Sulit Bersaing dengan Batubara, Penggunaan Biomassa Jauh dari Target
Berdasarkan data PLN per April 2023, sudah ada 36 PLTU yang mengimplementasikan co firing dengan konsumsi biomassa mencapai 118.344 ton. Adapun energi hijau yang dihasilkan sebesar 126.233 MWh.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas mencampur cangkang kemiri sebagai sampah biomassa ke batubara yang menjadi sumber energi bagi di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Ropa di Desa Keliwumbu, Kecamatan Mourole, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, Kamis (7/10/2021). PLTU Ropa dengan kapasitas 2x7 megawatt (MW) ini melakukan metode co-firing dengan memanfaatkan biomassa sebesar 5 persen sebagai substitusi atau campuran batubara.
JAKARTA, KOMPAS — Harga biomassa untuk co-firing relatif mahal sehingga tidak mampu bersaing dengan batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap yang disubsidi lewat domestic market obligation atau DMO. Tingkat implementasi co-firing PLTU, per Juli 2023, pun baru mencapai 4,7 persen dari target 10,2 juta ton biomassa pada 2025. Di sisi lain, rancangan peraturan menteri terkait co-firing tengah difinalisasi.
Biomassa ialah sumber energi terbarukan yang dihasilkan dari fotosintesis yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar padat. Sejumlah PLTU milik PLN menerapkan metode co-firing atau pencampuran bahan biomassa, antara lain pelet sampah, pelet kayu, dan cangkang kelapa sawit, dengan batubara.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi per 23 Juli 2023 adalah 484.000 ton biomassa dengan menghasilkan energi hijau sebesar 520 gigawatt jam (GWh). Capaian tersebut masih jauh dibandingkan dengan target 1 juta ton biomassa pada akhir 2023 dan 10,2 juta ton pada 2025.
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Edi Wibowo mengatakan, pihaknya sedang melakukan finalisasi rancangan peraturan menteri (Permen) terkait dengan co-firing. Salah satunya akan tertuang tentang penghitungan harga agar lebih menarik.
”(Permen) sedang difinalisasi. Kami sudah membahasnya, termasuk dengan Kemenko Perekonomian, Kementerian Keuangan, serta berbagai pihak lain. Ada koefisien agar harga biomassa menjadi menarik. Nantinya, diharapkan juga akan ada turunannya, seperti Peraturan Menteri Keuangan,” ujar Edi dalam diskusi terkait co-firing di Nusantara Power Connect 2023 di Jakarta, Selasa (12/9/2023).
Infografik Penggunaan Energi Baru Terbarukan di Sektor Kelistrikan
Edi menambahkan, ketentuan koefisien harga biomassa tersebut nantinya akan dievaluasi setiap tahun mengikuti kondisi global. Misalnya, ada penyesuaian dengan dinamika harga batubara.
EVP Aneka Energi Terbarukan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), Zainal Arifin menuturkan, persoalan harga memang menjadi kendala dalam percepatan implementasi co firing PLTU. Pasalnya, biomassa selalu dibandingkan dengan harga batubara. Sementara batubara untuk PLTU tidak ”real” karena disubsidi dengan adanya DMO, yakni 70 dollar AS per ton.
”Dari hasil analisis, BPP (biaya pokok penyediaan listrik) akan naik 0,25 sen per kwh (kilowatt-jam), ketika harga biomassa lebih tinggi dari batubara. Tentu harga itu akan signifikan dalam parameter perubahan BPP. Ini menjadi tantangan utama karena sangat tergantung dari fluktuasi biomassa yang ada di pasar,” kata Zainal.
Berdasarkan data PLN per April 2023, sudah ada 36 PLTU yang mengimplementasikan co-firing dengan konsumsi biomassa mencapai 118.344 ton. Adapun energi hijau yang dihasilkan sebesar 126.233 megawatt jam (MWh). Sementara pengurangan emisi sebesar 124.077 ton CO2.
Direktur Utama PT Maharaksa Biru Energi Tbk Bobby Gafur Umar (kanan) san Project Directur PT Mentari Biru Energi Widi Pancono (dua dari kiri) tengah mengecek produk wood-chip sebagai campuran batubara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Air Anyir, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Senin (10/7/2023).
Subsidi
Sekretaris Jenderal Masyarakat Konservasi dan Efisiensi Energi Indonesia (Maskeei) Erwin Kasim menuturkan, potensi biomassa di Indonesia sangat melimpah. Namun, posisinya terpencar sehingga terdapat kendala pada aspek pendanaan. Oleh karena itu, perlu dicari solusi agar harga biomassa menarik.
Menurut dia, perlu ada subsidi yang akan diterima oleh para pelaku atau pemasok biomassa di tingkat rakyat. ”Sehingga ada ekonomi sirkular di masyarakat. Meskipun skala kecil, tetapi ekonominya dapat. Ini bisa meningkatkan realisasi dalam target biomassa yang masih rendah,” kata Erwin.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyebut skenario co-firing PLTU maksimal 10 persen menjadi salah satu skenario pemanfaatan energi terbarukan. Itu penting untuk mendapat nilai optimal penurunan emisi gas rumah kaca, sebagaiman target pada tahun 2030.