Memperkaya Orang Lain, Mantan Sekda dan Kepala Biro Kesra Sumsel Divonis Lebih Ringan
Lagi, Pengadilan Tipikor Palembang memberikan vonis lebih ringan dari tuntutan bagi terdakwa kasus korupsi Masjid Raya Sriwijaya, Palembang, Sumsel. Kali ini diberikan kepada mantan Sekda dan Kepala Biro Kesra Sumsel.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang memvonis mantan Sekretaris Daerah Sumatera Selatan Mukti Sulaiman dengan hukuman 7 tahun penjara dan mantan Pelaksana Tugas Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat Sumsel Ahmad Nasuhi selama 8 tahun kurungan atas kasus korupsi pembangunan Masjid Raya Sriwijaya. Mereka terbukti melakukan korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sehingga menimbulkan kerugian negara.
Vonis tersebut lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum dari Kejaksaan Tinggi Sumsel. Jaksa sebelumnya menuntut Mukti selama 10 tahun dan Ahmad selama 15 tahun penjara serta membayar denda sebesar Rp 750 juta subsider 6 bulan penjara. Atas vonis ini, baik jaksa maupun kedua terdakwa menyatakan pikir-pikir dan majelis hakim memberikan waktu tujuh hari.
Dalam sidang vonis yang dilakukan secara virtual itu, Ketua Majelis Hakim Abdul Aziz, Rabu (29/12/2021), menyatakan keduanya terbukti telah melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
”Terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut yang merugikan keuangan dan perekonomian negara serta memperkaya orang lain dan korporasi,” kata Abdul di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang, Rabu.
Abdul menilai kedua terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi. Hal lain yang memberatkan adalah tindakan kedua terdakwa meresahkan masyarakat dan telah merugikan keuangan negara. Sementara hal yang meringankan adalah mereka tidak pernah tersandung kasus hukum dan tidak berbelit dalam memberikan keterangan.
Atas perbuatannya itu, Mukti divonis dengan hukuman 7 tahun penjara, sedangkan Ahmad Nasuhi selama 8 tahun penjara. Keduanya juga diwajibkan membayar denda Rp 400 juta. Apabila tidak mampu membayar, akan ada penambahan penahanan hingga 4 bulan.
Hakim tidak membebankan pidana tambahan untuk membayar uang pengganti karena mereka dinilai tidak menikmati hasil korupsi tersebut. Namun, perbuatan mereka telah memperkaya orang lain dan korporasi.
Dalam putusan disebutkan, beberapa orang yang menikmati hasil korupsi adalah KSO PT Brantas Abipraya Dwi Kridayani sebesar Rp 2,5 miliar, Project Manager PT Brantas Abipraya Yudi Arminto sebesar Rp 2,5 miliar, mantan Ketua Panitia Pembangunan Masjid Sriwijaya Eddy Hermanto sebesar Rp 218 juta, dan Ketua Panitia Divisi Lelang Pembangunan Masjid Sriwijaya Syarifudin sebesar 1,6 miliar. Adapun korporasi yang diuntungkan adalah PT Brantas Abipraya sebesar Rp 5 miliar.
Kedua terdakwa tidak melakukan pengawasan dan penyaluran dana hibah secara benar.
Kerugian negara yang ditimbulkan akibat korupsi ini mencapai Rp 64 miliar. Jumlah tersebut dihitung dari hasil pembangunan fondasi dan terowongan masjid yang sudah berdiri dengan progres mencapai 7,46 persen.
Dalam putusan, majelis hakim menilai keduanya tidak cermat dalam menyalurkan dana hibah untuk pembangunan Masjid Raya Sriwijaya. Itu karena usulan penyaluran tidak didahului dengan pengajuan proposal permohonan bantuan hibah yang seharusnya sudah diberikan oleh penerima hibah, yakni Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya, satu tahun sebelum dana hibah disalurkan.
Hal lain adalah konsep penyaluran yang dinilai melanggar aturan. Keduanya memberikan hibah kepada yayasan yang tidak berdomisili di Sumatera Selatan. ”Kedua terdakwa tidak melakukan pengawasan dan penyaluran dana hibah secara benar,” ungkap Abdul.
Adapun unsur berlanjut dapat dibuktikan dari penyaluran dana hibah yang dilakukan dalam kurun waktu 2014-2017. Meski begitu, keduanya dinilai tidak menikmati hasil korupsi sehingga tidak dikenai pidana tambahan untuk membayar uang pengganti.
”Justice collaborator” ditolak
Salah seorang terdakwa, Mukti Sulaiman, mengajukan diri sebagai justice collaborator (JC). Namun, menurut pertimbangan hakim, syarat yang diajukan belum terpenuhi. Pemberian status JC harus dilakukan sesuai syarat. Adapun syaratnya adalah terdakwa bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu perkara.
Selain itu, terdakwa bisa diberikan status JC apabila mengakui kejahatan yang dilakukannya, bukan pelaku utama. Terdakwa memberikan keterangan dan bukti yang signifikan kepada penyidik sehingga dapat mengungkap pelaku lain yang memiliki peran lebih besar sehingga pelaku tersebut dapat mengembalikan aset dalam rangka pengembalian kerugian negara.
”Dari itu, dalam perkara ini JC terdakwa Mukti Sulaiman belum terpenuhi karena terdakwa tidak mengakui perbuatannya,” ujar hakim.
Atas putusan majelis hakim tersebut, baik kedua terdakwa maupun jaksa penuntut umum menyatakan pikir-pikir. Majelis hakim pun memberikan waktu selama tujuh hari bagi semua pihak untuk memutuskan apakah ingin menerima atau mengajukan banding.
Redho Junaidi, kuasa hukum Ahmad Nasuhi, mengatakan akan memanfaatkan waktu tujuh hari untuk memutuskan apakah menerima atau mengajukan banding. ”Kami akan berkonsultasi dengan klien kami,” ucap Redho.
Menurut dia, ada beberapa hal yang dia sepakati dengan keputusan hakim, yakni kliennya tidak menerima sepeser pun uang dari Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya. ”Jadi, asumsi bahwa klien kami mengambil uang yayasan itu tidak benar,” katanya.
Namun, dirinya masih bertentangan dengan putusan hakim terkait domisili dan kelayakan Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya untuk menerima hibah. Ia mengatakan, berdasarkan aturan, diperbolehkan sebuah yayasan penerima hibah membuka kantor di Jakarta dengan membuka kantor perwakilan di daerah lain. Sementara perihal kelayakan yayasan tersebut menerima hibah sudah tertuang dalam peraturan daerah.
Iswadi Idris, kuasa hukum Mukti Sulaiman, mengatakan, dengan tidak dibebankannya pidana tambahan untuk membayar denda, itu membuktikan kliennya tidak menikmati uang dari pembangunan Masjid Sriwijaya. Terkait ditolaknya permohonan untuk menjadi JC, dia menerangkan, itu adalah hak sepenuhnya dari majelis hakim. Namun, terkait hasil putusan, pihaknya masih akan berkonsultasi dengan kliennya.
Kepala Seksi Penerangan dan Hukum Kejati Sumsel Mohd Radyan mengatakan, pihaknya akan mempelajari berkas putusan hakim terlebih dulu, baru mengambil keputusan untuk menerima atau mengajukan banding. Dari sisi pasal yang didakwakan tidak ada permasalahan. ”Hakim juga menggunakan pasal yang didakwakan dalam memberikan vonis,” katanya. Hanya saja, lamanya sanksi sangat berbeda dari tuntutan.
Sebelumnya, empat terdakwa dalam kasus pembangunan Masjid Sriwijaya juga telah dijatuhi hukuman. Mantan ketua panitia pembangunan Eddy Hermanto dan Ketua Panitia Divisi Lelang Pembangunan Masjid Sriwijaya Syarifuddin dijatuhi hukuman penjara hingga 12 tahun dan denda Rp 500 juta subsider 4 bulan penjara. Keduanya dijerat Pasal 12B UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi karena telah menerima gratifikasi.
Sementara Project Manajer PT Brantas Abipraya-PT Yodya Karya Yudi Arminto dan kuasa KSO PT Brantas Abipraya-PT Yodya Karya, Dwi Kridayani, dijatuhi hukuman masing-masing 11 tahun dengan denda Rp 500 juta atau subsider 4 bulan. Keduanya melanggar Pasal 13 UU No 20/2001 karena telah memberikan hadiah atau suap. Keempatnya juga harus membayar uang pengganti sebesar uang yang telah mereka korupsi.