltim bisa berjalan dengan baik.
”Tapi, sayangnya EBT di Kaltim baurannya masih mayoritas dari energi surya. Yang lain masih perlu diperjuangkan lagi EBT-nya,” kata Fitriansyah dalam diskusi bertajuk ”Kalimantan Timur Menyambut Transisi Energi”, Senin (25/9/2023), yang disiarkan daring.
Kendati tenaga surya relatif mendukung Kaltim untuk transisi energi, instalasi dan perawatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) masih mahal. Hal itu menjadi salah satu tantangan saat PLTS akan dipasang di daerah yang sulit dijangkau yang juga butuh biaya transportasi lebih.
Fitriansyah mengatakan, saat ini, Brida Kaltim sedang meriset bagaimana PLTS bisa digunakan warga dengan harga yang lebih murah. Dengan demikian, bukan hanya PLTS di tingkat kampung atau perkantoran yang bisa menggunakannya, tetapi juga di tingkat keluarga.
Baca juga : Sulit Bersaing dengan Batubara, Penggunaan Biomassa Jauh dari Target
Penggunaan EBT terbesar kedua setelah tenaga surya, Kaltim menggunakan bioenergi dari sawit. Banyaknya perkebunan dan pengolahan kelapa sawit membuat limbah cair kelapa sawit bisa dimanfaatkan.
Di luar itu, Brida Kaltim telah mengumpulkan data mengenai potensi EBT di provinsi berjuluk ”Bumi Etam” ini. Kaltim, misalnya, punya banyak sungai yang berpotensi menjadi pembangkit listrik tenaga air yang belum dioptimalkan.
Selain itu, ada potensi panas bumi di Kaltim. Namun, setelah diteliti, suhu panas bumi di Kaltim berkisar 50-60 derajat celsius. Angka itu masih jauh dari kebutuhan geotermal dengan minimal sumber panas 300 derajat celsius.
Pembangkit listrik dari angin juga dinilai belum bisa dioptimalkan. Sebab, kata Fitriansyah, kecepatan angin di Kaltim belum memenuhi untuk dijadikan pembangkit listrik. Ada satu potensi lain yang saat ini akan diteliti lebih lanjut, yakni pembangkit listrik tenaga nuklir.
Brida Kaltim akan meriset sumber, iradiasi, dan hal lain mengenai tenaga nuklir. ”Kita akan coba telusuri apakah di Kaltim punya potensi uranium,” katanya.
Uranium adalah salah satu jenis bahan baku yang digunakan sebagai sumber energi tenaga nuklir. Di samping itu, Brida Kaltim juga bakal meriset dampak ekonomi dan sosial yang perlu diantisipasi agar proses transisi energi di Kaltim tidak berdampak buruk pada sektor yang saat ini eksis menggunakan energi fosil.
Pemerintah diminta memperjelas konsepsi transisi energi. Jika transisi energi ini untuk menghindari krisis iklim, kebijakan yang dibuat seharusnya sejalan dengan itu. Lantaran energi untuk kendaraan listrik masih bersumber dari nikel dan batubara, pembukaan hutan akan terus terjadi.
Ibu Kota Nusantara
Di tengah tantangan itu, wilayah Kaltim ditetapkan sebagai Ibu Kota Nusantara (IKN), luasnya sekitar 250.000 hektar di sebagian Penajam Paser Utara dan sebagian Kutai Kartanegara.
Di satu sisi, Kaltim punya peluang dalam menggenjot bauran EBT di wilayahnya. Sebab, IKN mengusung konsep kota ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Di sisi lain, itu menjadi tantangan bagi Kaltim. IKN, misalnya, diproyeksikan bakal mengedepankan kendaraan listrik untuk mengurangi emisi akibat asap kendaraan bermotor. Rencana itu didukung dengan pemberian izin pengolahan atau smelter nikel oleh pemerintah pusat di Kaltim, yakni di Teluk Balikpapan dan Kutai Timur.
Menurut rencana, nikel dari Sulawesi akan diolah di dua tempat itu untuk memenuhi kebutuhan baterai kendaraan listrik di sekitar IKN dan daerah lain di Indonesia. Melihat hal tersebut, dosen Hukum Perubahan Iklim di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Haris Retno Susmiyati, mengatakan, pemerintah mesti meletakkan tujuan yang jelas dalam rencana transisi energi.
Retno mengatakan, kendaraan listrik memang minim polusi. Kendati demikian, sumber energi dari kendaraan listrik berasal dari batubara dan tambang nikel yang juga punya dampak terhadap lingkungan. Pembukaan lahan smelter nikel di Teluk Balikpapan saja, kata Retno, sudah mengurangi tutupan mangrove.
Baca juga : Babat Puluhan Hektar Mangrove Tanpa Izin, Pemerintah Stop Kegiatan Pabrik Nikel di Teluk Balikpapan
Karena itu, Retno meminta pemerintah memperjelas konsepsi transisi energi. Jika transisi energi ini untuk menghindari krisis iklim, kebijakan yang dibuat seharusnya sejalan dengan itu. Lantaran energi untuk kendaraan listrik masih bersumber dari nikel dan batubara, pembukaan hutan akan terus terjadi.
Hal itu berarti tidak sejalan dengan tujuan transisi energi, yakni menghindari dampak krisis iklim dengan mengurangi pembukaan hutan. Selain itu, pembakaran bahan bakar fosil tidak bakal berkurang di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) seiring banyaknya kendaraan listrik yang digunakan.
Retno berpendapat, transisi energi ke EBT mesti dipandang menyeluruh, yakni kebijakan pemerintah pusat. Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT yang saat ini masih dibahas di DPR, misalnya, tercantum sumber energi baru meliputi energi nuklir dan sumber energi lain.
”Ini yang kemudian menjadi perdebatan. Kalau kita ingin energi yang bersih, energi yang hijau, apakah itu bisa diletakkan dengan pilihan energi nuklir?” kata Retno.
Ia mencontohkan, Jepang masih kesulitan membuang sampah nuklir. Hal ini akan menimbulkan dampak lingkungan yang lebih luas. Retno menilai pemerintah perlu meletakkan lagi konsepsi energi yang menjamin keselamatan warga sehingga tidak meninggalkan bencana baru.
Kepala Biro Perencanaan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Chrisnawan Anditya mengatakan, Indonesia sudah membuat peta jalan transisi energi menuju net zero emission pada tahun 2060. Pada tahun 2060, ditargetkan kapasitas pembangkit listrik dari EBT terpasang sekitar 708 gigawatt.
Untuk tahun 2025, ditargetkan penurunan emisi 231,2 juta ton setara karbon dioksida. Upaya itu dilakukan dengan memasifkan pengembangan EBT, pemanfaatan PLTS atap, percepatan penggunaan sampah sebagai sumber energi, dan co-firing untuk PLTU.
Co-firing merupakan teknik substitusi PLTU batubara dengan bahan biomassa pada rasio tertentu. Sumber biomassa berasal dari cangkang kelapa sawit yang biasanya menjadi limbah hingga sampah. Dengan begitu, diharapkan penggunaan energi fosil bisa berkurang.
Untuk pemerataan sumber daya EBT, pemerintah juga sedang menyiapkan jaringan listrik pintar. Ini untuk mengoptimalkan kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Hal ini bisa membantu mengalirkan listrik EBT dari sebuah wilayah yang kaya EBT ke daerah yang minim EBT.
”Diperlukan modernisasi jaringan yang smart dan terintegrasi secara nasional untuk membangun infrastruktur transisi dalam negeri yang tangguh dan andal,” kata Chrisnawan.
Sejumlah tantangan itu perlu dijawab bersama agar transisi energi bukan jargon semata. Kaltim hanya bagian kecil dari Indonesia. Untuk mencapai transisi energi yang minim dampak, diperlukan kebijakan strategis dan jelas dari pemerintah pusat hingga daerah.