Terdorong oleh keinginan yang egois dan eksesif, pemimpin yang rakus pada kekuasaan, kekayaan, dan uang terlibat dalam parade keserakahan di tengah kemelaratan rakyatnya.
Oleh
SUKIDI
·4 menit baca
Di republik yang mayoritas warganya rentan miskin dan lebih dari 26 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan, ketamakan pemimpin adalah bencana moral terbesar yang memalukan. Terdorong oleh keinginan yang egois dan eksesif, pemimpin yang rakus pada kekuasaan, kekayaan, dan uang terlibat dalam parade keserakahan di tengah kemelaratan rakyatnya.
Retorikanya atas nama negara, tetapi praktiknya untuk keserakahan diri. ”Atas nama negara, aku bisa kaya dan foya-foya,” kritik Usman Hamid, melalui lagu ”Sa Kong Sa”, atas perilaku pemimpin yang berfoya-foya dari uang pajak rakyat, pungutan liar, dan setoran ilegal lainnya (Kompas, 31/3/2023).
Kemiskinan tidak pernah teratasi secara benar dan efektif di tengah ketamakan pemimpin. Bahkan, ratusan triliun rupiah untuk pengentasan rakyat dari kemiskinan tidak pernah mengubah nasib rakyat dari kemelaratan. Alih-alih membebaskan rakyat dari lingkaran kemiskinan, pemimpin berjiwa tamak justru merampok anggaran pengentasan kemiskinan demi keserakahan diri. Akibatnya, dana ratusan triliun rupiah tidak pernah berdaya guna secara maksimal untuk pemberdayaan fakir miskin. Meskipun kaya sumber daya alam, Papua menjadi provinsi termiskin di tangan pemimpin yang rakus. ”Pejabat di Papua foya-foya, rakyatnya tetap miskin,” kritik negarawan Mahfud MD (Kompas, 23/9/2022).
Saatnya peneguhan komitmen nasional pada republik ini diperbarui untuk kebaikan bersama! Satu hal yang pasti adalah republik ini tidak boleh terjatuh kepada dan dikendalikan oleh pemimpin yang tamak. Sebab, ketamakan terbukti menjadi sumber dari berbagai bentuk kejahatan, terutama kejahatan korupsi, yang terjadi di semua lini kehidupan bernegara.
Inilah saatnya kita bersumpah atas nama Tuhan untuk melawan segala bentuk ketamakan. Karena ”ketamakan”, pesan Paus Fransiskus pada 20 September 2013 di Domus Sanctae Marthae, ”adalah sumber dari segala kejahatan”. Ketamakan telah merobek-robek inti republik sebagai perwujudan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Ketamakan menandai satu hal penting: kejahatan memperoleh kemenangan di atas penderitaan rakyat. Kemenangan kejahatan ini mengingatkan pada apa yang diucapkan John F Kennedy tahun 1961 ketika ia merujuk kutipan yang diatributkan kepada filsuf Edmund Burke: ”the only thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing” (Bartlett’s Familiar Quotations, 1968).
Agar ketamakan, sebagai akar dari kejahatan, tidak menjadi pemenang dalam gerak Indonesia ke depan, orang-orang baik perlu terlibat aktif dalam membebaskan fakir miskin dari penjara kemiskinan. Hal ini penting agar, seperti kata Bunda Teresa, ”Ketika seorang miskin meninggal karena kelaparan, itu tidak terjadi karena Tuhan tidak menjaganya. Hal itu terjadi karena baik Anda maupun saya tidak ingin memberi orang itu apa yang dia butuhkan.”
Orang-orang baik terpanggil untuk mewujudkan kebaikan bersama fakir miskin, yang telantar akibat ketamakan pemimpin. Dari Jayapura, Rabu (1/2/2023), Ignatius Kardinal Suharyo berbagi momen keakraban dirinya bersama anak-anak yatim piatu yang menyambut kehadirannya dengan sukacita. Mereka merasakan arti penting kebahagiaan spiritual berkat sentuhan kasih sayang dan belas kasih dari Uskup Agung Jakarta itu. Keberpihakannya untuk dan bersama fakir miskin adalah implikasi moral dari iman kepada Yesus dan ajaran sosial gereja.
Dari Nusa Tenggara Timur (7-8/9/2022) dan Papua (16-19/2/2023), Haedar Nashir bekerja tanpa lelah untuk menghadirkan wajah Islam sebagai agama pencerahan (din al-tanwir) yang membawa misi pemberdayaan fakir miskin melalui amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial.
Di Papua, Muhammadiyah mendirikan perguruan tinggi dan sekolah, pelayanan kesehatan dan sosial bagi warga yang mayoritas Kristen dan Katolik, sebagai sarana memperkukuh integrasi dan harmoni sosial. Guru dan dosen yang beragama Kristen dan Katolik, menurut Haedar, diberikan kesempatan mengajar di Muhammadiyah. Bahkan, lanjutnya, Muhammadiyah mengembangkan program pemberdayaan masyarakat untuk etnik Kokoda di Papua Barat tanpa terhalang oleh perbedaan agama dan etnik. Inilah dakwah kebinekaan Muhammadiyah untuk memberikan rahmat bagi seluruh manusia.
Dari Aceh, Medan, Makassar, Padang, Palu, Bandung, Solo, hingga Jakarta, dua Buddhis, Franky O Widjaja dan Hong Tjhin, menghadirkan ajaran belas kasih kepada sesama dalam tindakan kemanusiaan (compassion in action) melalui pendirian rumah layak huni dan bantuan kemanusiaan kepada fakir miskin. Ajaran cinta dan belas kasih dalam kemanusiaan ini menjadi misi utama Yayasan Tzu Chi.
Orang-orang baik itu berasal dari agama yang berbeda-beda, tetapi mereka disatukan oleh ikatan cinta, kasih sayang, dan belas kasih kepada sesama. Pelayanan kemanusiaan yang setara dan universal ditujukan agar kita menjiwai kesadaran bergotong royong bahwa, sesuai petuah bijak Sudhamek AWS (2020), kita saling tergantung satu sama lain (interdependent) dan karena itu harus bangkit dan maju secara bersama (co-arising).