Koordinator Masyarakat Adat Pubabu-Besipae, NTT, Ditangkap Polisi
Koordinator masyarakat adat Pubabu, Timor Tengah Selatan, NTT, Nikodemus Manao, ditangkap polisi. Dia diduga melakukan penganiayaan kepada aparatur sipil negara NTT yang datang menyerahkan surat pengosongan lahan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·6 menit baca
SOE, KOMPAS — Koordinator masyarakat adat Pubabu-Besipae, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, Niko Manao (45), ditangkap anggota Kepolisian Resor Timor Tengah Selatan. Niko diduga terlibat kasus penganiayaan kepada aparatur sipil negara NTT yang datang menyerahkan surat perintah pengosongan lahan pada Oktober 2022.
Penasihat hukum Niko Manao, Epin Benu di Soe, Jumat (17/2/2023), mengatakan, Niko ditangkap oleh jajaran Polres Timor Tengah Selatan (TTS) pada Senin (13/2) di tenda yang ditempati Niko dan kawan-kawannya yang didirikan di lahan yang bersengketa. Selama ini mereka bertahan di lahan yang disengketakan oleh masyarakat adat dengan Pemerintah Provinsi NTT sejak 2020.
”Hanya Niko yang ditangkap. Dia koordinator kelompok masyarakat adat. Pengakuan istrinya, saat ditangkap ada anggota polisi yang membacakan surat perintah penangkapan, tetapi tiba-tiba ada anggota lain yang memerintahkan borgol segera. Maka, surat penangkapan itu tidak dibacakan atau diserahkan kepada keluarga. Dia langsung diborgol dan dibawa ke Polres,” kata Epin yang juga Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) TTS itu,
Sebelumnya, polisi sudah dua kali melayangkan surat panggilan kepada Niko untuk diambil keterangannya terkait dengan dugaan penganiayaan kepada ASN yang dilakukan pada 17 Oktober 2022 itu. Namun, Niko tidak memenuhi panggilan itu. Ia beralasan, laporan dari para korban penggusuran dan penganiayaan yang dialami warga lebih awal dilayangkan, yakni pada pertengahan Agustus 2021. Pelakunya adalah Satpol PP TTS dan Pemprov NTT, tetapi sampai hari ini laporan itu belum ditindaklanjuti oleh Polres TTS meskipun diterima.
Saat itu beberapa perempuan diinjak, dipukul, bahkan rumah digusur bersama semua perabotan di dalamnya. Akibat penggusuran itu, sekitar 124 warga tinggal di tenda darurat dan rumah gubuk pemberian pemerintah daerah sampai hari ini. Nasib anak-anak untuk belajar secara bebas pun terganggu, bahkan beberapa anak usia sekolah tidak melanjutkan pendidikan.
Selain karena laporan belum ditindaklanjuti polisi, Niko juga merasa tidak melakukan tindak penganiayaan terhadap ASN yang datang pada malam hari, sekitar pukul 22.30 Wita itu. Niko justru berusaha melerai warga yang melakukan penganiayaan terhadap petugas. Saat itu dua ASN datang untuk memberikan surat perintah pengosongan lahan.
Karena beberapa warga yang tinggal di tenda merasa terganggu dengan surat perintah pengosongan rumah dan lahan itu, mereka memukul salah satu dari dua ASNitu. Ia mengalami luka luka robek di pelipis. Orang itu kemudian mengajukan laporan ke polisi.
Pospera menilai, ada kejanggalan dalam pengananan laporan itu. Laporan warga lebih awal dilayangkan, yakni pada Agustus 2021, tetapi tidak ditanggapi. Dalam laporan warga disampaikan ada perempuan dipukul dan diseret sampai terjatuh di aspal saat menghadang alat berat yang masuk. Rumah digusur dan semua perabot rumah dirusak alat berat. Tetapi, laporan pemerintah pada Oktober 2022 cepat ditangani, termasuk pemanggilan Niko.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam kunjungan ke Pubabu-Besipae pascapenggusuran pada 2021 meminta Pemprov NTT menangani kasus ini dengan adil dan damai. Komnas Ham juga meminta pemerintah memperhatikan permukiman warga dan fasilitas pendukung lainnya. Anak-anak sekolah dipastikan tetap mengikuti pendidikan seperti biasa. Tetapi, kasus itu tidak ditangani baik oleh pemerintah daerah.
Lahan seluas hampir 6.000 hektar itu resmi diambil alih Pemprov NTT pada 2021 setelah masyarakat adat itu terpecah menjadi dua kelompok. Salah satunya berpihak kepada Pemprov NTT dan melakukan serah terima lahan ke Pemprov NTT. Adapun Niko dan ratusan warga lain tetap mempertahankan tanah adat itu.
Pascapenangkapan Niko, ratusan masyarakat adat lain masih menetap di Pubabu-Besipae. Sebagian dari mereka menggarap lahan yang saat ini dikuasai Pemprov NTT dan sebagian lagi mengolah sawah di Bena, 7 km dari Pubabu, sebagai penggarap.
Sudah ratusan tahun
Koordinator Masyarakat Adat Lopo Mutis, TTS, Aleta Baun mengatakan, masyarakat adat Pubabu-Besipae lahir, besar, dan hidup di lahan warisan leluhur. Mereka sudah berada di kawasan itu ratusan tahun. ”Mereka tiba-tiba digusur dan diperintahkan keluar dari tanah adat mereka, apakah mereka bukan warga negara Indonesia?” kata Aleta Baun.
Anehnya, setelah digusur tahun 2021, pemerintah daerah membangun rumah berukuran 2 x 3 meter persegi sebanyak 5-6 unit di atas lahan itu. Pemda juga menyiapkan lahan sekitar 80 hektaruntuk warga. ”Mengapa tiba-tiba mereka diperintahkan mengosongkan rumah dan lahan itu. Kalau mereka diusir dari situ, mereka mau ke mana. Kasihan orang kecil ini,” katanya.
Peraih Yap Thiam Hien Award 2016 ini mengusulkan agar Pemprov NTT dan masyarakat adat yang sudah terbagi dua kelompok itu duduk bersama. Pemda harus berlaku adil terhadap kelompok yang pro pemerintah dan yang berseberangan dengan pemerintah. Pemprov juga jangan mudah diadu domba oleh kelompok yang pro pemerintah. Peran pemerintah adalah mengayomi seluruh rakyat.
”Masyarakat adat jangan diadu domba atas nama pembangunan. Masih banyak cara lain yang dilakukan pemerintah untuk kesejahteraan rakyat. Tidak harus mengambil alih lahan masyarakat adat. Masyarakat sudah miskin, susah, dan tak berdaya. Jangan ada kebijakan yang membuat mereka makin terpuruk,” kata peraih Goldman Environment Prize 2013 ini.
Masyarakat sudah miskin, susah, dan tak berdaya. Jangan ada kebijakan yang membuat mereka makin terpuruk.
Kepala Bidang Humas Polda NTT Kombes Aria Sandi mengatakan, tidak ada diskriminasi dari polisi dalam menangani setiap laporan warga, termasuk laporan masyarakat adat Pubabu-Besipae. Semua ada koridor dan aturan hukumnya. Jika ada warga yang kurang puas terhadap perkara yang dilaporkan ke penyidik bisa melaporkan melalui layanan pengaduan di Polda NTT, baik itu Propam maupun Irwasda.
Ia mengatakan, setiap laporan pengaduan oleh masyarakat wajib ditindaklanjuti Polri. ”Berkaitan dengan cepat atau tidaknya penanganan laporan itu, tergantung dari posisi kasus itu,” kata Aria Sandi.
Sebelumnya, Sekretaris Daerah NTT Ben Polo Maing, mengatakan, lahan di Besipae atau Pubabu itu sudah diserahkan masyarakat kepada Pemprov NTT sejak Agustus 2020 untuk dikembangkan. ”Urusan lahan itu sudah selesai setelah tokoh adat menyerahkan kepada Pemprov,” katanya.
Bahkan, Pemprov NTT sudah menanam pakan ternak. terutama memasuki musim hujan 2021/2022, kemudian akan dilanjutkan dengan menanam kelor dan porang. Wilayah itu sangat gersang. Mengolah kawasan itu menjadi lahan pertanian dan peternakan butuh perencanaan yang matang. ”Intinya, kami sudah dan sedang kelola lahan itu bersama masyarakat setempat,” katanya.
Bahkan, menurut Asisten Bidang Ekonomi dan Pembangunan Sekretariat Daerah NTT Marius Ardu Jelamu, kawasan Bersipae atau Pubabu akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi 10-30 tahun ke depan. ”Setiap gagasan besar butuh proses. Jangan dilihat situasi dan kondisi hari ini. Di lokasi itu dikembangkan pertanian dan peternakan, dan akan menjadi destinasi baru, apalagi lokasi itu persis di pinggir jalan nasional,” ujarnya.
Ke depan, di kawasan itu bakal ada pembangunan warung makan, restoran, dan penginapan. Selain itu, juga akan ada kebun pertanian sayur dan buah-buahan yang segar, termasuk peternakan sapi, babi, dan ayam. ”Orang akan datang ke sana untuk berekreasi, berbelanja, sekaligus menginap,” kata Jelamu.