Penderitaan Ganda Penyintas Gempa Cianjur
Setelah hunian hancur karena gempa Cianjur, kini tenda para penyintas terdampak banjir. Mereka khawatir penderitaan itu akan terus berulang selama masih tinggal di tenda. Kehadiran hunian tetap sangat dinantikan.
Sejumlah penyintas gempa Cianjur, Jawa Barat, mengalami penderitaan ganda. Setelah hunian mereka hancur karena gempa, tenda sebagai tempat berteduh dalam empat bulan terakhir diterjang banjir. Mereka sangat membutuhkan hunian tetap demi kehidupan yang lebih baik.
Yanti Susanti (43) bergegas menuju sudut tenda miliknya di pengungsian Kampung Gununglanjung, Desa Cijedil, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, setelah banjir surut, Selasa (21/3/2023) pagi. Di sana, ia menyimpan beberapa barang berharga, termasuk akta kelahiran cucunya, Ian (3).
Saat menemukan tas hitam berisi akta tersebut, Yanti menghela napas panjang. Tasnya sudah basah karena terendam banjir setinggi dua meter. Kertas akta pun koyak ketika ia berusaha menariknya keluar.
Yanti menyesal karena lupa melaminating akta kelahiran yang baru selesai dicetak dua minggu sebelumnya itu. Padahal, ia sudah mengantre dan bolak-balik ke pos dinas kependudukan dan pencatatan sipil di lokasi pengungsian lain untuk mencetaknya. Akta sebelumnya telah terkubur bersama reruntuhan rumah yang porak-poranda akibat gempa bermagnitudo 5,6 pada 21 November 2022.
Tak hanya akta yang terendam banjir pada Senin (20/3/2023) itu. Perlengkapan rumah tangga Yanti, seperti kompor, tabung gas, dan kasur, turut terbenam air. Begitu pula dengan bahan makanan dan pakaian.
”Handeueul pisan. Can ge pulih, tos katimpa musibah deui. Tapi, nya kumaha deui? Selama hirup di tenda mah pasti aya we nu kos kieu. (Saya sangat kecewa. Belum juga pulih, sudah terkena musibah lagi. Namun, mau bagaimana? Selama hidup di tenda, kejadian seperti ini pasti selalu ada),” ucap Yanti.
Baca juga: Tenda Penyintas Gempa CIanjur Diterjang Banjir
Cerita Yanti seperti mewakili nestapa penyintas gempa Cianjur lain yang tendanya juga terdampak banjir. Di Kampung Gununglanjung, misalnya, 33 tenda yang diisi 33 keluarga diterjang banjir. Bahkan, 5 tenda terseret air Sungai Cibalagung yang meluap. Banjir juga merendam pengungsian di Kampung Rawacina, Desa Nagrak, Kecamatan Cianjur .
Sekretaris Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Cianjur Rudi Wibowo mengatakan, banjir menerjang 8 kecamatan di 18 desa. Sedikitnya ada 15 titik pengungsian yang terdampak banjir tersebut. Selain merendam dan menghanyutkan tenda, banjir juga merusak hunian-hunian sementara (huntara) yang baru dibangun.
Rudi menambahkan, banjir di Cianjur itu disebabkan hujan intensitas tinggi yang berlangsung selama dua jam. Akibatnya, sungai dan saluran air meluap. Kebanyakan rumah ataupun tenda yang terdampak banjir itu berdiri di cekungan atau di samping sungai.
”Kami perkirakan 100 pengungsi terdampak banjir. Beberapa dari mereka yang terdampak itu kami buatkan tenda baru di lokasi lain. Ada pula yang menumpang di tetangga atau keluarga yang tenda atau rumahnya tidak terdampak gempa atau banjir,” ujar Rudi Wibowo.
Baca juga: Membangun Permukiman Relokasi Korban Bencana
Eulis (37), warga Gununglanjung, menjadi salah satu penyintas gempa yang memilih menumpang ke rumah keluarganya di kampung lain. Selain karena tendanya hanyut, huntara yang tadinya akan ia tinggali juga rusak terkena banjir. Jika tidak rusak pun, kata Eulis, ia enggan menempatinya lantaran takut banjir kembali datang.
Namun, Eulis juga merasa tidak nyaman apabila terus-menerus menumpang di rumah tantenya. Sebab, kehadiran ia beserta suami dan dua anaknya membuat tante dan keluarganya harus berbagi ruangan di rumah yang luasnya tak lebih dari 36 meter persegi.
”Yang enak mah tetap tinggal di rumah sendiri. Tapi, sampai sekarang kami belum dapat bantuan. Enggak ada modal kalau harus membangun dari kantong sendiri,” ucap Eulis yang rumahnya dikategorikan rusak berat.
Bantuan yang dimaksud Eulis adalah bantuan perbaikan rumah. Bantuan dari pemerintah tersebut diberikan dalam tiga tahap untuk tiga kategori kerusakan. Untuk rusak berat, warga mendapat bantuan uang tunai Rp 60 juta. Level rusak sedang sebanyak Rp 30 juta dan rusak ringan sejumlah Rp 10 juta.
Baca juga: Ramadhan di Pengungsian, Berbuka Puasa dengan ”Sayur Gempa”
Juru bicara Tim Penanganan Bencana Gempa Bumi Cianjur, Budi Rahayu Toyib, mengakui bahwa penyaluran dana bantuan tersebut belum 100 persen. Dana yang tersalurkan pada tahap I, II, dan III baru sebanyak Rp 1,9 triliun. Terbaru, dana tahap III tersalurkan pada 14 Maret 2023 sebanyak Rp 1,2 triliun untuk 42.418 rumah.
Budi melanjutkan, pihaknya terkendala beberapa hal, seperti pengajuan berkas belum lengkap, pencairan masih terpusat di kantor cabang bank, dan pengungsi mengajukan keberatan karena tidak sesuai kategori kerusakan.
Walakin, Budi memastikan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cianjur akan menangani kendala-kendala tersebut. Itu dimulai dengan menerbitkan petunjuk teknis baru yang mempermudah persyaratan pencairan. Sebelumnya, warga wajib melampirkan fotokopi sertifikat atau akta tanah. Kini, warga cukup melampirkan surat keterangan dari desa atau kecamatan.
Selain itu, Pemkab Cianjur juga meminta Bank Mandiri selaku bank penyaluran bantuan untuk menambah personel dan unit mobil agar dapat memudahkan warga membuka rekening. Pencairan juga sekarang bisa dilakukan di desa khusus warga lanjut usia, ibu hamil, dan difabel.
”Targetnya, penyaluran dana ini dan pembangunan rumah selesai semua dalam masa transisi darurat ke pemulihan yang akan berakhir pada 20 Juni 2023,” ujar Budi.
Selain banjir, kami yang tinggal di tenda sehari-hari merasa kepanasan kalau sedang cuaca panas, terkena air rembesan hujan kalau sedang hujan. Kasihan yang sudah tua dan yang masih anak-anak tersiksa hidup di tenda.
Baca juga: 200 Hunian Penyintas Gempa Cianjur Direlokasi, Kebutuhan Air Mendesak
Ketua RT 002 Gununglanjung Yudhi, yang kehilangan uang Rp 3,8 juta karena tendanya terhanyut banjir, berharap semuanya berjalan sesuai rencana. Menurut Yudhi, semakin cepat warga memiliki hunian tetap, semakin cepat pula mereka bisa menata hidup lagi.
Yudhi menuturkan, saat ini sudah banyak penyintas gempa sudah berusaha untuk kembali bekerja atau mencari pekerjaan. Namun, ia memahami sulit untuk benar-benar menata hidup jika tinggal beratap tenda. Sebab, selama di tenda, kemungkinan untuk mengalami hal-hal buruk selalu ada.
”Selain banjir, kami yang tinggal di tenda sehari-hari merasa kepanasan kalau sedang cuaca panas, terkena air rembesan hujan kalau sedang hujan. Kasihan yang sudah tua dan yang masih anak-anak, tersiksa hidup di tenda,” ujar Yudhi.
Keberadaan hunian layak sangat dinanti para penyintas gempa. Rumah tak hanya tempat berteduh, tetapi juga tempat memulai menata hidup kembali. Kehidupan yang diharapkan bisa lebih baik dari saat ini.