Saat Suara Kritis Kaum Tak Berdaya Redup di Depan Hukum
Penangkapan dan penahanan koordinator masyarakat adat Pubabu, TTS, NTT, sebagai upaya pembungkaman kaum miskin dan lemah. Niko Manao, koordinator masyarakat adat, didakwa melakukan penganiayaan terhadap ASN.
Niko Manao (43), koordinator masyarakat adat Pubabu Timor Tengah Selatan (TTS), sedang menjalani sidang di Pengadilan Negeri TTS, Senin (5/6/2023), atas dakwaan penganiaan yang dia lakukan terhadap seorang ASN. Penasihat hukum menilai, ada upaya pembungkaman masyarakat kecil dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Kekuasaan berpotensi disalahgunakan. Itu pulalah yang saat ini dirasakan masyarakat adat Pubabe-Besipae, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Mereka menanti tanah adat mereka dikembalikan oleh pemerintah daerah.
Nikodemus Manao (45), koordinator masyarakat adat Pubabu-Besipae, Timor Tengah Selatan, tertunduk lesu di ruang sidang Pengadilan Negeri Timor Tengah Selatan, Senin (5/6/2023). Suaranya lantang saat beberapa waktu lalu berorasi bersama masyarakat adat Pubabu-Besipae menuntut pengembalian tanah adat oleh pemda. Namun, ketika dihadirkan di ruang sidang, Senin, ia terlihat tidak berdaya.
Tubuhnya yang relatif gemuk dengan bobot 68 kilogram sebelum ditangkap berangsur turun menjadi 54 kilogram. Setiap menghadiri sidang di PN Timor Tengah Selatan (TTS), bapak empat anak itu selalu ketakutan.
Ratusan aparat keamanan seakan mengepung gedung pengadilan dengan senjata laras panjang. Sementara belasan orang berada di dalam ruang sidang.
Tatapan aparat keamanan itu sangat tajam ke arah Niko yang duduk sebagai terdakwa. Tatapan itu seolah akan menelan tubuhnya yang semakin kurus dan lesu. Entah, apakah sikap demikian itu merupakan bagian dari prosedur tetap pengamanan atau bukan. Yang pasti, sikap aparat keamanan semacam itu membuat hati Niko menciut.
Baca juga: Koordinator Masyarakat Adat Pubabu-Besipae, NTT, Ditangkap Polisi
Dengan suara perlahan, Niko mempertanyakan kehadiran aparat keamanan itu. Ia mengaku gugup, takut, dan tak bisa berbicara bebas di depan majelis hakim. Perasaan itu dialami Niko setiap mengikuti sidang. Sebab, dalam sidang-sidang lain, aparat keamanan tak sebanyak itu. Soal ini, majelis hakim meyakinkan terdakwa bahwa kehadiran aparat keamanan itu adalah bagian dari prosedur tetap persidangan.
Niko disidangkan dengan dakwaan menganiaya salah satu aparatur sipil negara (ASN) di TTS yang datang menyerahkan surat pengosongan lahan dari pemerintah provinsi. Ia ditangkap pada Februari 2023 oleh Kepolisian Resor TTS. Dalam sidang itu, Senin, Niko hadir untuk mengikuti pembacaan replik penasihat hukum.
Penasihat hukum Niko, Viktor Manbait, menilai dakwaan itu absurd dan tidak mendasar. Ia membantah jika kliennya melakukan kekerasan terhadap ASN. Kliennya hanya melerai keributan di rumah warga.
”Saat kejadian, 15 Oktober 2022, Niko bersama istri baru saja pulang dari hutan mencari buah asam dan kayu bakar. Niko justru berusaha melerai keributan di dalam rumah milik salah satu warga di hutan adat, Pubabu, Desa Linamnutu, TTS,” kata Manbait.
Dalam keributan itu, sejumlah anggota masyarakat adat diduga terlibat dalam penganiayaan terhadap ASN yang membawa surat pengosongan lahan. Akibatnya, ASN tersebut mengalami luka dan bengkak di bagian pelipis. Namun, keterlibatan warga itu tidak masuk dalam berita acara pemeriksaan (BAP) kepolisian. Hanya Niko yang dibuatkan BAP.
Manbait menilai proses hukum terhadap Niko itu bagian dari upaya pembungkaman. Sebab, Niko adalah koordinator masyarakat adat yang selama ini kerap memimpin aksi demonstrasi menuntut pengembalian tanah adat oleh Pemprov NTT. Dengan memasukkan Niko ke penjara, penolakan itu pun berakhir.
Baca juga: Warga Besiape Minta Perlindungan Hukum, Pemprov NTT Persilakan Tempuh Jalur Hukum
Beda perlakuan
Berbeda dengan kasus Niko, kasus penganiayaan dan penggusuran rumah tinggal milik masyarakat adat yang dilakukan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) TTS dan Pemerintah Provinsi NTT, 4 Agustus 2020, tidak kunjung diproses polisi meski sudah dilaporkan warga. Puluhan rumah rata dengan tanah. Perkakas dapur, pakaian, dan perkakas belajar anak sekolah rusak parah.
Dalam rekaman video yang viral, sejumlah perempuan didorong sampai terlempar di atas aspal dan mengalami luka-luka. Mereka mendapatkan kata-kata kasar dari satpol PP dan aparat keamanan. Seolah ada diskriminasi dalam penanganan kasus hukum di Pubabu-Besipae.
Penggusuran tersebut terjadi setelah Pemprov NTT bekerja sama dengan salah satu kelompok masyarakat adat Pubabu, pro-pemda. Pemprov mengukuhkan salah satu tokoh masyarakat tersebut sebagai Ketua Adat Pubabu sekaligus melakukan serah terima lahan seluas hampir 3,872 hektar itu, 22 Agustus 2020.
Pada hari itu, Pemprov NTT memasang sejumlah papan nama, ”tanah ini milik Pemprov NTT”, di atas lahan tersebut. Meski demikian, masyarakat adat Pubabu tetap menetap di atas lahan tersebut.
Setelah penggusuran, pemprov membangun rumah gubuk berukuran 6 meter persegi untuk para korban penggusuran. Niko bersama sekitar 150 warga lain bertahan di rumah gubuk itu.
Pemda juga mengizinkan mereka menggarap sebagian lahan itu untuk pertanian. Rencana awal, mereka dilibatkan mengelola lahan pertanian itu oleh pemda. Pengelolaan kawasan itu oleh pemda, antara lain, demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Namun, kebijakan tersebut berubah. Mungkin karena kelompok Niko Manao ini terus melakukan aksi demonstrasi menolak klaim tanah adat itu oleh pemda. Oktober 2022, warga disuruh mengosongkan lahan tersebut.
Baca juga: Sengketa Lahan di Besipae, Timor Belum Tuntas
Niko awalnya tak mau menghadiri panggilan polisi. Ia beralasan laporan yang disampaikan masyarakat adat sebelumnya tidak ditindaklanjuti polisi.
Meski Niko sudah menjadi terdakwa di PN TTS di Soe, kelompok masyarakat adat Pubabu-Besipae tetap bertahan. Mereka tidak bergeser dari tanah adat itu.
Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah NTT Maks Oder Sombu yang dihubungi mengatakan, dirinya sedang mengikuti Rakornas Karo Hukum dan Kabag Hukum Se-Indonesia di Bandung.
Terkait proses hukum terhadap Niko Manao, menurut dia, itu sudah sesuai prosedur. Yang bersangkutan melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap ASN yang sedang menjalankan tugas di sana. ”Semua pihak harus menghormati proses hukum yang ada,” ujarnya.
Baca juga: Tergusur dari Hutan Adat Besipae, Masyarakat Adat Tinggal di Bawah Pohon
Kasus korupsi
Penangkapan terhadap orang yang kritis dan vokal bukan kali ini saja terjadi di NTT. Ketua Aliansi Masyarakat Antikorupsi NTT Alfred Baun yang gencar menyuarakan kasus korupsi di NTT, salah satunya, kini sedang menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kupang.
Alfred didakwa memeras sejumlah pengusaha di daratan Timor, baik melalui anak buahnya maupun oleh dirinya sendiri.
Terlepas dari kasus hukum di atas, Alfred selama ini sangat vokal menyuarakan kasus korupsi yang diduga melibatkan pemprov, pemkot, dan pemkab. Kasus dugaan korupsi dana pengadaan benih bawang merah senilai Rp 8 miliar di Malaka, misalnya, sangat ia suarakan. Dia juga memiliki data dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat daerah.
Setelah penangkapan dan penetapan Alfred sebagai tersangka dan ia menjalani masa persidangan, tidak satu orang pun bicara soal korupsi di media massa. Sejumlah dugaan kasus korupsi dengan terang benderang dipertontonkan, tetapi didiamkan.
Media daring di NTT yang menyuarakan dugaan penyalahgunaan kekuasaan oleh kepala daerah pun dilaporkan ke polisi dan diproses hukum. Di Kabupaten Malaka, misalnya, tiga media daring dilaporkan ke polisi, Oktober 2020, karena dugaan pencemaran nama baik. Akhir Mei 2023, dua media lagi dilaporkan ke Polda NTT.
Kali ini Wakil Bupati Malaka Lousi Lucky Taolin yang melaporkan dua media daring tersebut, yakni Oke Narasi dan Kabantt.com. Kasus dugaan pencemaran nama baik ini pun sedang ditangani penyidik polda. Pejabat di daerah ini tidak menggunakan hak jawab. Setiap kasus delik pers selalu dilaporkan langsung ke polisi.
Baca juga: Komnas HAM Mengecam Tindakan Represif Pemprov NTT
Pada Oktober 2022, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata saat tatap muka dengan para pejabat pemprov dan pejabat kabupaten/kota di NTT, antara lain, menyebutkan NTT sebagai salah satu provinsi dengan dugaan kasus korupsi tertinggi.
Ia mengingatkan para bupati, wali kota, dan semua pihak yang terlibat dalam mengambil keputusan agar hati-hati. ”Selalu taat pada peraturan yang berlaku. Jangan gunakan kewenangan yang ada untuk melanggar hukum,” pesan Alexander.
Kasus korupsi yang melibatkan pejabat daerah, dalam lima tahun terakhir, tidak pernah terungkap. Entah tidak ada kasus atau ada kasus, tetapi sulit diungkap karena tidak ada laporan masyarakat atau masyarakat takut melapor.
Uskup Kupang Mgr Petrus Turang dalam bincang-bincang dengan para politisi dan pimpinan parpol di Kupang, Sabtu (3/6/2023), antara lain, menyebutkan, kekuasaan itu untuk melayani, bukan untuk memeras dan menindas.
”Hukum tertinggi dalam Kristen, baik Protestan maupun Katolik, adalah cinta kasih. Ini harus dijabarkan. Korupsi yang dilakukan di tengah masyarakat miskin tidak hanya melanggar nilai moral dan agama, tetapi juga melanggar hak asasi orang miskin,” kata Turang.
Baca juga: Kemiskinan di Tengah Ketamakan Pemimpin
Ia menegaskan, orang-orang kecil dan tak berdaya, seperti petani, peternak, tukang, dan nelayan, selalu menjadi korban dari perilaku korupsi. Jelang pemilu, mereka dicari karena suara mereka dibutuhkan. Setelah terpilih, orang-orang kecil itu diabaikan.
”Kita harus refleksikan diri. Sadar diri. Benar-benar menjadi pembawa terang di tengah kegelapan ini. Jangan sampai kehadiran kita justru semakin menambah kegelapan di tengah kegelapan yang ada,” kata Turang.