Kesalahan Penataan Ruang Picu Peningkatan Bencana di Jawa
Kesalahan dalam pengurusan tata ruang menyebabkan bencana di sejumlah wilayah di Pulau Jawa. Revisi rencana tata ruang diharapkan bisa mengubah kondisi, dengan catatan dipatuhi oleh pemerintah dan masyarakat.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·6 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Ilustrasi. Warga mengevakuasi kerabatnya yang berusia lanjut untuk diungsikan dari rumahnya yang terkena banjir di Tanah Mas, Kota Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (31/12/2022).
SEMARANG, KOMPAS — Pulau Jawa menjadi penyumbang terbesar bencana nasional dalam beberapa tahun terakhir. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai, kesalahan dalam pengurusan tata ruang menjadi faktor pemicunya. Pemerintah didorong untuk melihat persoalan tersebut secara lebih serius serta melakukan evaluasi perencanaan dan penataan ruang berwawasan lingkungan dengan memastikan keselamatan rakyat.
Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), bencana di Indonesia, khususnya di Jawa, terus meningkat, setidaknya dalam empat tahun terakhir. Pada tahun 2019, ada 2.351 bencana yang terjadi di sejumlah daerah di Jawa. Angka itu menyumbang sekitar 61,6 persen dari total bencana yang terjadi di Indonesia.
Jumlah bencana pada tahun-tahun berikutnya tercatat terus meningkat, yakni 2.368 bencana pada tahun 2020 dan 2.511 bencana pada 2021. Lagi-lagi, angka bencana di Pulau Jawa menjadi penyumbang terbesar pada keseluruhan bencana yang terjadi.
Pada 2022, jumlah bencana alam di Jawa tercatat menurun, menjadi 1.839 bencana. Kendati demikian, angka itu menyumbang 51,8 persen bencana nasional. Artinya, lebih dari separuh dari bencana di Indonesia terjadi di Jawa.
”Ada tiga provinsi dari Pulau Jawa yang selama empat tahun terakhir selalu menempati posisi tiga besar sebagai penyumbang bencana terbanyak. Tiga provinsi itu, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur,” kata pengampanye Transisi Urban Berkeadilan Walhi Nasional, Abdul Ghofar, dalam konferensi pers di Semarang, Jateng, Senin (23/1/2023).
DOK WALHI
Suasana konferensi pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia di Kota Semarang, Jawa Tengah, Senin (23/1/2023). Dalam acara tersebut, Walhi menyoroti soal kesalahan dalam pengurusan tata ruang yang memicu bencana di Pulau Jawa.
Menurut Ghofar, bencana yang melanda Pulau Jawa selama empat tahun terakhir didominasi oleh bencana hidrometeorologi, seperti banjir, curah hujan ekstrem, dan tanah longsor. Selain karena perubahan iklim, bencana juga disebut Ghofar terjadi karena kesalahan dalam pengurusan tata ruang dan kerusakan lingkungan.
Masifnya pembangunan infrastruktur di kawasan penyangga tidak hanya memicu bencana, tetapi juga menurunkan kuantitas dan kualitas sumber air baku warga. Walhi Jabar mencatat ada lebih dari satu juta warga Kota Bandung yang belum terlayani air baku dari pemerintah. (Haerdudin Inas)
Di Jabar, hilangnya area tangkapan air dan resapan air meningkatkan kerentanan terhadap bencana banjir dan tanah longsor. Hilangnya area tangkapan dan resapan air itu disebut Manajer Divisi Pendidikan dan Kaderisasi Walhi Jabar Haerudin Inas terjadi karena adanya alih fungsi lahan di kawasan hulu di Bandung yang semula lahan pertanian menjadi peruntukan lain, seperti perumahan.
”Masifnya pembangunan infrastruktur di kawasan penyangga tidak hanya memicu bencana, tetapi juga menurunkan kuantitas dan kualitas sumber air baku warga. Walhi Jabar mencatat ada lebih dari satu juta warga Kota Bandung yang belum terlayani air baku dari pemerintah,” ucap Haerudin.
Direktur Walhi Jatim Wahyu Eka menilai, penataan ruang di wilayah hulu daerah aliran sungai Brantas di Kota Batu benar-benar kacau. Kawasan lindung itu telah beralih menjadi hotel, wisata buatan, dan peruntukan lain. Akibatnya, sejumlah wilayah di kawasan hilir, seperti Kota Malang, Pasuruan, hingga Surabaya terancam bencana banjir.
”Pembangunan di sempadan sungai, alih fungsi kawasan, hingga minimnya ruang terbuka hijau, semakin membuat kondisi Kota Malang rentan. Sementara itu, di Surabaya perluasan area perumahan hingga ke kawasan pinggir, seperti Surabaya barat dan timur, menyebabkan area resapan air hilang. Kondisi itu masih ditambah dengan alih fungsi waduk dan hutan mangrove,” ujar Wahyu.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Ilustrasi. Warga antre mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT) minyak goreng saat banjir rob di halaman Markas Koramil 0830/01 Krembangan, Kota Surabaya, Jawa Timur, kamis (19/5/2022).
Sementara itu, Jateng juga disebut salah dalam pengurusan tata ruang, baik di wilayah hulu maupun hilir. Salah satu akibatnya, 15 kabupaten/kota, khususnya di wilayah pesisir pantai utara Jateng, dilanda banjir pada akhir 2022 hingga awal 2023.
Banjir di kawasan pesisir utara Jateng terus berulang. Sayangnya, pemerintah disebut Direktur Eksekutif Walhi Jateng Fahmi Bastian, selalu memberikan solusi dengan cara pembangunan infrastruktur. Padahal, belum tentu pembangunan infrastruktur tersebut mampu mengatasi masalah kebencanaan tersebut, khususnya mengatasi dalam jangka panjang.
”Seharusnya kita bicara tentang bagaimana persoalan pokoknya dulu. Persoalan pokoknya bagaimana peruntukan ruang yang bermasalah ini diubah dalam konteks peraturan daerah atau peraturan tata ruangnya. Daerah tangkapan air harus ada, kawasan hijaunya minimal 30 persen, dan harus dipastikan juga manajemen wilayah pesisirnya,” tutur Fahmi.
Pada tahun 2023-2024, sejumlah kabupaten/kota dan provinsi di Pulau Jawa akan merevisi rencana tata ruang dan wilayah. Walhi melihat hal itu sebagai momentum yang baik untuk mengubah keadaan. Walhi berharap, revisi itu tidak ditunggangi oleh kepentingan pihak-pihak yang berpotensi membuat kondisi lingkungan semakin parah dan merugikan masyarakat.
Ilustrasi. Warga menjemur dokumen penting di depan rumah mereka di kompleks Perumahan Dinar Indah, Kelurahan Meteseh, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (8/1/2023).
”Revisi harus melibatkan masyarakat terdampak. Selain itu, harus ada kewajiban menyesuaikan ruang di mana kawasan lindung tidak boleh berubah fungsi dan kawasan rawan bencana tidak boleh diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur berskala besar,” kata Ghofar.
Semarang
Beberapa waktu lalu, sejumlah akademisi di Jateng juga menyoroti persoalan tata ruang yang menyebabkan banjir di Kota Semarang. Ketua Harian Dewan Pertimbangan Pembangunan Kota Semarang Sudharto P Hadi mengatakan, perlu segera ada pengendalian tata ruang untuk mencegah banjir di Semarang terus berulang. Seiring dengan hal tersebut, pemetaan kembali tata ruang juga mendesak dilakukan sebagai referensi dalam revisi tata ruang ke depannya.
”Dari pemetaan itu nanti bisa diketahui, berapa ruang terbuka yang dibutuhkan, berapa yang boleh dibangun, kemudian pengendalian yang perlu dilakukan seperti apa,” ujar Sudharto.
Guru Besar Teknik Sipil Universitas Diponegoro Suripin menyebut, pada 1995, kawasan hutan di Semarang atas sebanyak 65 persen. Seiring berjalannya waktu, pembangunan di kawasan Semarang atas terus bertambah hingga dinilai melebihi kapasitas. Kondisi itu membuat kawasan hutan yang ada saat ini tinggal separuh dari kawasan hutan pada 28 tahun silam.
”Pengembang harus dikontrol dan harus dilakukan analisis hidrologi. Kalau tidak dilakukan, maka tak boleh melakukan pengembangan di Semarang atas,” ucap Suripin.
Ilustrasi. Iklan rumah bersubsidi yang saat ini banyak menawarkan hunian di wilayah Semarang atas di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (17/1/2023).
Kondisi tata ruang yang buruk menyebabkan banjir di kawasan Semarang atas pada awal 2023. Puluhan rumah yang dibangun dengan jarak kurang dari 5 meter dari sungai di wilayah Kecamatan Tembalang terendam banjir dengan ketinggian mencapai 3 meter. Berdasarkan aturan tata ruang wilayah, pembangunan perumahan tidak boleh dilakukan di daerah yang berada sedekat itu dengan sungai.
Perumahan-perumahan itu kami segel dan kami minta pengembangnya untuk melakukan klarifikasi. Sebelum bisa menunjukkan dokumen perizinan secara lengkap, akan tetap kami segel dan tidak boleh melanjutkan pembangunan. (Fajar Purwoto)
Pemerintah Kota Semarang mengaku kocolongan dengan adanya pembangunan perumahan di kawasan yang bukan diperuntukkan bagi perumahan. Pembangunan perumahan itu, menurut Pelaksana Tugas Wali Kota Semarang Hevearita G Rahayu, tanpa izin. Hevearita belum bisa memastikan jumlah perumahan yang dibangun tanpa izin di wilayahnya. Namun, ia menemukan beberapa perumahan tak berizin di Kecamatan Mijen, Gunungpati, dan Tembalang.
Seiring temuan itu, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Semarang menggencarkan penyisiran perumahan-perumahan yang terindikasi tak berizin, terutama di kawasan-kawasan yang tidak diperuntukkan sebagai perumahan. Dari hasil penyisiran tersebut ditemukan adanya empat perumahan yang perizinannya belum lengkap, tetapi sudah mulai dibangun.
”Perumahan-perumahan itu kami segel dan kami minta pengembangnya untuk melakukan klarifikasi. Sebelum bisa menunjukkan dokumen perizinan secara lengkap, akan tetap kami segel dan tidak boleh melanjutkan pembangunan,” ujar Kepala Satpol PP Kota Semarang Fajar Purwoto.
Selain menemukan perumahan tak berizin atau di tempat yang tak semestinya, satpol PP juga menemukan adanya sejumlah saluran air yang tertutup oleh bangunan. Saluran air yang ditutup secara sengaja itu disebut Fajar berada di wilayah Semarang bawah dan atas.
Menurut Fajar, pihaknya akan segera membongkar saluran air yang ditutup tersebut sehingga tidak mengganggu aliran air dan tidak memicu banjir.