Komnas HAM Mengecam Tindakan Represif Pemprov Nusa Tenggara Timur
Komnas HAM RI mengecam tindakan represif Satpol PP Pemprov Nusa Tenggara Timur terhadap masyarakat adat Pubabu, Timor Tengah Selatan dan merekomendasikan berbagai langkah dan kewajiban untuk dilaksanakan oleh pemprov.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Komnas Hak Asasi Manusia mengecam tindakan represif Satpol PP Pemprov Nusa Tenggara Timur terhadap masyarakat adat Pubabu, Timor Tengah Selatan. Pemprov NTT seharusnya menjalankan sejumlah rekomendasi Komnas HAM, antara lain menghentikan kegiatan di Pubabu dan mencari jalan keluar mengatasi konflik lahan itu.
Anggota Komnas HAM, Beka Ulung Hapsari, dihubungi di Jakarta, Jumat (16/10/2020), menyesalkan tindakan represif yang diperlihatkan satpol PP terhadap masyarakat adat Pubabu, Rabu (14/10/2020). Lebih buruk lagi, Pemprov NTT dan kelompok suku Nabuasa diduga menggerakkan warga desa tetangga melanjutkan penyerangan dan perusakan tenda darurat masyarakat adat Pubabu.
Rekomendasi minta agar semua pihak termasuk pemprov menahan diri, tidak melakukan aktivitas apa pun di atas lahan sengketa itu. (Beka Ulung Hapsari)
Komnas HAM mengecam tindakan itu, dan sudah menyurati pemprov mempersoalkan atas dasar apa mereka mengelola lahan itu. Dalam surat rekomendasi atas hasil kunjungan Komnas HAM ke lokasi konflik di Pubabu, Kabupaten Timor Tengah Selatan periode 28-30 Agustus 2020, menurut Hapsari, merekomendasikan sejumlah hal kepada Gubernur NTT.
”Rekomendasi minta agar semua pihak termasuk pemprov menahan diri, tidak melakukan aktivitas apa pun di atas lahan sengketa itu,” ujarnya.
Rekomendasi terhadap pemprov sebagai penguasa di daerah itu ialah segera mengambil langkah bijak mengatasi konflik lahan Pubabu. Semua pihak termasuk pemprov lebih mengedepankan dialog dan musyawarah untuk menyelesaikan konflik tanah adat di Pubabu. Pemprov wajib mengendepankan dan memberikan opsi penyelesaian konflik lahan Pubabu berdasar prinsip hak asasi manusia.
Pemprov NTT pun, menurut Hapsari, segera melakukan pengukuran ulang dan pendataan yang partisipatif dengan melibatkan seluruh masyarakat adat Pubabu baik berdampak penggusuran maupun tua-tua adat, tokoh adat, tokoh agama, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) dan BPN. Pelibatan banyak pihak ini harus dilakukan karena terkait dengan batas-batas wilayah pada sertifikat hak pakai Nomor 1 Tahun 2013 yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional Timor Tengah Selatan (TTS).
Pemprov juga menyediakan ruang dialog dengan menetapkan zona damai di wilayah konflik dalam upaya penanganan permasalahan ini dengan memberikan ruang kepada gereja untuk melakukan mediasi. Langkah lain ialah menjamin pemenuhan hak atas kebutuhan dasar masyarakat adat Pubabu yang berdampak penggusuran berupa tempat tinggal sementara yang layak selama upaya penyelesaikan konflik dilakukan.
Paling penting lagi adalah mengembalikan barang-barang milik warga yang diambil oleh tim yang datang dari Pemprov NTT saat penggusuran pada 14 dan 18 Agustus 2020. Menyediakan makanan dan sumber pangan yang layak bagi masyarakat adat.
Menjamin rasa aman
Pemprov pun harus menjamin hak rasa aman masyarakat adat dengan mengedepankan dialog partisipasif bersama seluruh elemen masyarakat dan menghindari penggunaan pendekatan aparat keamanan dalam menyelesaikan konflik lahan. Mengupayakan pemulihan dampak psikologis masyarakat adat Pubabu atas penggusuran.
Hal lain adalah menjamin terpenuhinya pendidikan dan kesehatan masyarakat adat berdasarkan atas azas non-diskriminatif. Pemkab TTS segera menerbitkan ijazah PAUD peserta didik dari masyarakat adat, dan menjamin keberlanjutan usaha pertanian, perkebunan, dan peternakan bagi masyarakat adat.
Rekomendasi kepada Polda NTT ialah agar menggunakan upaya persuasif, menjunjung HAM, dan menghindari penggunaan kekerasan. Mengutamakan pendekatan restorative justice sebagai pilihan utama dalam penyelesaian perselisihan, memberi akses terhadap pendamping hukum, dan hak atas informasi proses penyelidikan dan penyidikan.
”Karena itu, ketika terjadi tindak kekerasan terhadap masyarakat adat Pubabu oleh satpol PP, kemarin, selain menyurati Gubernur NTT, kami juga menyurati Kepala Polda NTT agar memberikan pengamanan kepada masyarakat adat Pubabu, menghindari upaya penyerangan oleh masyarakat sekitar yang disponsori pihak lain terhadap masyarakat adat,” kata Hapsari.
Selain Gubernur dan Kepala Polda, rekomendasi serupa juga ditujukan ke BPN NTT dan masyarakat adat Pubabu. Masyarakat adat diminta untuk menyelesaikan sengketa lahan secara dialog dan musyawarah.
Pelaksana Tugas Kepala Badan Aset dan Pendapatan Daerah NTT Willy Rohimoni mengatakan, bagi pemprov lahan itu sudah sah diserahkan tokoh masyarakat adat kepada pemprov untuk dikelola. Penyerahan secara adat oleh suku Nabuasa yang dipimpin keluarga Frans Nabuasa, Jumat (21/8/2020), itu sudah selesai. Karena itu, usai penyerahan, pemprov langsung memasang plang sebagai tanah milik pemprov di lokasi itu.
Raja Amanuban Selatan Pina Nope mengatakan, tokoh adat yang dikuasai pemprov ialah suku Nabuasa dengan Kepala Suku Frans Nabuasa. Suku Nabuasa ini menyerahkan tanah kepada Pemprov tahun 1982 untuk dikelola pemprov bersama pengusaha Australia untuk membangun peternakan atau ranch sapi selama lima tahun. Mestinya selesai masa kontrak, tanah itu diserahkan ke masyarakat adat, tetapi pemprov jutru melakukan penghijauan sampai menerbitkan sertifikat hak pakai tanpa sepengetahuan masyarakat.
Kedua tokoh, kakak beradik dari suku Nabuasa yang menyerahkan tanah itu, ialah Besi Mio dan Pae Mio. Atas jasa kedua orang ini, pemprov kemudian menyebut kawasan hutan adat Pubabu menjadi Besipae, diambil dari nama depan kedua orang itu. Nama asli hutan itu adalah Pubabu.
Tindakan dari suku Nabuasa tahun 1982 itu dikecam oleh Pina Nope. Dalam dalam struktur adat Amanuban Selatan, Nabuasa berprofesi sebagai pamong praja, bukan raja. Raja sesungguhnya sejak kerajaan Amanuban Selatan, sebelum Belanda tiba sampai masa keperdekaan, adalah suku Nope.
Saat penyerahan tanah tahun 1982 oleh suku Nabuasa, ia tidak berani bertindak karena masa pemerintahan Orde Baru sangat otoriter. ”Saat itu bapak saya dan saya sendiri takut bicara karena pemerintah saat itu lebih mengedepankan kekerasan daripada dialog,” kenang Pina Nope.
Kepala Biro Humas dan Protokol Setda NTT Marius Jelamu mengatakan, pemprov mengelola lahan itu untuk kesejahteraan masyarakat. Pemprov sedang menanam lamtoro, kelor, porang, dan sebagian kawasan untuk peternakan dan destinasi pariwisata. ”Masyarakat setempat dilibatkan mengelola lahan itu,” katanya.