Konflik Lahan di Besipae, Pulau Timor, Belum Tuntas
Rumah warga Besipae dirobohkan Pemprov NTT. Kedua belah pihak saling klaim kepemilikan lahan.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
DOKUMENTASI WARGA
Warga Besipae, Kecamatan Amanuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (22/10/2022) malam, tidur di tenda darurat seusai rumah mereka dirobohkan.
SOE, KOMPAS — Sengketa lahan di Besipae, Kecamatan Amanuban Tengah, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur masih berlanjut. Sengketa terjadi antara masyarakat lokal dan Pemerintah Provinsi NTT. Kedua belah pihak sama-sama mengklaim sebagai pemilik atas lahan seluas 3.780 hektar di daerah itu. Kedua belah pihak perlu duduk bersama untuk mencari jalan keluar terbaik.
Konflik lahan kembali memanas pekan lalu setelah tim dari Pemprov NTT yang didukung aparat keamanan membongkar 18 rumah di lokasi tersebut. Pembongkaran itu diwarnai perlawanan dari masyarakat. Perlawanan serupa pernah terjadi tahun 2020 saat Pemprov NTT melakukan penertiban.
Daud Selan, warga Besipae, lewat sambungan telepon pada Minggu (23/10/2022), menuturkan, puluhan orang kini tinggal di tenda darurat dan di bawah pohon. ”Ada anak balita dan orang tua. Selesai pembongkaran itu terjadi hujan lebat sehingga kami sangat sengsara. Malam dingin sekali,” ujarnya.
Ia mengatakan, mereka tidak akan meninggalkan lahan yang menjadi tumpuan hidup mereka. Mereka mengklaim sebagai pemilik ulayat. Leluhur mereka sudah menempati Besipae jauh sebelum negara ini terbentuk. Selain untuk tinggal, di atas lahan itu mereka berkebun dan menggembalakan sapi.
DOKUMENTASI WARGA
Warga Besipae, Sabtu (22/10/2022) malam, tidur di tenda darurat setelah rumah mereka dirobohkan.
Kepala Badan Pengelolaan Aset dan Pendapatan Daerah Provinsi NTT Alex Lumba mengatakan, pembongkaran itu merupakan bagian dari upaya penertiban aset daerah. Permukiman itu berdiri di atas lahan seluas 3.780 hektar yang menjadi milik Pemprov NTT.
Menurut dia, lahan itu diserahkan oleh masyarakat setempat kepada Pemprov NTT pada tahun 1982 untuk dijadikan area peternakan sapi. Pada tahun 1986, Pemprov NTT secara resmi menjadi pemilik lahan itu, yang ditandai dengan terbitnya sertifikat. Namun, sertifikat itu sempat hilang dan kembali diterbitkan pada tahun 2012.
Selanjutnya, tahun 2020, Pemprov NTT ingin mengelola lahan tersebut untuk peternakan dan penanaman kelor sehingga dilakukan penertiban. Warga di lokasi itu direlokasi. Pemerintah membangun rumah untuk mereka. Sebagian dari warga pindah, tetapi sebagian lagi tetap bertahan.
”Bahkan, sekarang ada yang baru datang. Mereka bukan orang di situ. Mereka punya rumah di tempat lain,” kata Alex, yang menyebut mereka yang menempati lahan itu sebagai okupan. Saat ditanya motivasi mereka yang tinggal di lahan itu, Alex enggan berspekulasi. ”Bisa artikan sendiri,” ujarnya.
Sementara, Daud membantah apabila dianggap sebagai okupan. Ia malah mempertanyakan keabsahan penyerahan lahan tersebut. Menurut dia, lahan itu milik komunitas adat sehingga tidak bisa dibenarkan jika hanya diserahkan oleh oknum tertentu.
Ia juga meminta Pemprov NTT untuk menunjukkan bukti sertifikat dimaksud serta dokumen penyerahan pada tahun 1982. ”Yang serahkan saat itu siapa? Kami tidak percaya lagi pada pemerintah provinsi. Kami ingin pemerintah pusat turun tangan untuk menyelesaikan masalah ini,” ujarnya.
Alex kembali menambahkan, jika okupan tidak puas dengan penertiban itu, mereka bisa menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke pengadilan. Biarlah hukum menjadi jalan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Namun, Thomas Ubantonis (40), tokoh masyarakat di Amanuban Selatan, menyarankan kedua belah pihak duduk bersama mencari jalan keluar. Jalur hukum tidak akan menyelesaikan masalah hingga tuntas. ”Pengadilan boleh memutuskan, tapi persoalan ini mungkin tidak bisa selesai. Ada kearifan lokal, yaitu duduk bersama,” ucapnya.