Praktik Korupsi Sangat Rentan Terjadi di 10 Penyelenggara Pemerintah di Sumsel
Sepuluh daerah di Sumatera Selatan sangat rentan terjadi korupsi, termasuk di antaranya Pemprov Sumsel. Perbaikan sistem dan budaya kerja sangat diperlukan untuk menekan potensi korupsi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Praktik korupsi sangat rentan terjadi di 10 penyelenggara pemerintahan di Sumatera Selatan. Perbaikan sistem dan budaya kerja mendesak dilakukan untuk menekan potensi korupsi dalam tubuh pemerintahan.
Daerah itu adalah Provinsi Sumsel, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Kabupaten Ogan Ilir, Kabupaten OKU Selatan, Kota Palembang, Kabupaten Musi Rawas Utara, Kota Pagar Alam, dan Kabupaten Empat Lawang.
Hal itu dipaparkan Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah II Komisi Pemberantasan Korupsi Yudhiawan dalam Rapat Koordinasi Program Pemberantasan Korupsi Terintegrasi Wilayah Sumsel di Palembang, Kamis (11/5/2023). Yudhiawan menuturkan, survei berdasarkan pantauan internal, eksternal, dan ahli di bidangnya. Disebutkan, rata-rata indeks Survei Penilaian Integritas (SPI) Sumsel sebesar 65,59 atau jauh dari rata-rata nilai nasional 71,94.
Sementara itu, enam daerah lain berstatus rentan dan dua lainnya waspada. Ironisnya, tidak satu pun daerah yang berstatus terjaga. ”Kondisi ini harus menjadi perhatian semua pihak tegasnya, tegas Yudhiawan.
Menurut Yudhiawan, pihaknya telah menerima sejumlah aduan beserta data yang detail mengenai indikasi korupsi di Sumsel. ”Namun, kami masih menelusuri laporan itu sekaligus melakukan upaya pencegahan. Jika (korupsi) masih terjadi, tentu akan ada tindakan,” katanya.
Dia menjelaskan, bentuk-bentuk dari celah korupsi saat ini sudah sangat kompleks, bahkan melibatkan pihak swasta. Yang paling banyak terjadi adalah terkait proyek infrastruktur. Biasanya yang bakal mendapatkan jatah proyek adalah mereka yang telah berkontribusi menjadi tim pemenangan dalam kampanye.
Apabila timses tersebut bukan seorang kontraktor, kata Yudhiawan, akan diserahkan kepada pihak lain. Kondisi inilah yang membuat sebuah proyek akan banyak potongan. ”Potongan untuk kontraktor, aparatur sipil negara, dan juga timses,” katanya. Kondisi ini membuat pembangunan infrastruktur di daerah tidak optimal.
Bentuk korupsi lain adalah melakukan jual beli jabatan. Di beberapa daerah, ongkos untuk menduduki jabatan tertentu Rp 100 juta dan Rp 300 juta.
Ke depan, Yudhiawan menegaskan agar tidak ada satu pihak pun di Sumsel yang nekat berbuat korup. Alasannya, aduan dan laporan bisa datang dari mana pun. Selain dari kontraktor yang kalah tender, laporan juga bisa datang dari media sosial. Dia mencontohkan kasus jalan rusak di Lampung yang langsung didatangi Presiden Joko Widodo.
”Kami pun sudah diperintahkan memeriksa penggunaan anggaran di sana (Lampung),” ujar Yudhiawan.
Kepala Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sumsel Buyung Wiromo Samudro mengutarakan, secara nasional, indeks persepsi korupsi di Indonesia tahun 2022 sebesar 34 poin atau turun empat poin dari tahun lalu. Kondisi ini menggambarkan masyarakat masih mengalami kecurangan dalam pelayanan publik.
Buyung berpendapat, modus kecurangan saat ini kian kompleks, terencana, dan dilakukan bersama. Bukan hanya oleh ASN, melainkan juga melibatkan pihak swasta. Bahkan, secara nasional, BPKP menemukan kecurangan mencapai Rp 37,01 triliun.
Kondisi ini diperparah dengan pelayanan publik yang masih berbelit-belit, mahal, dan rawan pungutan liar. Selain itu, anggaran kerap kali habis hanya untuk kegiatan atau program yang tidak menyentuh masyarakat sehingga tidak dirasakan dampaknya.
Meskipun begitu, jangan sampai pengawasan membuat pihak eksekutif takut dalam mengambil keputusan sehingga menghambat pembangunan di daerah. ”Karena itu, koordinasi dan sinergi antar-instansi sangat diperlukan agar tidak ada yang menyalahi aturan dalam melaksanakan pembangunan,” ujar Buyung.
Gubernur Sumsel Herman Deru berkomitmen memperbaiki tata kelola pemerintahan guna meminimalisasi tindak korupsi. Jika ada daerah yang sudah baik, kata dia, tentu harus menjadi contoh bagi daerah yang masih belum baik. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya koordinasi antardaerah untuk memperbaiki pelayanan dan sistem tata kelola pemerintahan.”Upaya pencegahan harus dilakukan komprehensif sehingga diperlukan peran dari semua pihak, termasuk instansi vertikal. Dengan begitu, pelayanan dan tata kelola pemerintahan bisa berjalan secara transparan,” kata Herman.