Warga Besipae Minta Perhatian, Pemprov NTT Persilakan Mereka Tempuh Jalur Hukum
Hak hidup masyarakat Besipae jangan sampai diabaikan. Masyarakat meminta penjelasan pemerintah terkait batas lahan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
SOE, KOMPAS — Klaim kepemilikan lahan seluas 3.780 oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur di Besipae, Kacamataan Amanuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, dinilai mengabaikan hak masyarakat setempat. Proses legalisasi lahan juga dinilai tidak transparan. Pemerintah mempersilakan pihak yang tidak puas menempuh jalur hukum.
Sebelumnya, konflik lahan kembali memanas setelah tim dari Pemprov NTT bersama aparat keamanan membongkar 18 rumah di lokasi tersebut, Sabtu (22/10/2022). Pembongkaran itu diwarnai perlawanan masyarakat. Akibatnya, puluhan orang terpaksa tinggal di tenda darurat dan di bawah pohon. Sebagian adalah anak balita dan warga lanjut usia.
Yerim Fallo, pendamping masyarakat di Besipae, lewat sambungan telepon pada Senin (24/10), menuturkan, di areal yang disengketakan itu, terdapat permukiman penduduk, lahan pertanian, areal penggembalaan sapi, dan pemakaman leluhur warga setempat.
”Turun-temurun mereka di situ, jadi jangan abaikan hak mereka,” ujarnya.
Ia menilai proses pengukuran lahan oleh badan pertanahan, yang terakhir pada tahun 2012, tidak transparan. Masyarakat di dalam areal itu tidak dilibatkan menetapkan batas-batas lahan. Tiba-tiba, kata dia, sudah terbit sertifikat hak guna usaha (HGU) atas nama Pemprov NTT.
”Di mana saja batasnya, itu tidak jelas. Saat tim Pemprov NTT datang, kami minta mereka tunjukkan batas itu, tapi mereka juga tidak tahu. Kami minta duduk bersama dengan masyarakat untuk membicarakan masalah ini. Di dalam lahan ini ada manusia yang tinggal dan mereka punya hak hidup,” katanya.
Atas dasar itu, Pemprov NTT meminta masyarakat mengosongkan areal yang dihuni 37 keluarga itu. Pemprov NTT berencana menjadikan areal itu untuk program peternakan sapi dan penanaman kelor. Pengosongan dengan cara merobohkan rumah penduduk terjadi pada tahun 2020. Pengosongan pertama kali itu diwarnai konflik antara Pemprov NTT dan masyarakat.
Sebagian pindah
Kepala Badan Pengelolaan Aset dan Pendapatan Daerah Provinsi NTT Alex Lumba menuturkan, lahan itu diserahkan tokoh adat setempat kepada Pemprov NTT pada tahun 1982. Tahun 1986, diterbitkan sertifikat HGU atas nama Pemprov NTT. Namun, sertifikat itu hilang dan kembali diterbitkan lagi pada tahun 2012.
Kepada 37 keluarga yang tinggal di sana, lanjut Alex, pada tahun 2022 Pemprov NTT telah menyiapkan rumah bagi mereka di tempat lain. Sebanyak 19 keluarga mau direlokasi dan 18 keluarga memilih bertahan. Mereka yang bertahan ini oleh pemerintah disebut sebagai okupan.
”Mereka ini yang kami tertibkan,” ujarnya.
Bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan penertiban itu, ia mempersilakan melakukan gugatan hukum ke pengadilan. Selama menjadi milik Pemprov NTT, lahan itu akan digunakan untuk program pemberdayaan masyarakat.
Daud Selan, warga Besipae lainnya, menyatakan, pihaknya bukan okupan. Mereka bagian dari pemilik hak ulayat atas lahan itu. Ia malah mempertanyakan penyerahan lahan pada tahun 1982. Lahan tersebut milik komunitas adat sehingga penyerahan harus melibatkan perwakilan dari komunitas tersebut.
Daud dan sejumlah warga bersikeras tetap tinggal di dalam areal tersebut. Mereka menyatakan tidak lagi percaya Pemprov NTT yang dianggap sewenang-wenang mencaplok lahan mereka. Mereka meminta pemerintah pusat turun tangan menyelesaikan masalah tersebut.
”Sebelum Indonesia merdeka, leluhur kami sudah ada di sini. Kakek dan ayah saya lahir di sini. Jangan bilang kami okupan. Kami ini pemilik tanah ini,” ucapnya.