Atas nama Tuhan, para pemimpin disumpah untuk menegakkan konstitusi. Namun, hampir 78 tahun kemudian, mereka telah gagal melunasi janji keadilan sosial yang menjadi mandat konstitusi.
Oleh
SUKIDI
·4 menit baca
Hampir 78 tahun silam, para pendiri bangsa menjanjikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Mereka rela menempuh jalan kesederhanaan, penderitaan, dan pengorbanan hidup demi terwujudnya janji keadilan dan kemakmuran di Bumi Pertiwi yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja. Janji itu terekam dalam pembukaan UUD, konstitusi, dan sila ke-5 Pancasila.
Atas nama Tuhan, para pemimpin disumpah untuk menegakkan konstitusi. Namun, hampir 78 tahun kemudian, mereka telah gagal melunasi janji keadilan sosial yang menjadi mandat konstitusi. Alih-alih menegakkan konstitusi, mereka justru mengubah Indonesia menjadi sebuah negara bukan dengan prinsip keadilan sosial untuk semua (social justice for all), melainkan dengan praktik ketidakadilan pada jutaan rakyat fakir miskin di berbagai pelosok Tanah Air.
Melihat Indonesia dari pinggiran, bukan dari pusat melulu, merefleksikan pahit getir kehidupan rakyat kecil yang tak kunjung merasakan indahnya janji keadilan dan kemakmuran yang termaktub dalam konstitusi. Kisah Pariyem, buruh gendong fakir miskin di Beringharjo, Yogyakarta, dan Wagiyem, kuli panggul fakir miskin di Solo dengan upah yang tak manusiawi—seperti disuarakan secara jernih oleh Budiman Tanuredjo dengan jeritan kemanusiaan (”Pengakuan Pariyem”, Kompas, 18 Maret 2023)—menjadi cerminan dari potret sejati kehidupan umum rakyat kecil yang hanya mampu bertahan untuk sekadar hidup. Hampir 78 tahun merdeka, jutaan petani, nelayan, buruh, karyawan, pedagang, dan wong cilik lainnya tidak menikmati janji kemerdekaan dari kemiskinan di tengah lautan pamer kemewahan dan ketamakan pemimpin.
Sejak hari ini dan ke depan, republik yang compang-camping ini hanya dapat berdiri tegak dan maju di tangan pemimpin yang sungguh-sungguh mampu mewujudkan keadilan sosial untuk seluruh rakyat fakir miskin. Itulah pemimpin wong cilik yang otentik, yang memprioritaskan keadilan dan kesejahteraan rakyat fakir miskin sebagai standar tertinggi dalam pelayanan publik. Kepuasan dalam pelayanan publik ditentukan semata-mata oleh pemenuhan janji keadilan dan kesejahteraan rakyat fakir miskin sehingga kaum wong cilik ini dapat menikmati janji keadilan dan kemakmuran yang selama ini terdengar begitu abstrak, jauh dari kehidupan sehari-hari.
Janji keadilan sosial harus dimulai dengan keberanian pemimpin untuk berdiri di barisan terdepan dalam memimpin gerakan antikorupsi yang telah sangat merusak sendi-sendi kehidupan bernegara karena negara yang telah didesain secara brilian oleh para pendirinya dalam bentuk republik modern ini terus bergerak ke arah apa yang Budiman Tanuredjo sebut secara paradoksal sebagai ”republik korupsi” (Kompas, 25 Maret 2023). Inti republik, kata Soekarno (1959) dalam bahasa Latin, adalah ”Res publica! Sekali lagi, res publica,” sementara korupsi justru menggerogoti dan menggerus janji keadilan dan kesejahteraan bersama.
Dalam konteks inilah, pemimpin yang tidak berani memimpin kebijakan antikorupsi, dan malah memperlemahnya melalui instrumen hukum dan kekuasaan, sama saja dengan menjerumuskan Indonesia ke jurang negara yang gagal. Tata kelola republik dengan praktik korupsi yang masif ini jelas-jelas mengkhianati janji keadilan sosial yang diamanahkan oleh ibu dan bapak pendiri bangsa.
Janji keadilan sosial untuk seluruh rakyat fakir miskin hanya mungkin dapat diwujudkan oleh pemimpin yang mampu menyelenggarakan tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance). Dengan keberhasilan dalam memimpin gerakan antikorupsi secara nasional, pemimpin mulai bisa menginvestasikan anggaran negara yang bersih dari korupsi itu untuk investasi sebesar-besarnya pada pengembangan sumber daya manusia (human capital investment) karena sumber daya manusia yang unggul dan kompetitif menjadi kunci utama bagi bangsa Indonesia untuk mengatasi ketertinggalan yang begitu jauh dari negara-negara maju.
Investasi terbaik dalam pengembangan sumber daya manusia terletak pada peningkatan akses rakyat secara merata pada pendidikan gratis yang berkualitas, sejak PAUD/TK sampai perguruan tinggi. Di kantong-kantong kemiskinan, pemimpin justru harus menyediakan centers of excellence, terutama pada pendidikan yang berkualitas, mulai dari segi tenaga pendidik, metode pengajaran, infrastruktur pendidikan, hingga ekosistem pembelajaran. Secara khusus, pemimpin harus mengambil terobosan radikal dengan mendesain ulang kurikulum pendidikan nasional yang lebih memprioritaskan pada science, technology, engineering, art, and mathematics (STEAM).
Dengan kurikulum unggulan ini, komunitas pembelajar diorientasikan sepenuhnya untuk menumbuhkan rasa cinta pada sains, respek pada pemikiran saintifik, dan setia penuh pada metode ilmiah—skeptisisme, fallibilism, debat terbuka, dan pengujian empiris—karena ”hasil terbesar dari menanamkan apresiasi dan respek pada sains adalah agar setiap orang berpikir lebih saintifik”. Inilah fatwa terbaik profesor psikologi di Harvard, Steven Pinker, dalam Enlightenment Now: The Case for Reason, Science, Humanism, and Progress (2018)—buku favorit Bill Gates sepanjang masa. Pemimpin harus dengar dan patuhi ”fatwa” ini demi kemajuan Republik Indonesia.