Jawa dalam Sengkarut Tata Ruang dan Alih Fungsi Lahan (4)
Jawa adalah pulau dengan frekuensi tinggi bencana. Selain kondisi alam seperti keberadaan sesar gempa, gunung api aktif, dan cuaca ekstrem, bencana di Jawa juga berkait dengan masalah tata ruang dan alih fungsi lahan.
Oleh
HARIS FIRDAUS, KRISTI DWI UTAMI, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, ABDULLAH FIKRI ASHRI, DEFRI WERDIONO, AMBROSIUS HARTO MANUMOYOSO
·5 menit baca
Jawa adalah pulau dengan begitu banyak bencana. Setiap hari, ancaman beragam jenis bencana mengintai di pulau ini. Mulai dari gempa bumi, tsunami, erupsi gunung berapi, hingga bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor.
Berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), jumlah bencana yang terjadi di Pulau Jawa pada 2022 sebanyak 1.838 kejadian. Jumlah itu mencapai 51,86 persen dari total kejadian bencana di Indonesia tahun lalu yang sebanyak 3.544 kejadian.
Data yang dikumpulkan Litbang Kompas juga menguatkan fakta bahwa Jawa adalah ”lumbung bencana” di Indonesia. Dalam kurun waktu 2012-2022 tercatat ada 17.720 bencana di Jawa dengan jumlah korban jiwa mencapai 21,9 juta orang.
Selain tingginya frekuensi bencana, sejumlah daerah di Jawa tercatat pernah mengalami bencana besar yang merenggut banyak korban jiwa. Pada 21 November 2022, terjadi gempa bumi dengan Magnitudo 5,6 di Kabupaten Cianjur, Jabar.
Berdasar data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cianjur, hingga 15 Desember 2022, jumlah korban jiwa akibat gempa itu mencapai 602 orang, sementara delapan orang masih dalam pencarian. Gempa ini juga mengakibatkan 593 orang luka berat dan 114.683 warga mengungsi.
Pada 4 Desember 2021, Gunung Semeru di Jawa Timur mengalami erupsi yang juga memakan korban jiwa. Data BNPB menyebut, sedikitnya 51 orang meninggal, ratusan orang terluka, dan lebih dari 10.000 orang terdampak akibat erupsi itu.
Dalam kurun waktu 2012-2022, tercatat ada 17.720 kejadian bencana di Jawa dengan jumlah korban jiwa mencapai 21,9 juta orang.
Multifaktor
Peristiwa bencana di Jawa disebabkan oleh sejumlah faktor. Di satu sisi, kondisi alam seperti keberadaan sesar penyebab gempa, gunung api aktif, dan cuaca ekstrem, menjadi faktor yang bisa memicu bencana. Namun, faktor nonalam seperti masalah tata ruang dan alih fungsi lahan juga dapat menjadi penyebab atau memperparah bencana di Jawa.
Relasi antara bencana di Jawa dan tata ruang dan alih fungsi lahan itu diungkapkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam konferensi pers di Semarang, Jateng, pada Januari lalu.
Pengampanye Transisi Urban Berkeadilan Walhi Nasional, Abdul Ghofar, mengatakan, bencana yang melanda Pulau Jawa selama empat tahun terakhir didominasi oleh bencana hidrometeorologi, seperti banjir, hujan ekstrem, dan tanah longsor. Selain karena perubahan iklim, bencana juga disebut Ghofar terjadi karena kesalahan dalam pengurusan tata ruang dan kerusakan lingkungan.
Peristiwa bencana yang berkait dengan kondisi tata ruang terlihat jelas dalam banjir bandang di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, awal Januari 2023. Saat itu, terjadi banjir bandang setinggi lebih dari 2 meter di sekitar Sungai Pengkol.
Dampak banjir paling parah dirasakan warga Perumahan Dinar Indah, Kelurahan Meteseh, Kecamatan Tembalang, karena tanggul sungai di kawasan itu jebol. Sebanyak 40 unit rumah yang ditinggali 147 jiwa terendam air selama lebih kurang 3 jam. Seorang warga yang terjebak di dalam rumah juga meninggal dunia.
Perumahan Dinar Indah, yang berjarak sekitar 5 meter dari sungai, menjadi langganan banjir sejak 2015. Dari segi tata ruang, lokasi Perumahan Dinar Indah dinilai tidak pas untuk perumahan karena berada di cekungan dan sangat dekat dengan sungai. Bahkan, Pemkot Semarang menyebut perumahan itu tak berizin.
Setelah banjir itu, Wali Kota Semarang Hevearita G Rahayu mewacanakan relokasi bagi warga Perumahan Dinar Indah. Pemkot Semarang juga berjanji mengevaluasi perizinan perumahan agar kasus serupa tidak terulang.
Namun, empat bulan berlalu, warga menyebut belum ada info lebih lanjut terkait rencana relokasi. ”Belum ada kabar apapun tentang relokasi. Ini kami masih menunggu, bingung mau bagaimana,” kata Margiyanti (44), warga Perumahan Dinar Indah, Kamis (4/5/2023).
Aspek tata ruang juga menjadi perhatian dalam penanganan korban gempa Cianjur tahun lalu. Asisten Perekonomian dan Pembangunan Sekretariat Daerah Cianjur Budi Rahayu Toyib memaparkan, setelah gempa itu, lebih dari 500 rumah warga harus direlokasi karena berada di zona merah Sesar Cugenang. Zona merah itu mencakup satu desa di Kecamatan Cianjur dan tujuh desa lain di Kecamatan Cugenang.
Proses relokasi dilakukan dalam tiga tahap. Pembangunan tahap pertama untuk 200 rumah telah rampung di Desa Sirnagalih, Kecamatan Cilaku. Pembangunan tahap kedua untuk 151 rumah di Desa Murnisari, Kecamatan Mande. Untuk tahap ketiga, direncanakan dibangun di Desa Batulawang, Kecamatan Cipanas.
”Gempa ini menyadarkan warga Cianjur bahwa tempat tinggal mereka rawan bencana. Sebelumnya, simulasi bencana warga hanya untuk erupsi Gunung Gede. Sekarang kami juga harus mewaspadai Sesar Cugenang,” ujar Budi.
Namun, enam bulan setelah gempa, ratusan penyintas gempa Cianjur masih tinggal di tenda dengan fasilitas terbatas. Mereka berharap segera mendapat bantuan perbaikan rumah dan kepastian relokasi hunian aman sesuai janji pemerintah.
Asep Ismanto (26), Ketua Karangtaruna Kampung Cugenang, Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, mengatakan, lebih dari 100 warga masih tinggal di tenda. ”Soalnya, enggak ada lahan kalau mau bikin rumah. Mau bangun rumah juga enggak ada modal,” ujarnya, Kamis (11/5/2023).
Menurut Asep, hidup di tenda saat ini terasa lebih berat dibandingkan awal gempa. ”Tidak ada lagi dapur umur, posko kesehatan, dan bantuan dari masyarakat. Paling bantuan telur dari pemerintah desa. Selebihnya, kami cari makan masing-masing. Kalau sakit, ke puskesmas sendiri,” ungkapnya.
Alih fungsi
Di Jatim, alih fungsi lahan yang terjadi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas, Kota Batu, juga patut diwaspadai karena bisa menimbulkan bencana. Akibat alih fungsi itu, lahan yang sebelumnya memiliki banyak tegakan pohon berubah menjadi lahan pertanian semusim yang minim tegakan.
Kepala BPBD Kota Batu Agung Sedayu mengakui, alih fungsi lahan itu harus mendapat perhatian. Sebab, hal itu ikut berkontribusi dalam terjadinya sejumlah bencana, misalnya banjir lumpur yang menutup jalur utama Batu-Mojokerto pada 2021 serta badai pasir di Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, pada 2019 dan 2020.
Kepala Pusat Studi Kebumian dan Kebencanaan Universitas Brawijaya, Adi Susilo, mengatakan, alih fungsi lahan bisa memicu terjadinya banjir bandang. Sebab, lahan pertanian terbuka tidak bisa menyerap air hujan sehingga air mengalir menjadi limpasan permukaan.
”Hal itu mesti diwaspadai dan penanganannya jangan dibebankan ke Pemerintah Kota Batu sendiri, tapi juga provinsi dan pusat. Berilah insentif untuk warga di hulu agar tidak bergantung sepenuhnya kepada pertanian yang merusak hutan. Karena rentetan dampaknya itu bisa banjir, longsor, dan mengganggu mata air,” ucapnya.